Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Benarkah seorang yang memberi dengan ikhlas harus tidak mengharapkan balasan, meskipun hanya ucapan terima kasih?
Saya pernah mendengar bahwa ada ayat al-Qur’an yang menyatakan demikian. Dalam bersedekah, benarkah kita harus memberikan yang terbaik dari milik kita atau apa yang paling kita sukai?
Jawaban:
Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada ayat al-Qur’an yang secara tegas menyatakan seperti yang anda tanyakan di atas. Yang ada ialah apa yang tercantum dalam surah al-Insan ayat 7-10. Di dalamnya diuraikan sikap orang-orang yang dalam dirinya mendarah daging kebajikan (al-abrar) dan akan memeroleh ganjaran surga. Ayat-ayat itu adalah:
Mereka menunaikan nazar dan takut pada suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak mengharapkan balasan darimu dan tidak juga (ucapan) terima kasih. (QS. al-Insan/76: 7-10)
Penegasan al-Qur’an yang menyatakan, Sesungguhnya kami,… boleh jadi merupakan ucapan mereka yang disampaikan kepada orang yang diberi dan boleh jadi juga tidak diucapkan secara lisan, tetapi merupakan gambaran sikap batin mereka.
Bagaimanapun juga, diucapkan atau tidak, yang jelas ayat-ayat ini menggambarkan bagaimana seharusnya sikap batin seseorang ketika memberi bantuan, yakni memberinya secara tulus dan berusaha tidak melecehkan atau menyakiti hati si penerima.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima)… (QS. al-Baqarh/2: 263)
Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan ganjaran (jaza’) adalah imbalan pemberian berupa pelayanan, kerja dan semacamnya. Dan syukur adalah ucapan yang menggambarkan keistimewaan si pemberi.
Kita harus menyadari bahwa ayat itu berbicara ihwal al-abrar, yakni orang-orang yang telah mendarah daging dan membudaya dalam diri mereka sifat al-birr. Semula, kata al-birr bermakan “luas” dan kemudian berubah menjadi “kebajikan. Karena itu, pada dasarnya, al-birr diartikan sebagai keluasan kebajikan, kesempurnaan, dan cakupan aneka ragamnya.
Sebagian ulama tafsir menamai huruf al yang menghiasi kata al-birr sebagai al lilkamaal, yakni yang mengandung arti kesempurnaan. Dengan demikian, al-birr adalah kesempurnaan kebajikan. Al-Abraar adalah orang-orang yang sempurna dalam melakukan kebajikan.
Di sisi lain, harus diingat surah Ali Imran/3: 92 yang menyatakan, Kamu tidak akan mendapatkan kebajikan sehingga kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu sukai. Anda baca bahwa ayat ini menyatakan mimmaa tuhibbuun (sebagian dari apa yang kamu sukai), bukan dari semua yang kamu sukai dan juga bukan yang paling kamu sukai.
Memang, untuk mencapai kesempurnaan kebajika, seseorang harus menafkahkan apa yang disenanginya. Namun, ini tidak berarti bahwa jika tidak demikian, dia tidak perlu mengeluarkan sedekah. Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya, ketika menafsirkan ayat:…Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan,…(QS. al-Baqarah/2: 267), mengatakan, “Al-Qur’an tidak melarang mencampurkan yang buruk dengan yang baik atau memberikan yang buruk tanpa disengaja, meskipun ketika itu si pemberi tidak mencapai derajat kesempurnaan”
Demikian, Wallahu A’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008) h. 191-193.
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com
semangat