Gamis dan Abaya di Timur Tengah
Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor Antropologi Agama King Fahd University-Arab Saudi
Sering saya perhatikan ada cukup banyak yang bertanya: kenapa lelaki Arab memakai gamis berwarna putih dan perempuan memakai abaya berwarna hitam?
Kenapa ya kira-kira? Sebelumnya, perlu sampean ketahui beberapa informasi dasar sebagai berikut:
Pertama, di Timur Tengah, gamis menjadi “pakaian tradisional-nasional” khususnya bagi masyarakat di kawasan Jazirah Arabia saja, meliputi Saudi, Yaman, Oman, Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Kawasan Arab lain (seperti Irak, Libanon, Palestina, Suriah, dlsb) memiliki jenis pakaian tersendiri yang beraneka ragam, termasuk model jubah (bukan gamis) tentu saja.
Sebetulnya, di kawasan Jazirah Arabia juga ada beraneka ragam jenis pakaian tradisional, bukan model gamis, karena masing-masing kelompok suku memiliki “pakaian adat kebesaran” sendiri-sendiri yang biasanya dipakai di acara-acara khusus nan spesial seperti pernikahan atau pertemuan tahunan suku/klan. Setiap kelompok suku atau klan Arab biasanya memiliki pertemuan rutin tahunan membahas berbagai hal.
Kedua, tidak semua masyarakat Arab kontemporer di kawasan Jazirah Arabia (apalagi di kawasan lain di Timur Tengah) kini bergamis ria. Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi dan modernisasi di dunia perbusanaan, tata-busana masyarakat Arab modern di Timur Tengah pun ikut berubah pesat. Kini, banyak sekali dijumpai masyarakat Arab, apalagi generasi muda-milenial, yang berpakaian casual (jeans, kaos, kemeja, dlsb). Gamis hanya dipakai di acara-acara resmi saja seperti ngantor, wisuda, wawancara kerja, dlsb.
Ketiga, pakaian abaya (“jilbab gelombor”) bagi perempuan Arab di Jazirah Arabia hanyalah semacam “jaket” saja yang dipakai kalau mereka keluar rumah atau berada di ruang publik. Di balik abaya itu, mereka memakai jenis pakaian causal yang beraneka ragam (bisa jeans, kaos, baju, tank top, dlsb) kayak kebanyakan kaum perempuan lainnya, baik yang modis maupun tidak, semua tergantung dari tingkatan kelas sosial dan isi kartu ATM mereka. Bahkan sering kali mereka memakai abaya itu kalau sedang berada di negaranya saja. Kalau sudah lewat bandara internasional, abayanya tiba-tiba “cling” menghilang.
Lalu, apakah semua abaya berwarna hitam? Tidak. Kini warna abaya sangat warna-warni merah, kuning hijau, kelabu, disertai aneka ragam asesoris. Dulu, asal-usul warna hitam itu dimaksudkan supaya “onderdil” perempuan tidak kelihatan kalau di ruang publik sehingga lebih aman tidak menimbulkan “kengacengan kolektip” bagi lelaki yang melihatnya. Mungkin karena dulu perempuan tidak memakai “pakaian rangkepan” (daleman). Cuma abaya doang. Tapi kini lain ceritanya.
Lalu, apakah warna gamis selalu putih? Tidak juga. Warna gamis juga warna-warni. Yang putih itu biasanya dipakai kalau pas musim panas karena putih bisa menangkal panas matahari. Kalau musim dingin (antara Desember-Februari), biasanya mereka memakai gamis cokelat, hitam, biru, dlsb. Kalau kerja perempuan lebih banyak di rumah dan di dalam ruangan jadi kurang diperlukan warna putih.
Gamis atau abaya apapun yang mereka pakai, yang jelas, mereka biasa saja memakainya laiknya pakaian lain, tidak merasa lebih saleh-salihah.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
Sumber: https://web.facebook.com/Bungmanto/posts/10161862225710523