Panrita.id

Relevansi Ketentuan Zakat Fitrah

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Dalam waktu dekat ini masyarakat pasti berbondong-bondong untuk menunaikan pembayaran zakat fitrah. Namun yang merisaukan saya adalah di saat ini masihkah relevan bahwa besaran zakat fitrah antara yang dibayar masyarakat yang kemampuan ekonominya sedang sama sama dengan masyarakat yang mampu. Dimana ketentuan yang ada adalh 2,5 dari makanan pokok yang kita makan?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa dalam ajaran Islam dikenal dua macam ibadah;

Pertama, dinamai ibadah secara umum, yakni semua kegiatan yang dilakukan demi karen Allah; berpakaian, berolahraga, bahkan mencampuri istri pun adalah ibadah selama dilakukan demi karena Allah.

Kedua, ibadah mahdhah/murni, yaitu kegiatan yang kadar dan waktunya ditentukan oleh Allah atau Rasul-Nya. Ibadah semacam ini tidak boleh diubah oleh siapa pun. Haji misalnya, waktunya ditentukan yaitu 9 Dzulhijjah, dan tertentu pula tempatnya dan tatacaranya. Siapa yang masih hendak melakukannya maka dia dapat melakukan ‘umrah sepanjang waktu dan dengan cara tertentu pula. Demikian juga dengan puasa dalam bulan Ramadhan, siapa yang masih ingin berpuasa maka terbuka baginya peluang pada hari-hari yang lain, kecuali pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, serta 3 hari sesudah hari raya kurban itu.

Demikian juga dengan zakat fitrah. Jumlah 2,5 kilogram makanan pokok itu, jelas tidak ada artinya bagi seorang yang mampu, tetapi itu sangat berarti bagi kaum lemah. Bukankah hingga kini banyak orang yang tidak cukup makan? Ketentuan zakat fitrah berlaku umum, sehingga tidak mungkin jika ditambah, sebab akan sangat memberatkan bagi sebagian orang. Di sisi lain, tidak ada halangan, tanpa dibatasi berapapun banyaknya bantuan (red: di luar zakat) yang ingin diberikan.

Karena itu, saya memahami bahwa kewajiban zakat fitrah dari makanan pokok itu, dan dengan jumlah yang sedikit itu, merupakan lambang dari kesediaan setiap muslim untuk memberi hidup bagi yang butuh. Dan atas dasar itulah maka yang mampu hendaknya membantu siapa pun yang butuh, bahkan al-Qur’an menamai mereka yang enggan membantu -walau dalam hal-hal yang kecil- sebagai orang yang mendustakan agama (baca: QS. al-Ma’un/107)

Demikian, Wallahu A’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008) h. 219-220.