Panrita.id

Zakat Pegawai Negeri

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Apakah pegawai negeri yang gaji pokoknya sampai pada nishab zakat wajib dizakati? Bagaimana cara menghitung pengeluaran zakat?

Jawaban:

Para ulama hingga kini belum sepakat ihwal apakah gaji yang telah mencukupi nishab wajib dizakati atau tidak. Namun, berdasarkan hakikat keagamaan yang menegaskan fungsi sosial harta benda, maka sulit untuk tidak mendukung pandangan yang mewajibkannya. Bukankah al-Qur’an telah menegaskan bahwa ada kewajiban yang harus ditunaikan menyangkut harta? Dan orang-orang yang dalam harta mereka ada hak bagi yang meminta dan tidak memiliki (QS. al-Ma’arij/70: 23-24) Bukankah pada hakikatnya harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan yang menurut kebiasaan dapat dimanfaatkan (dalam hal ini termasuk upah dan honorarium)? Bukankah zakat adalah sarana pembersihan, baik bagi jiwa dan harta.

Tentu saja, tidak logis hanya harta yang disebut-sebut Nabi di masa beliau saja yang memerlukan itu, tidak pula hanya petani kecil, tetapi juga segala macam harta. Karena itu, tidaklah wajar membiarkan mereka yang berpenghasilan jauh lebih besar daripada para petani menikmati hartanya tanpa zakat. Atas dasar itu, saya sependapat dengan para ulama yang mewajibkan pegawai berpenghasilan sedikitnya sejumlah nishab untuk mengeluarkan zakatnya.

Ada dua cara menghitung pengeluaran zakat:

Pertama, mengeluarkannya saat menerimanya, bila jumlah yang diterima mencapai nishab (senilai 85 gram emas/653 kg hasil pertanian)

Kedua, mengeluarkan zakatnya dalam setahun, setelah menghitung hasil bersih pendapatannya. Perlu digarisbawahi bahwa yang dihitung untuk dizakati adalah “hasil bersih”, karena zakat pada dasarnya tidak dikenakan atas harta yang dimiliki seseorang untuk keperluan hidupnya dan orang-orang yang wajib dia tanggung biaya hidupnya.

Jelas, ada yang tidak sependapat dengan pandangan ini. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa jiwa ajaran agama dan anjurannya mendukung secara amat jelas dikeluarkannya sebagian hasil usaha (seperti gaji atau honorarium) untuk kepentingan kaum lemah, baik atas nama zakat yang diwajibkan oleh Allah, maupun yang diwajibkan sendiri oleh pemilikya atas nama apa pun.

Demikian, Wallahu A’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008) h. 197-198.