Dari Shaadiq ke Shiddiiq
Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
SAYYIDINA Umar ditanya, “Apakah engkau percaya terhadap panjang lebar cerita Nabi tentang isra Mikraj?”
Ia menjawab, “Sepertinya saya belum bisa percaya.” Nanti setelah diyakinkan melalui penjelasan khusus dari Nabi, ia baru percaya dan yakin.
Pada bagian lain, ketika Sayyidina Abu Bakar ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia menjawab, “Lebih dari itu jika itu keluar dari mulut Nabi, saya yakin dan percaya.”
Sayyidina Umar mungkin bisa menjadi contoh orang yang percaya melalui penjelasan (shaadiq), sedangkan Sayyidina Abu Bakar menjadi contoh orang yang percaya tanpa syarat (shiddiiq). Itulah sebabnya Abu Bakar diberi gelar al-shiddiiq, sedangkan Umar tidak memperoleh gelar itu meskipun pada akhirnya ia juga sampai pada al-shiddiiq.
Shaadiq dan shiddiiq sama-sama dari kata sadaqah-yashduq yang berarti percaya, membenarkan, yang kemudian membentuk beberapa kata lain, termasuk shaadiq dan shiddiiq atau shaduuq.
Shaadiq berarti memercayai sesuatu setelah melalui proses panjang, misalnya menanti penjelasan yang masuk akal dan masuk di hati.
Sementara itu, shiddiiq atau shaduuq merupakan sebuah kepercayaan lebih mendalam dan tanpa harus menunggu proses penjelasan.
Shaadiq masih terkontaminasi oleh pengaruh akal dan pikiran, sedangkan shiddiiq sudah tidak lagi digoda oleh pikiran.
Shaadiq masih sering terganggu oleh suasana hati (mood) seseorang sehingga adakalanya percaya sangat dalam, tetapi tiba-tiba kembali ragu.
Dampaknya secara sosial ialah orang yang baru sampai di makam shaadiq belum bisa dijamin melakukan ketaatan secara konsisten (istikamah) karena masih fluktuatif, masih riskan untuk terpengaruh oleh faktor internal dan eksternal.
Dalam pandangan ulama tasawuf, sebagaimana diungkapkan Syekh Hasan Syadzali, salah seorang ulama tasawuf yang mu’tabarah (legitimated), seseorang yang sudah sampai ke tingkat shiddiiq sudah mampu menampilkan akhlak karimah.
Amalan syariahnya sudah sempurna, karakternya diwarnai dengan muruah, sikapnya dihiasi dengan tawadu, perilakunya dibungkus dengan zuhud, dan hati serta pikirannya disinari dengan keikhlasan.
Ia sudah terbebas dari hijab dhulmani dan hijab nurani, mulai hidup di dalam bayang-bayang Alquran dan hadis, dan ma’rifah Allah sudah aktif bekerja di dalam dirinya, sudah mengenali sejumlah rahasia Tuhan. Orang-orang seperti ini dilukiskan Syekh Hasan Syadzali sebagai ‘manusia yang tidak seperti manusia’ (al-basyar la ka al-basyar). ‘Batin mereka bersama Tuhan dan dhahir mereka bersama makhluk’ (bathinuhum ma’a al-Haq wa dhahiruhum ma’a al-makhluq). ‘Mereka adalah mereka, tetapi mereka bukanlah mereka’ (Fa hum hum wa la hum hum). Merekalah yang berakhlak seperti akhlak Nabi, sebagaimana dilukiskan dalam ayat, Wa wajadaka ‘ailan fa agna (Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang berkekurangan, lalu Dia memberi kecukupan. QS al-Dhuha/93:9).
Dalam ayat lain diungkapkan, ‘Mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya’ (QS al-Nisa’/4:69).
Orang-orang yang sudah sampai kepada makam shiddiiq tidak hanya terbebas dari beban hidup, tetapi juga tidak lagi pernah membebani orang lain, termasuk membebani bangsa dan negara dengan berbagai ulah.
Mereka sudah menjadi umat dan warga bangsa yang mandiri tanpa bergantung kepada siapa pun selain Tuhan.
Kita diminta berupaya untuk senantiasa meng-upgrade kepercayaan dan keyakinan diri kita dari tingkat shaadiq ke tingkat shiddiiq.
Tidak mudah memang karena dalam kehidupan sehari-hari kita penuh dengan berbagai godaan dan tantangan. Bukan hanya godaan dalam bentuk kesedihan dan kekecewaan, melainkan juga dalam bentuk kesenangan dan kepuasan.
Seorang shiddiiq selalu memancarkan vibrasi positif dan energi produktif ke dalam lingkungan masyarakat.
Kedatangannya selalu dinantikan, kepergiannya selalu dirindukan. Bukannya seperti orang yang kedatangannya tak menguntungkan, kepergiannya tak mengurangi.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/108417-dari-shaadiq-ke-shiddiiq