Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor Antropologi Agama King Fahd University-Arab Saudi
Banyak masyarakat Indonesia yang tidak paham makhluk apa Arab itu. Mayoritas dari mereka menganggap Arab itu ya “penduduk Saudi” atau Yaman lantaran cukup banyak populasi mereka di Indonesia. Karena itu tidak heran kalau banyak orang menyebut “Arab” tanpa mengetahui “Arab mana, negara Arab mana, dan seterusnya.
Sebagian lagi mungkin mengira kalau masyarakat atau kelompok Arab itu memiliki solidaritas tinggi sebagai sesama “Bangsa Arab”. Anggapan ini salah total. Bahwa mereka sama-sama berkomunikasi menggunakan Bahasa Arab memang ya. Bahwa mereka mayoritas beragama Islam memang iyes. Tetapi bukan berarti identitas ke-Arab-an bisa menyatukan mereka.
Dulu pernah ada gerakan “nasionalisme Arab” yang dikomandoi oleh mendiang Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Tetapi itu hanya memikat sebagian kelompok Arab saja. Kini, dengan berdirinya berbagai negara Arab (ada sekitar 22 negara yang tergabung di Liga Negara-Negara Arab), problem sosial-politik-budaya semakin kompleks.
Masing-masing “negara Arab” memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda sehingga sering kali tidak mudah untuk menjalin “solidaritas Arab”. Masing-masing negara Arab juga memiliki problem internal yang berlainan sehingga membuat mereka sibuk dengan “urusan internal” masing-masing yang kemudian memicu munculnya berbagai faksi lokal.
Di tingkat non-negara atau masyarakat, problem lebih rumit lagi. Masing-masing kelompok Arab merasa diri mereka lebih genuine, asli dan otentik ke-Arab-annya ketimbang kelompok Arab lain. Sebagian lagi merasa paling berbudaya, berperadaban, dan paling pintar ketimbang kelompok Arab lain. Sebagian lain lagi merasa paling Islami, paling Qur’ani, dan paling relijiyes ketimbang kelompok Arab lain.
Misalnya, masyarakat Arab Mesir merasa diri mereka lebih cerdas dan intelek ketimbang masyarakat Arab lain karena mempunyai universitas tua Al-Azhar yang berusia beratus-ratus tahun. Masyarakat Arab Mesir juga merasa lebih berperadaban ketimbang masyarakat Arab lain karena banyak produk-produk peradaban kuno di “Negeri Fir’aun” ini.
Masyarakat Arab Lebanon merasa diri mereka lebih modern dan berbudaya ketimbang masyarakat Arab lain karena kuatnya “kultur Perancis” dan dominasi aneka ragam musik yang menguasai pasaran Timur Tengah, selain jejak-jejak kebudayaan klasik yang sangat kaya (misalnya Byblos).
Masyarakat Arab Mesir, Lebanon, dan juga lainnya menganggap masyarakat Arab Saudi (dan masyarakat Arab Teluk pada umumnya) sebagai masyarakat Arab udik dan terbelakang dari aspek ilmu pengetahuan dan kebudayaan: hidup di dunia modern dengan kultur “Arab Badui” nomadik khas padang pasir. Mereka sering berkelakar: “Buku ditulis oleh Arab Mesir, dicetak oleh Arab Lebanon, dibaca oleh Arab Irak dan dilarang oleh Arab Teluk”.
Masyarakat Arab Teluk sendiri merasa diri mereka lebih kaya (dari aspek materi) ketimbang masyarakat Arab lain. Dan itu benar sekali. Kawasan kaya Arab Timur Tengah ya Arab Teluk yang meliputi Saudi, UEA, Kuwait, Qatar, Oman, dan Bahrain. Dengan kekayaan itu, mereka bisa merekrut masyarakat Arab Mesir, Lebanon dan lainnya untuk berlabuh di Arab Teluk.
Selain itu, masyarakat Arab Saudi secara umum cenderung merasa “lebih Islami” ketimbang masyarakat Arab lain. Pula, masyarakat Arab Saudi dan Arab Teluk pada umumnya juga merasa diri “lebih Arab” ketimbang masyarakat Arab lainnya di Timur Tengah. Bahkan antarmasyarakat Arab Teluk sendiri saling klaim keotentikan. Misalnya, masyarakat Arab Oman dianggap kurang otentik ke-Arab-an mereka lantaran Arab Oman memeluk aliran Islam Ibadi, bukan Sunni.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
Sumber: https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10161898374665523