Iqra’ bi Ism Rabbik: Sumbu Peradaban Islam
Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
ILMU pengetahuan Barat ternyata bukan segala-galanya. Berbagai gerakan dan filsafat bertema kemanusiaan seperti posmodernisme (posmo), new age, dan gerakan humanisme lain boleh bermunculan.
Akan tetapi, ironisnya mereka cenderung tidak berusaha untuk menyebut agama mereka (Kristen/Katolik) sebagai solusi mendasar. Sebagian mereka bahkan menengok Islam sebagai alternatif.
Sayang sekali kelompok radikal mencederai Islam dan membuat mereka ragu kembali kepada agama Islam sebagai solusi kemanusiaan. Kita berharap pemahaman kritis terhadap substansi Islam bisa mengembalikan citra luhur kemanusiaan di dalam Islam.
Sejarah masih terus bergulir. Fenomena terakhir perkembangan Islam di dunia, menurut Hillary Clinton, ialah agama yang paling cepat perkembangannya di dunia Barat, khususnya di AS. Pemberitaan resmi melalui media resmi Vatikan mengakui bahwa Katolik bukan lagi agama terbesar di dunia, tetapi digeser oleh Islam. Tidak ada satu pun negeri di kolong langit ini yang tidak dihuni oleh penganut Islam. Malah ada kecenderungan, menurut Oliver Roy, terjadi deteritorialisasi dunia Islam.
Menurut sebuah pemberitaan di AS, buku-buku the best seller lima tahun terakhir didominasi buku-buku bertemakan Islam meskipun termasuk di dalamnya juga ada yang berpandangan minor terhadap Islam.
Yang menarik untuk dikaji secara khusus ialah hubungan antara analisis Hull dan ayat pertama yang Allah SWT turunkan, Iqra (Bacalah!). Mengapa ayat pertama ini langsung kalimat perintah (fi’il amr), kenapa dengan iqra. Padahal, Nabi sendiri buta huruf dan kenapa ada amr tanpa maf’ul (objek yang harus dibaca).
Ternyata iqra menjadi syok terapi untuk menyentakkan orang agar meninggalkan zaman jahiliyah ke zaman pencerahan dengan menawarkan konsep iqra’ bi ismi Rabbik (Bacalah dengan nama Tuhanmu).
Ini maknanya sangat dalam. Iqra ialah simbol ilmu pengetahuan dan bi Ism Rabbik sebagai simbol agama. Ini mengisyaratkan sebuah road map ideal. Ilmu dan agama harus terintegrasi. Tidak boleh ilmunya dominan, tetapi agamanya tenggelam sebagaimana terjadi pada periode pertama tadi.
Tidak boleh juga agama lebih dominan dan meninggalkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang terjadi pada periode kedua. Iqra tanpa bi Ism Rabbik bisa menjadi malapetaka kemanusiaan. Demikian pula sebaliknya. Mungkin ayat inilah yang mengispirasi Albert Einstein yang pernah membuat statemen mengejutkan, “Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh.”
Arah kesimpulan buku Hull seolah ingin menguatkan QS al-Fath/110, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia ialah Maha Penerima taubat.”
Periode kelima ini terbentang peluang besar dunia Islam. Siapkah mereka untuk naik panggung dalam sejarah peradaban dunia, tergantung pada kesiapan umat Islam sendiri. Bagaimana kita menerjemahkan ajaran Islam sehingga dapat diterima semua pihak (rahmatan lil ‘alamin).
Di sisi lain, bagaimana umat Islam mampu menampilkan diri tidak menjadi ancaman terhadap orang selainnya. Di sinilah peran besar umat Islam Indonesia bisa menampilkan diri sebagai kiblat peradaban baru dunia Islam. Filosofi peradaban Islam sebagai hasil ramuan antara spirit sains dan agama cenderung disambut baik oleh kalangan ilmuwan dan budayawan meskipun di sana-sini juga muncul kekhawatiran dalam bentuk fobia Islam sebagai akibat aksi kekerasan yang dilancarkan sekelompok garis keras yang tidak jelas ke mana arah dan apa tujuannya.
Sangat disayangkan peristiwa yang belum lama ini terjadi di Selandia Baru, yakni penembak brutal membunuh 50 orang muslim yang sedang beribadah hari Jumat. Ini bagian dari fobia Islam tersebut.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/234900-iqra-bi-ism-rabbik-sumbu-peradaban-islam