Oleh: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional
Pertanyaan:
Sejak beberapa tahun lalu saya biasa mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya dan keluarga saya dengan uang seharga masing-masing satu sha’ dari makanan pokok sebagimana disebutkan dalam hadis syarif, dan kami pernah mendengar ustadz menentukannya 15 Riyal Qatar. Uang itu kami kirimkan kepada orang-orang miskin dari keluarga, kerabat, dan tetangga di daerah kami di Palestina. Dalam hal ini saya merasa tidak ragu sedikit pun akan kebolehan hal itu mengingat beberapa fatwa yang pernah kami dengar, termasuk dari ustadz sendiri dan dari ulama-ulama lainnya, terutama dari Fadhilah asy-Seykh Abdullah bin Zaid al-mahmud, ketua Mahkamah Syar’iyyah Qatar.
Akan tetapi, pada suatu hari ketika saya mendengarkan radio saya dikejutkan oleh fatwa seorang syekh yang mengatakan bahwa mengeluarkan harga, yakni uang, untuk zakat fitrah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Barangsiapa yang berbuat demikian maka batal zakatnya, karena bertentangan dengan sunnah. Beliau mengecam keras ulama-ulama yang memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya dan menuduhnya menentang nash-nash syari’ah dengan pikiran semata-mata.
Tidak perlu saya tutup-tutupi, saya akhirnya merasa bingung dan gundah setelah mendengar fatwa tersebut, lebih-lebih saya pernah mendengar hadis yang menyebutkan: “Puasa Ramadhan itu digantungkan di antara langit dan bumi dan tidak dinaikkan keatas kecuali dengan zakat fitrah.”
Ini berarti puasa saya dan puasa keluarga saya yang telah baligh terkatung-katung selama beberapa tahun itu dan tidak diterima. Apa arti ibadah yang kita lakukan bila tidak diterima atau batal sebagaimana dikatakan oleh mufti tersebut?
Dan apa yang harus dilakukan seorang muslim seperti kami bila menjumpai para ulama berbeda-beda pendapat dalam fatwanya?
Kami mohon ustadz berkenan melapangkan dada kami dan orang-orang yang seperti kami yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan yang biasa mengeluarkan zakat fitrah dengan membayar harganya.
Mudah-mudahan Allah berkenan memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada ustadz.
Jawaban:
Menurut pendapat saya, mufti yang memberi fatwa sebagaimana didengar oleh saudara penanya dan mengecam pendapat yang memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan membayar harganya, tidaklah tepat di dalam fatwanya, apabila benar pendengaran si pendengar dan benar pula penginformsiannya. Demikianlah pandangan saya. Saya sendiri mendengar setiap tahun mereka mengecam pendapat yang memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan membayar harganya (dengan uang).
Kekeliruan mufti ini tampak dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan para imam – dan terdapat bermacam-macam pendapat mengenainya – seseorang tidak boleh mengecam dan menyerang orang lain yang menerima dan melaksanakan salah satu diantara pendapat-pendapat tersebut.
Orang ahli ijtihad dan mampu mentarjih (memilih yang kuat dengan berbagai argumentasi dan pertimbangan) di antara pendapat-pendapat tersebut, tidak dituntut oleh syara’ untuk mengamalkannya kecuali yang merupakan hasil puncak ijtihadnya. Jika benar maka dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala atas ijtihadnya dan pahala atas kebenaran hasilnya; dan jika ijtihadnya salah maka dia mendapatkan satu pahala, yaitu pahala atas ijtihad dan upayanya.
Puncak dari apa yang dikatakan mujtahid mengenai dirinya ialah yang diriwayatkan dari Imam Syafi’i r.a., beliau berkata:
رأيي صواب يحتمل الخطأ, ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
“Pendapatku adalah benar tetapi ada kemungkinan keliru, dan pendapat selainku adalah keliru tetapi ada kemungkinan benar.”
Setiap masalah yang tidak ada nashnya yang qath’i tsubut (periwayatannya) dan dilalah (petunjuknya) maka secara meyakinkan hal itu termasuk ijtihadiyah. Dan masalah yang sedang kita bicarakan ini tidak diragukan lagi termasuk dalam jenis masalah ijtihadiyah.
Orang yang dperkenankan bertaqlid –kebanyakan orang memang begitu – boleh mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan, yang diterima oleh umat, yaitu bagi orang yang hanya sampai disitu kemampuannya serta tidak memiliki alat-alat ijtihad dan syarat-syaratnya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (al-Baqarah: 286)
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (at-Taghabun: 16)
Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bila aku perintahkan kamu dengan suatu perkara, maka laksanakanlah semampumu.”
2. Apabila kita perhatikan masalah yang sedang kita bahas ini berdasarkan prinsip tersebut, maka kita lihat bahwa Imam Abu Hanifah dan teman-temannya, al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri, dan Khulafa al-Rasyidin kelima – yaitu Umar bin Abdul Aziz r.a – memperbolehkan mengeluarkan zakat dengan membayar harganya, termasuk zakat fitrah.
Ini juga merupakan pendapat al-Asyhab dan Ibnul Qasim dari mazhab Maliki. An-Nawawi berkata, “ini pulalah yang tampak dari pendapat Bukhari dalam shahihnya.”
Ibnu Rusyaid berkata, “dalam masalah ini al-Bukhari menyetui pendapat Abu Hanifah, meskipun beliau sering berbeda pendapat dengan mereka. Tetapi Bukhari mengemukakan dalilnya untuk pendapat ini.”
Mereka memiliki dalil-dalil yang menjadi acuannya, sebagaimana orang-orang yang tidak memperolehkan mengeluarkan zakat dengan membayar harganya juga mempunyai dalil-dalil dan argumentasi sendiri.
Masalah ini sebenarnya telah saya jelaskan secara terperinci didalam kitab saya Fiqh az-Zakah pada pasal “Menyerahkan harga zakat” dalam bab “Cara Membayar Zakat”.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan satu pendapat yang bersifat tengah-tengah (moderat) di antara kedua pendapat yang bertentangan itu. Beliau berkata:
“Yang paling jelas dalam hal ini, bahwa mengeluarkan harga tanpa ada kebutuhan dan tanpa ada kemaslahatan yang jelas adalah dilarang. Karena itu Rasulullah saw. telah menetapkan ukuran tambahannya dua ekor domba atau dua puluh dirham, dan tidak beralih kepada harganya. Sebab jika beliau memperbolehkan menggantinya secara mutlak, tentu pemilik akan berpaling kepada jenis yang buruk. Terkadang timbul kemudaratan dalam menentukan harga itu, padahal zakat didasarkan pada persamaan, dan ini hanya ada pada ukuran jenis harta itu. Adapun mengeluarkan harga karena adanya kebutuhan, kemaslahatan, atau adanya keadilan, maka hal itu tidak mengapa. Misalnya, seseorang menjual buah yang ada di kebunnya atau tanamannya dengan beberapa dirham, maka dalam hal ini cukup baginya mengeluarkan sepuluh dirham, dan ia tidak usah dibebani membeli buah atau gandum yang lain, karena hal itu akan sama nilainya bagi orang fakir. Imam Ahmad telah menetapkan bolehnya yang demikian itu.
Demikian pula, seperti halnya kewajiban seseorang untuk mengeluarkan zakat berupa seekor domba bagi lima ekor unta miliknya, tetapi karena tidak ada orang yang mau menjual domba maka ia cukup membayar seharga domba itu. Ia tidak dibebani pergi ke kota lain untuk membeli domba tersebut.
Sama juga halnya bila para mustahik (orang yang berhak menerima) zakat minta diberi harganya (dalam bentuk uang) karena akan lebih bermanfaat bagi mereka, maka hendaklah mereka diberi. Atau menurut petugas hal itu akan lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir, sebagaimana dikutip dari Mu’adz bin Jabal bahwa ia pernah berkata kepada penduduk Yaman: “setorkanlah oleh kamu sekalian kepadaku dengan baju kurung atau kain, karena hal itu lebih mudah bagi kamu dan lebih baik bagi kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. Menurut satu riwayat, perkataan Mu’adz ini berkenaan dengan zakat, sedangkan menurut riwayat lain berkenaan dengan jizyah (upeti).”
Meskipun pendapat Ibnu Taimiyah ini berkenaan dengan zakat mal, tetapi ia juga berlaku untuk zakat fitrah.
Inti perselisihan ini adalah perselisihan antara dua madrasah (lembaga pendidikan), yaitu madrasah yang dalam ijtihadnya selalu memperhatikan maksud umum syariah dengan tidak mengabaikan nash-nash juz’iyah (parsial/spesifik), dan madrasah yang hanya melihat nash-nash khusus semata.
Pendapat ini telah dilaksanakan pada generasi terbaik setelah generasi sahabat, yaitu generasi tabi’in, yang mengikuti jejak sahabat dengan baik, dan dilaksanakan pula oleh khulafa ar-Rasyidin (yakni Umar bin Abdul Aziz; Penj.).
Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Aun, katanya: saya mendengar surat Umar bin Abdul Aziz yang dikirimkan kepada Adi di Bashrah –Adi adalah wali kota – yang berbunyi: “Dari tiap-tiap orang pegawai kantor dipungut setengah dirham dari gaji mereka.”
Sedangkan al-Hasan berkata, “tidak mengapa memberikan dirham (uang) untuk zakat fitrah.”
Diriwayatkan dari Abu Ishaq, dia berkata, “saya mendapati mereka mengeluarkan dirham (uang) seharga makanan untuk sedekah Ramadhan (zakat fitrah).”
Juga diriwayatkan dari Atha’ bahwa beliau memberikan uang perak untuk membayar zakat fitrah.
Diantara dalil pendapat ini ialah:
1.Bahwa Nabi saw. bersabda:
أَغْنُوهُمْ-اي المساكن- فِي هَذَا الْيَوْمِ
“cukupkanlah mereka—yakni orang-orang miskin—pada hari ini”
Makna mencukupkan mereka pada hadis ini dapat dengan uang dan dapat pula dengan makanan. Bahkan kadang-kadang uang lebih utama, karena banyaknya makanan yang dimiliki orang fakir – sehingga ia tidak perlu menjualnya untuk kepentingan lain. Selain itu, uang memungkinkan orang fakir dapat membeli sesuatu yang menjadi kelaziman baginya baik yang berupa makanan, pakaian, maupun keperluan lainnya.
a) Ibnu Mundzir mengemukakan bahwa kebolehan mengeluarkan harga itu sudah ditunjukkan sejak dahulu, para sahabat memperbolehkan mengeluarkan setengah sha’ gandum karena dianggap sama nilainya dengan satu sha’ kurma atau sya’ir, sehingga Muawiyah berkata, “saya melihat bahwa dua mud gandum Syam senilai dengan satu sha’”
b) Pemberian zakat dengan harganya ini lebih mudah dilakukan pada zaman kita sekarang terutama di lingkungan negara industri dimana orang-orang tidak bermuamalah kecuali dengan uang. Di samping itu di sebagian besar negara biasanya pemberian dengan harganya itu lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir.
c) Nabi saw. memfardhukan zakat fitrah dengan makanan yang banyak terdapat di lingkungan dan masanya ketika itu bertujuan memudahkan manusia dan menghilangkan kesulitan mereka. Uang perak atau emas pada waktu itu merupakan sesuatu yang amat berharga bagi bangsa Arab dan kebanyakan manusia tidak dapat memilikinya melainkan sedikit sekali, sedangkan orang-orang fakir dan miskin membutuhkan makanan yang berupa bur (gandum), kurma, anggur kering, kismis, atau keju.
Oleh karena itu mengeluarkan makanan lebih mudah bagi si pemberi dan lebih bermanfaat bagi penerima. Dan untuk memudahkan, maka diperbolehkanlah bagi pemiliki unta dan kambing untuk mengeluarkan “keju”. Maka setiap orang mengeluarkan apa yang mudah baginya.
Kemudian daya beli uang itu sendiri berubah-ubah dari waktu ke waktu, dari negara ke negara lain, dan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Kalau kewajiban zakat fitrah ditentukan dengan uang, maka ia akan mengalami turun-naik sesuai dengan daya beli uang itu sendiri. Sedangkan kemampuan satu sha’ makanan untuk mengenyangkan sejumlah orang tertentu itu tidak diperselisihkan, maka jika takaran sha’ yang dijadikan pokok ukuran, memang inilah yang lebih dekat kepada keadilan dan lebih jauh dari perubahan-perubahan.
d) Para muhaqqiq dari ulama-ulama kita telah menetapkan bahwa fatwa itu dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan. Ini adalah kaedah besar yang telah saya kemukakan di dalam kitab saya, ‘Awamilus Sa’ah wal-Murunah fi al– Syariah al-Islamiyyah, dan telah saya kemukakan pula dalil-dalil yang menunjukkan kebenarannya dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan petunjuk para sahabat r.a., lebih-lebih perkataan dan praktik-praktik para ulama.
Orang yang mau melihat kenyataan sekarang akan mengetahui bahwa makanan itu tidak mudah dilakukan kecuali di kalangan masyarakat yang sederhana dan terbatas. Di kalangan masyarakat yang seperti ini makanan mudah didapatkan bagi orang yang hendak mengeluarkan zakat fitrah dengannya, disamping orang-orang miskinnya memang memerlukan makanan. Adapun di lingkungan masyarakat yang besar dan terikat (oleh kesibukan dan batas-batas rumah sehingga tidak saling mengenal; penj.), dengan kepadatan penduduk yang tinggi, yang jarang didapatkan makanan disana—sehingga sulit bagi wajib zakat untuk mengeluarkan zakat dengannya, sedangkan orang yang fakir tidak begitu memerlukannya karena sulit mengolahnya – maka orang yang insaf tidak akan membantah bahwa mengeluarkan harga zakat dalam kondisi seperti ini lebih utama.
Sungguh bagus Imam Ibnu Taimiyah ketika beliau memperbolehkan wajib zakat –yang menjual buah-buahan di kebunnya beberapa dirham – untuk mengeluarkan (zakatnya) dengan uang sepuluh dirham tanpa dibebani membeli buah lagi (untuk membayar zakat itu). Karena bagi si fakir hal itu sama saja (apakah diberi uang atau diberi buah-buahan, bahkan mungkin diberi uang lebih bermanfaat; Penj.). sebagaimana beliau juga memperbolehkan wajib zakat –yang tidak mendapatkan orang yang menjual kambing di kotanya untuk membayar zakat untanya – untuk membayar harganya saja tanpa dibebani membeli kambing ke kota lain. Ini merupakan pembahasan yang benar.
Selain itu, sebagaimana kita akan membebani seorang muslim—yang berdomisili di kota seperti Kairo yang penduduknya lebih dari sepuluh juta kaum muslim –untuk mengeluarkan biji-bijian (sebagai zakat) yang tidak mudah memperolehnya dan tidak berguna bagi si fakir bila diberikan kepadanya?
Orang yang memiliki makanan tetapi ia bakhil terhadap orang fakir berbeda dengan orang yang hanya memiliki uang, seperti penduduk kota, maka dia tidak berbeda dengan orang fakir itu sendiri.
Sesungguhnya zakat fitrah diwajibkan untuk mencukupi orang fakir agar tidak berkeliling meminta-minta pada hari raya sementara orang-orang kaya bersenang-senang dengan harta dan keluarganya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan dirinya, apakah ia telah mencukupi orang fakir – sehingga tidak berkeliling meminta-minta dengan memberinya satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir di kota seperti Kairo pada hari-hari ini? Apakah yang akan diperbuat si fakir terhadap kurma dan sya’ir itu kalau bukan berkeliling-keliling mencari orang yang mau membelinya dengan harga murah sekalipun hasilnya dibelikan lagi makanan pokok yang dibutuhkan untuk dirinya dan anak-anaknya?
Adapun fuqaha mazhab-mazhab panutan memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan pokok yang biasa dimakan penduduk negeri setempat—meskipun tidak termasuk makanan yang disebutkan dalam nash – adalah dimaksudkan untuk memelihara tujuan (difardhukannya zakat fitrah itu).
Sedangkan memindahkan zakat ke daerah atau negara lain itu diperbolehkan apabila terdapat alasan yang benar. Misalnya, penduduk setempat telah tercukupi dengan zakat fitrah yang dikeluarkan oleh para wajib zakat tersebut atau telah mendapatkan bagian yang cukup dari zakat maal di negara itu. Atau bila negara lain lebih membutuhkan disebabkan adanya bencana kelaparan atau bencana-bencana lainnya, atau karena diserang musuh. Bisa juga dikarenakan wajib zakat yang bersangkutan mempunyai kerabat di negara lain yang dalam kondisi sangat membutuhkan (sumbangan/zakat), dalam hal ini ia lebih mengetahui kebutuhan mereka karena memang memiliki hubungan yang lebih dekat.
Kondisi-kondisi seperti ini memperbolehkan untuk memindahkan zakat fitrah atau zakat maal kepada orang-orang muslim yang membutuhkan yang berada di bumi Palestina, khususnya bagi orang-orang yang berjuang melawan musuh. Atau kepada saudara-saudara kita yang mujahidin dan muhajirin dari Afganistan, atau orang-orang yang sedang dilanda bahaya kelaparan dan terancam kristenisasi seperti Bangladeh, Birma Somalia, Eritrea, dan lain-lainnya.
Adapun mengenai perbedaan fatwa dalam berbagai masalah seperti yang ditanyakan saudara penanya, satu pendapat memperbolehkan sedangkan yang lain mengharamkan, atau yang satu menganggap wajib sedangkan yang lain tidak menganggap wajib, maka seorang muslim harus mengambil pendapat orang yang sekiranya mantap di hatinya, dan menurutnya orang tersebut lebih mengerti tentang agamanya, lebih mengerti sumber-sumbernya, lebih tau maksudnya, tidak mengikuti hawa nafsu, tidak menjual agamanya untuk keuntungan dunianya maupun dunia orang lain.
Hal ini seperti keadaan orang sakit yang mendapat advis yang berbeda-beda dari beberapa dokter, maka dalam hal ini hendaklah ia menggunakan advis dokter yang lebih mantap di hatinya, karena lebih pandai, lebih termasyhur, dan sebagainya.
Kekeliruan dalam masalah furu’ (cabang) seperti ini dimaafkan, dan masing-masing orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.
Tinggal kita bicarakan hadis yang berbunyi:
“Puasa Ramadhan itu digantungkan antara langit dan bumi, ia tidak akan diangkat kecuali dengan zakat fitrah.”
Hadis ini adalah hadis yang tidak sah, dan telah saya bicarakan ditempat lain.
Wallahu a’lam.
Sumber: Dr. Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah. Terj. Dr. As’ad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II.Hal. 334-342
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com