Dari Mukhlish ke Mukhlash
Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
TIDAK semua orang yang melakukan perbuatannya dengan ikhlas (mukhlish) dapat disebut mukhlash.
Dengan kata lain, semua orang yang memiliki kapasitas mukhlash sudah pasti mukhlish, tetapi belum tentu seorang mukhlish ialah mukhlash.
Mukhlash berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang berusaha menjadi orang ikhlas, melainkan Allah SWT yang memberikan keikhlasan itu.
Mukhlish masih sadar dirinya pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya ikhlas. Keikhlasan sudah bagian dari habit dan karakternya.
Kalangan sufi memaksudkan konsep ikhlas itu sebagai mukhlash. Syekh al-Fudhail mengatakan: “Menghentikan suatu amal karena manusia ialah riya’ dan mengerjakan sesuatu karena manusia adalah syirik.”
Sahl bin Abdullah mengatakan ikhlas merupakan ibadah yang paling sulit bagi jiwa sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya.
Abu Said al-Kharraz menambahkan, riya’-nya para arifin (ahli ma’rifah) ialah lebih utama daripada ikhlasnya para murid.
Al-Sariy Rahmatullah ‘alaih mengatakan barang siapa berhias karena manusia dengan apa yang bukan miliknya, ia akan terlempar dari penghargaan Allah.
Menurut Ruwaim bin Ahmad bin Yazid al-Baghdadi, ikhlas ialah segala amal yang dilakukan tidak bermaksud mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat.
Ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya.
Jika masih dalam kadar mukhlish, yang bersangkutan masih riskan untuk digoda berbagai manuver iblis karena orang itu masih menyadari dirinya berbuat ikhlas.
Dalam kadar mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena orang itu langsung di-back up Allah SWT.
Berbagai firman Allah SWT menyebutkan dalam hal orang-orang yang sudah sampai di maqam mukhlash, iblis sudah tidak berdaya lagi menggoda mereka, sebagaimana pernyataan iblis yang disebutkan dalam ayat: Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlash di antara mereka”. (QS Al-Hijr/15: 39-40).
Perhatikan ayat-ayat tersebut semuanya menggunakan kata al-mukhlashin (bentuk jamak dari mukhlash) bukannya al-mukhlishin (bentuk jamak dari mukhlish).
Itu menunjukkan jika keikhlasan seseorang baru sampai di tingkat keikhlasan awal, tidak ada jaminan bagi orang itu untuk bebas dari godaan iblis.
Orang yang sudah mencapai tingkat al-mukhlashin bukan hanya terhindar dari cengkeraman iblis, melainkan juga terhindar dari fitnah dan berbagai kecelakaan sosial.
Untuk mencapai tingkat mukhlash, diperlukan latihan spiritual (mujahadah) yang tinggi dan telaten (istikamah).
Mencapai derajat mukhlish saja begitu sulit, apalagi mencapai tingkat mukhlash.
Seorang ulama tasawuf bernama Makhul mengatakan: “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas selama 40 hari kecuali akan tampak hikmah dari hatinya melalui lidahnya.”
Barang siapa yang sudah mencapai tingkat mukhlash maka patutlah bersyukur karena ia sudah berhasil menjadi orang yang langka.
Kelangkaannya terlihat dari sulitnya menemui orang yang betul-betul ikhlas tanpa pamrih sedikit pun dari amal kebajikannya.
Banyak sekali orang yang kelihatannya sudah menjadi tokoh, bahkan ulama, tetapi masih tergoda dan jatuh di dalam cengkeraman nafsunya dan perbuatan terlarang.
Itu menjadi pertanda perlunya kita selalu mengasah keikhlasan.
Kita memohon kiranya kita ditingkatkan menjadi manusia yang tadinya tidak pernah ikhlas menjadi mukhlis, lalu terus berdoa dan berusaha untuk meraih martabat mukhlash.
Allahu a’lam.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/107672-dari-mukhlish-ke-mukhlash