Panrita.id

Elastisitas Ajaran Islam

Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an

KELENTURAN dan elastisitas ajaran­ Islam dijelaskan secara indah oleh SH Nasser dalam Ideal and Realities of Islam. Dia melukiskan dengan indah sinkronisasi nilai-nilai Islam yang universal dengan budaya dan peradaban lokal.

Mereka tidak saling mengorbankan, tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk kemanusiaan. Keduanya tidak perlu dihadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terbuka. Dalam arti fleksibel dan dapat mengakomodasi nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbuktu, ujung barat Afrika, sampai Merauke­, ujung timur Indonesia.

Peradaban Islam ialah peradaban­ kemanusiaan. Disebut apa saja peradaban itu asal sejalan dengan nilai-nilai universal atau yang biasa juga disebut ajaran dasar Islam dapat diterima sebagai peradaban Islam. Mungkin pada awalnya ada penyesuaian, tetapi masa itu tidak terlalu lama karena esensi nilai-nilai Islam sejalan dengan asas kemanusiaan.

Tidak mengherankan jika Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW dapat menyaksikan sendiri ajaran agama yang dibawanya menyebar ke berbagai penjuru dunia. Menurut Thomas Carlile, tidak ada seorang tokoh selain Nabi Muhammad yang mampu menyaksikan ajarannya dianut hampir separuh belahan dunia.

Misi peradaban Nabi Muhammad SAW bukan dimulai dari nol atau membangun sesuatu dari awal, melainkan bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhana, juga mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis nabi: Innama bu’itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlak ialah sebuah kreasi positif, apakah itu berupa benda atau nonbenda.

Dengan demikian, nilai-nilai lokal tidak perlu terancam. Kearifan­ lokal sesungguhnya juga kearifan Islam. Islam tidak mempertentangkan kearifan lokal dengan nilai-nilai universal, yang penting mengabdi kepada kemanusiaan.

Ketegangan konseptual terjadi manakala nilai-nilai universal dipahami secara kaku di satu sisi. Sementara di sisi lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai lokal. Namun, biasanya bisa diselesaikan dengan kearifan tokoh penganjur kedua pihak.

Titik temu atau jalan tengah biasanya diambil melalui persepakatan adat istiadat setempat. Dalam Islam, hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta merta harus dilakukan sekaligus.

Tuhan Yang Mahakuasa pun memberi waktu 23 tahun untuk turunnya keseluruhan ayat Alquran. Penerapan nilai-nilai Islam dikenal prinsip tadarruj, yaitu nilai-nilai secara berangsur, tahap demi tahap. Selain itu juga dikenal sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh.

Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicapai melalui sinergi antara nilai-nilai lokal dengan ajaran dasar Islam. Dengan demikian, Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah tradisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal.

Bisa dibayangkan, bagaimana nilai-nilai lokal Minangkabau yang matriarkal bisa menyatu dengan nilai-nilai Islam yang cenderung patriarkal.

Penyatuan kedua sistem budaya ini melahirkan sintesis kebudayaan yang indah, yang sering dilukiskan sebagai: Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah.

Bukan hanya Sumatra ­Barat yang menggunakan moto ini, melainkan juga daerah lain, seperti Jawa, Sulawesi, ­Kalimantan, dan Maluku.

Meskipun asal-usul Islam berasal cukup jauh dari Nusantara, keduanya bisa berangkul­an mesra satu sama lain.

Sejauh apa pun sebuah negeri muslim selalu didekatkan dengan kehadiran Kabah sebagai pusat gravitasi spiritual sekaligus kiblat bersama umat Islam.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/235041-elastisitas-ajaran-islam