Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
“(ALQURAN) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini,” demikian bunyi firman Allah SWT dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 20.
Ada orang yang melek mata kepalanya, tapi buta mata hatinya. Ada juga yang sebaliknya. Nah, Alquran diturunkan untuk semuanya itu sekaligus. Dia (Alquran) adalah rahmat untuk yang memanfaatkannya, yakni orang-orang yang yakin. Mengapa demikian?
Petunjuk yang kita dapati ada bermacam-macam dan semuanya dari Allah SWT. Ada petunjuk naluri, pancaindra, akal, dan ada petunjuk hati. Petunjuk hati bisa berbentuk ajaran agama.
Alquran memberikan petunjuk yang jelas. Dalam ragam petunjuk, petunjuk pancaindra itu lebih luas daripada petunjuk naluri karena naluri hanya petunjuk ke dalam, sedangkan indra berhubungan ke luar. Akan tetapi, petunjuk akal jauh lebih luas daripada petunjuk pancaindra. Petunjuk akal bisa meluruskan kesalahan petunjuk pancaindra.
Saya beri contoh bintang kecil, akal berbicara bintang tidak kecil. Di sini petunjuk agama lebih luas lagi, dia memberi petunjuk pada akal dan meluruskan kesalahan-kesalahan akal. Alquran adalah petunjuk keagamaan. Karena itu, tidak ada ajaran Alquran yang bertentangan dengan akal bagi manusia.
Pada ayat 21 disebutkan, apakah orang yang melakukan kesalahan sehingga melukai dirinya sendiri, sama dengan orang-orang yang beramal saleh? Bisa jadi dia melukai orang lain. Tentu tidak sama. Tergantung dari sikap dosa yang dia lakukan.
Lalu samakah orang yang melukai dirinya yang melakukan keburukan dengan yang melakukan kebaikan? Tentu saja berbeda dalam kehidupannya dan dalam kematiannya. Dalam hidup misalnya orang yang beramal saleh akan dihormati dan dicintai orang.
Selanjutnya pada ayat 22 disebutkan, “Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak dan tujuan yang benar, pada akhirnya agar setiap jiwa memperolah balasan dari apa yang dilakukannya dan mereka sedikit pun tidak dirugikan.”
Di sana ada kata ‘kasabat’ yang artinya dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu. Ada yang manusia lakukan tidak di bawah kontrolnya, misalnya, jantung yang berdebar. Itu tidak dimintakan pertanggungjawaban (Allah SWT).
Dalam ayat 23, Allah mengajak hamba-Nya untuk berpikir mengenai hawa nafsu untuk sebuah maksud. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?”
Ada orang yang atas nama agama memendam nafsunya. Padahal, Allah tidak memerintahkan seperti itu. Manusia dikaruniai nafsu, tapi Allah memerintahkannya untuk kendalikan nafsumu, bukan bunuh nafsumu.
Jadi, orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dan menjadikannya sebagai Tuhannya, itu karena dia mengikutinya. Pada mereka, Allah membiarkannya sesat. Sebagaimana dalam firmannya, “Dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/235365-alquran-rahmat-untuk-kaum-yang-meyakini