Panrita.id

Zakat Kepada Keluarga Dekat

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Saya adalah anak pertama dari sebelas bersaudara, berekonomi biasa saja, sudah berkeluarga, dan hanya suami saya saja yang bekerja. Saya ingin bertanya:

Bolehkah saya menyerahkan zakat gaji suami saya dan bagi-hasil tabungan saya di bank kepada adik-adik saya?

Apakah saya harus menyampaikannya kepada orang yang menyerahkan zakat atau kepada penerimanya bahwa sekian berupa zakat dan sekian berupa sedekah?

Bolehkah uang sedekah (tanpa zakat) saya serahkan kepada ibu-bapak?

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan utama anda, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang apakah gaji wajib dizakati atau tidak jika telah mencapai nishab (senilai 86 gram emas). Namun, semuanya menetapkan bahwa sebagian penghasilan hendaknya diberikan kepada mereka yang membutuhkan atau sebagai amal sosial dalam bentuk zakat -bagi yang mewajibkannya- dengan persentase tertentu, atau dalam bentuk sedekah -bagi yang tidak mewajibkannya- dengan jumlah sesuai dengan keikhlasan masing-masing.

Tanpa memasuki perincian, menurut hemat penulis, apa yang anda lakukan berupa menyisihkan sebagian gaji sebagai zakat adalah yang terbaik. Jika “bagi hasil dari bank” yang anda maksudkan adalah menyerahkan uang tabungan anda untuk diputar, secara langsung atau melalui pihak ketiga, dan seandainya jumlah modal anda atau modal plus keuntungannya telah mencapai nishab dan kepemilikan anda atasnya telah mencapai setahun, maka yang wajib dikeluarkan adalah zakat -dan bukan sedekah- sebanyak 2,5 %, karena “bagi hasil” adalah salah satu bentuk perdagangan.

Tidak ada halangan menyerahkan zakat kepada keluarga jauh yang tidak menjadi tanggungan wajib. Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang menyerahkan zakat kepada keluarga dekat, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan dengan banyak perincian. Jika keluarga itu berkedudukan sebagai pengelola zakat (‘amil) atau terlantar dalam perjalanan atau memiliki utang akibat amal-amal saleh yang dilakukannya, maka zakat boleh saja diserahkan kepada mereka. Sebab, waktu itu penyerahannya bukan disebabkan oleh kekerabatan, melainkan oleh sebab lain sebagaimana yang anda baca di atas.

Tetapi, jika penyerahan itu didasarkan pada alasan bahwa kerabat itu fakir miskin, maka itu pun boleh dilakukan dengan syarat bahwa zakat si wajib zakat itu diserahkan terlebih dahulu kepada BAZIS. Kemudian lembaga semi-pemerintah inilah yang menyerahkannya kepada keluarga dekat seperti ayah, ibu, anak, dan sebagainya. Tetapi, jika yang bersangkutan sendiri membagikan zakatnya secara langsung kepada keluarga yang wajib ditanggung belanja hidupnya seperti ayah, ibu, dan anak, maka apa yang diserahkannya itu tidak dinilai sebagai zakat, tetapi sedekah. Sebab, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad “Engkau dan hartamu adalah milik Ayahmu”. Apa pun yang secara ikhlas diberikan kepada mereka dinilai sebagai sedekah.

Memang, ada ulama seperti Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa boleh menyerahkan zakat kepada kedua orangtua ke atas (nenek dan kakek), atau anak ke bawah (cucu) selama mereka miskin, sementara yang berzakat berpenghasilan pas-pasan dan keadaan dan tanggungannya yang lain (seperti anak dan istri) akan terganggu bila membelanjai lagi orangtuanya.

Tentang zakat untuk adik, di sini juga terdapat perbedaan pendapat. Agaknya, kita dapat menganut pendapat yang menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang ditanggung kebutuhan hidupnya oleh pembayar zakat. Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang wajib ditanggung kebutuhannya adalah ibu, ayah (ke atas), dan anak-anak (ke bawah). Mazhab Imam Malik lebih sempit. Mereka hanya mewajibkan ayah untuk menanggung kebutuhan hidup anak-kandungnya yang lelaki sampai baligh, dan yang perempuan sampai kawin dan digauli oleh suaminya. Adapun cucu, sang kakek tidak harus menanggungnya. Begitupula cucu tidak harus menanggung kebutuhan hidup kakeknya.

Setelah dewasa, anak berkewajiban menanggung kebutuhan hidup kedua orangtuanya yang miskin. Suami berkewajiban menanggung kebutuhan hidup istrnya dan kebutuhan hidup seorang pembantu untuk istrinya.

Saudara lelaki maupun perempuan tidak menjadi tanggungan. Karena itu, mereka boleh diberi zakat.

Dalam pandangan mazhab ini, bahkan anak yang telah dewasa -walau mampu bekerja tetapi masih membutuhkan, misalnya sedang menuntut ilmu- boleh diberi zakat.

Singkatnya, tidak ada halangan dalam Mazhab Malik dan Syafi’i untuk memberikan zakat kepada adik-adik selama mereka memenuhi salah satu kriteria kelompok yang berhak menerima zakat.

Demikian, Wallahu A’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008) h. 193-196.