Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
AKHIRNYA terjadi kesepakatan di kalangan umat Islam untuk menggunakan kalender khusus.
Latar belakang dipilihnya momentum hijrah bukan berarti mengecilkan arti dan peran momentum lain sebagaimana disebutkan dalam artikel terdahulu.
Ini semata-mata untuk memberikan citra positif Islam yang terbebas dari kultus individu penganjur utamanya seperti ditemukan dalam sistem kalender lain.
Jika dipilih tahun kelahiran atau wafatnya Nabi Muhammad SAW seolah-olah Nabi memegang peran sentral dalam ajaran Islam. Padahal diketahui bahwa sendi utama ajaran Islam ialah Alquran, wahyu atau kalam Allah SWT. Demikian pula pelantikan beliau sebagai nabi dan peristiwa Isra’ Mi’raj, tidak lebih utama daripada peristiwa hijrahnya beliau ke Yatsrib (Madinah).
Argumen dipilihnya hijrah Nabi ke Yatsrib, antara lain, 1) Dalam Alquran sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru), 2) Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah ke Madinah, 3) Umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijrah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada keadaan dan berhijrah ke kondisi yang lebih baik.
1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penetapan tahun baru Hijriyah ini ditetapkan langsung dengan keputusan Khalifah Umar yang ditandai maklumat keamanan dan kebebasan beragama kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Jerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada 17 H (638 M).
Kalender Hijriyah setiap tahun lebih 11 hari daripada kalender Miladiyah sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender itu semakin mengecil.
Angka tahun Hijriyah pelan-pelan mengejar angka tahun Masehi. Menurut Marshall GS Hodgson dalam The Venture of Islam, satu abad kalender Islam dicapai dalam satu abad kalender Miladiyah dikurangi tiga tahun. Pada tahun satu Hijriah, ada perbedaan enam abad tahun ditambah 21 tahun (622M).
Pada 100 H, ada perbedaan enam abad 18 tahun (100+618=tahun 718 M). Pada 200 H, enam abad ditambah hanya 15 tahun (815 Masehi).
Ketika sampai pada 700 H, perbedaannya ialah enam abad tahun 1300 M. Menurut rumus di atas, keduanya akan bertemu pada 20526 Masehi yang bertepatan dengan 20526 Hijriyah.
Pemilihan nama-nama bulan lebih dihubungkan dengan kondisi objektif dunia Arab ketika itu. Misalnya, disebut Muharam karena pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengharamkan perang.
Pada Oktober, daun-daun menguning sehingga dinamai Shafar (kuning). November dan Desember pada musim gugur (rabi’) berturut-turut dinamai Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir. Januari dan Februari ialah musim dingin (jumad atau beku) sehingga dinamai Jumadil Awwal-Jumadil Akhir.
Salju mulai mencair (Rajab) pada Maret. Datanglah musim semi pada April dinamai bulan Sya’ban (syi’ib = lembah) karena pada saat ini, saatnya turun ke lembah-lembah untuk mengolah pertanian atau menggembala ternak.
Pada Mei, suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada Juni, inilah Ramadhan (pembakaran) dan Syawwal (peningkatan). Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian sehingga bulan ini dinamai Dzul’Qa’dah (Qa’id = duduk).
Akhirnya, Agustus dinamai Dzul-Hijjah sebab pada bulan ini masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim AS.
Sistem kalender Miladiyah dan Hijriyah masing-masing memiliki keunggulan karena bulan dan matahari yang menjadi patokan sama-sama ciptaan Tuhan yang begitu setia mengikuti perintah-Nya, tidak pernah bergeser mengalami kemajuan atau keterlambatan barang sedikit pun sepanjang dunia Bimasakti atau biasa disebut milky way masih normal.
Ini sejalan dengan apa yang ditegaskan dalam QS al-Isra’/17:12 dan QS Yasin/36:38-40.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/235602-lahirnya-kalender-qamariyah-hijriyah