Panrita.id

Zakat Penghasilan, Zakat Profesi dan yang Berhak Menerima Zakat

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Apakah zakat profesi sama dengan zakat penghasilan? Besarnya perapa persen? Apalah keduanya ini yang dimaksud Al-Qur’an dengan hak fakir miskin yang melekat pada harta kita?

Apa pengertian fakir dan miskin? Apakah ada prioritas yang harus diberi? Dalam memberi zakat, mana yang lebih baik: memperbanyak penerima atau memperbanyak penerimaan penerima? Seseorang berpenghasilan Rp. 850.000, 00 dan harus mengeluarkan nafkah untuk kebutuhan sehari-hari plus cicilan telepon, rumah, dan bak, yang keseluruhannya mencapai Rp. 785.000, 00. Apakah ia masih terkena zakat profesi? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebutuhan sehari-hari yang mempengaruhi perhitungan zakat profesi?

Apakah kedelapan kelompok penerima zakat harus diberi semua, meski bagian yang diterimanya kecil?

Jawaban:

Penghasilan yang diperoleh seorang mu’min dan yang sebagian darinya diperintahkan untuk dikeluarkan nafkahnya dibagi oleh Al-Qur’an (QS. al-Baqarah/2: 267) ke dalam dua bagian pokok: “hasil usaha yang baik-baik” dan “apa yang dikeluarkan Allah dari bumi”, yakni hasil pertanian dan pertambangan.

Adapun yang dimaksud dengan “hasil usaha yang baik-baik”, para ulama dahulu membatasinya pada hal-hal tertentu yang ada di masa Rasulullah saw. dan yang ditetapkan oleh beliau sebagai yang harus dizakati. Inilah dahulu yang dimaksudkan  dengan zakat penghasilan. Selebihnya, usaha manusia yang belum dikenal di masa Nabi dan sahabat beliau tidak termasuk yang harus dizakati. Jadi, yang demikian itu tidak dimaksudkan oleh sementara ulama dalam pengertian ayat di atas sebagai “hasil usaha yang baik”.

Akan tetapi, kini telah muncul berbagai jenis usaha manusia yang menghasilkan pendapatan, baik secara langsung tanpa keterikatan dengan orang atau pihak lain seperti para dokter, konsultan, seniman, dan lain-lain, maupun yang disertai keterikatan dengan pemerintah atau swasta seperti gaji, upah, dan honorarium. Rasa keadilan dan hikmah adanya kewajiban zakat mengantar banyak ulama memasukkan profesi-profesi itu ke dalam pengertian “hasil usaha yang baik-baik”.

Dengan demikian, mereka menyamakannya dengan zakat penghasilan atau perdagangan dan menetapkan persentase zakatnya sama dengan zakat perdagangan, yakni 2,5 % dari hasil yang diterima setelah dikeluarkan segala biaya kebutuhan hidup yang wajar, dan sisa itu telah mencapai batas minimal dalam masa setahun, yakni senilai 85 gram emas murni.

Ada berbagai pendapat lain yang menganaliogikan penghasilan dari profesi itu dengan zakat pertanian. Dalam hal ini, jika dia beroleh penghasilan senilai 653 kilogram hasil pertanian yang harganya paling murah, maka ketika itu juga dia harus menyisihkan 5 atau 10 % (tergantung pada kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu setahun.

Menurut hemat saya, pendapat pertama yang menyamakan zakat profesi dengan zakat perdagangan lebih bijaksana, karena hasil yang diterima biasanya berupa uang sehingga lebih mirip dengan perdagangan dan atau nilai emas dan perak.

Jika kita mengatakan bahwa zakat profesi adalah zakat wajib yang telah ditetapkan kadarnya dan dengan 8 kelompok yang berhak menerima zakat, maka ayat yang berbunyi, Dan dalam harta-harta mereka (orang-orang bertakwa) terdapat hak bagi mereka orang miskin yang meminta dan yang tidak mendapat bagian (karena tidak meminta) (QS. adz-Dzariyat/51: 19) tidaklah berbicara tentang zakat wajib itu, karena yang disebut-sebut dalam ayat ini hanyalah 2 kelompok saja.

Namun demikian, banyak sahabat Nabi yang berpendapat bahwa -selain zakat wajib yang telah ditetapkan persentase, jenis, dan syarat-syaratnya- masih ada hak orang lain, kewajiban bagi pemilik harta yang harus dikeluarkannya selain zakat. Anda boleh menamakannya sedekah atau infak.

Fakir dan Miskin

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan fakir dan miskin. Ada yang menyamakannya dan ada juga yang membedakannya. Namun, pada hakikatnya, mereka berdua adalah orang-orang yang membutuhkan. Yang membutuhkan dan meminta disebut miskin, sementara yang tidak meminta disebut fakir. Demikianlah pendapat pakar tafsir al-Qur’an, ath-Thabari. Para ulama hukum Islam (fiqh) merinci pengertian masing-masing kata. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada orang yang beroleh penghasilan, namun tidak cukup memenuhi kebutuhannya. Ketidakcukupannya itu boleh jadi melebihi setengah kebutuhannya, dan boleh jadi juga kurang dari setengahnya. Salah satu dari mereka disebut fakir dan yang lainnya disebut miskin.

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan siapa di antara mereka yang disebut fakir dan siapa pula yang miskin. Seperti diketahui, ada 8 kelompok yang disebut-sebut dalam al-Qur’an sebagai berhak menerima zakat (QS. at-Taubah/9: 60). Tetapi, apakah kedelapan kelompok itu -jika ada- harus diberi semua, meski bagian yang diterimanya kecil?

Pendapat yang paling logis adalah menyusun prioritas. Prioritas pertama adalah untuk fakir-miskin. Jika jumlah zakat sedikit, maka dia dapat memberikannya kepada satu kelompok saja, bahkan kepada seorang dari satu kelompok. Sebab, membagi yang sedikit untuk banyak orang tidak mencapai tujuan pemberian zakat, yakni memberi kecukupan bagi si penerima. Jika demikian halnya, pada prinsipnya memberi kecukupan buat kebutuhan seorang lebih baik ketimbang memberi banyak orang, yang semuanya tidak dapat memanfaatkannya secara wajar. Kebutuhan dapat berbeda antara seseorang dengan orang lain, tergantung pada banyak faktor, seperti pendidikan, kondisi sosial, dan sebagainya.

Seseorang yang berpenghasilan Rp. 850.000,- dan kemudian mengeluarkan biaya untuk berbagai cicilan (seperti tersebut di atas dan semuanya itu merupakan kebutuhan) hingga sisanya tak mencapai nilai 85 gram emas murni tidak wajib mengeluarkan zakat.

Demikian, Wallahu A’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008) h. 198-201.