Dari Taib ke Tawwab
Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
GAMBARAN Alquran tentang tobat bertingkat-tingkat. Alquran menyerukan kita melakukan tobat yang lebih tinggi, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Ya ayyuhal ladzina amanu tubu ila Allah taubatan nashuha (Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya).” (QS At-Tahrim/66:8).
Allah SWT juga memperkenalkan tobat yang lebih rendah, tetapi sekaligus mengingkarinya itu sebagai tobat, sebagaimana dikatakan: “Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan…”. (QS An-Nisa’/4:14).
Yang dijamin diterima tobatnya ialah orang yang betul-betul ingin berubah dan mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik, sebagaimana difirmankan-Nya: ”Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Furqan/25:70).
Orang-orang yang bertobat dikenal dengan dua istilah, yaitu al-taib dan al-tawwab. Kedua kata itu berasal dari akar kata yang sama, yaitu taba-yatubu yang berarti kembali ke jalan yang benar setelah melalui jalan menyimpang.
Taib yaitu kembali ke jalan benar setelah menyimpang. Beberapa kata yang sinonim secara harfiah tetapi kemudian berbeda dalam peristilahan, seperti raja’a yang berarti kembali ke jalan atau tempat semula. Ini seperti firman Tuhan, “innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” (QS Al-Baqarah/2:165).
Kata radda yang kemudian membentuk kata murtad berarti ditolak, yakni setelah seseorang bermohon untuk kembali, tetapi ditolak perbuatannya sendiri. Itu sebagaimana ditegaskan Allah: “Dan Allah menghalau (menolak) orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan.” (QS Al-Ahdzab/33:25).
Al-taib ialah orang yang hanya sesekali melakukan pertobatan. Ia membiarkan dirinya terbuai dengan godaan dosa karena mereka yakin pada saatnya pasti akan kembali (taib) ke jalan kebenaran. Dosa dan maksiat mereka dibiarkan bertumpuk dengan harapan nanti sekalian tobat di masa-masa mendatang jika segalanya sudah berubah. Orang itu sesungguhnya melakukan pertobatan, hanya intensitasnya kurang, tidak seperti yang diserukan Allah, yaitu tobat nashuha.
Sementara itu, al-tawwab ialah orang yang selalu melakukan pertobatan, baik ketika ia menyadari telah melakukan kesalahan maupun ketika ia tidak melakukan kesalahan. Ia menjadikan tobat sebagai karakter (habit) karena menyadari kelemahan dirinya di hadapan Allah SWT.
Ia sadar betul bahwa ajal bisa datang tiba-tiba tanpa persiapan sebelumnya. Oleh karena itu, ia selalu berusaha untuk selalu kembali (tawwab) setiap kali ia melakukan dosa/maksiat.
Di dalam Alquran, Allah menjanjikan cinta dan kasih sayang kepada orang-orang yang bolak-balik selalu bertobat (al-tawwabin), sebagaimana dikatakan dalam ayat: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertobat dan selalu membersihkan diri.” (QS Al-Baqarah/2:222).
Ayat itu tidak menggunakan kata al-taibin, jamak dari taib, yang tobatnya sesekali, tetapi menggunakan kata al-tawwabin, jamak dari al-tawwab, yang frekuensi dan intensitas tobatnya sangat kuat. Orang yang demikian itulah yang dicintai Tuhan. Sama dengan cinta yang diberikan kepada orang-orang yang lebih intensif membersihkan diri (al-muthathahhirin).
Menurut Imam Al-Gazali, ada tiga tingkatan tobat, yaitu tobatnya orang awam, yakni tobat dari dosa dan maksiat. Tobatnya orang khawas, yakni tobat bukan karena melakukan dosa atau maksiat, melainkan tobat karena alpa melakukan ketaatan yang bersifat sunah, misalnya meninggalkan salat Duha, Tahajud, dan puasa Senin-Kamis.
Terakhir, tobatnya orang khawash al-khawash, yakni tobat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan ketaatan sunah, apalagi wajib, melainkan tobat karena berkurangnya nilai kekhusyukan dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/106951-dari-taib-ke-tawwab