Panrita.id

Tren Transnasional

Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an

DUNIA Islam menghadapi sesuah tantangan yang amat sophisticated. Perkembangan sains dan teknologi melahirkan gelombang peradaban yang amat radikal.

Mobilitas umat yang tinggi dan pola migrasi umat Islam membawa hegemoni tersendiri di dunia Barat. Selama dua dasawarsa terakhir diperkirakan lebih dari 5 juta umat Islam melakukan eksodus besar-besaran ke negara-negara maju seperti di Eropa, AS, Australia, dan Asia Selatan.

Berbagai friksi yang melanda Timur Tengah seperti krisis politik, ekonomi, dan sosial di negeri mereka membuat kalangan masyarakat dunia Islam Timur Tengah memilih hijrah ke negara-negara tersebut.

Menurut Murad W Hofmann, mantan Direktur Informasi NATO, dalam bukunya Religion on the Rise, Islam in the Third Millennium, eksodus umat Islam besar-besaran memberikan dampak hegemoni sosial politik dunia, mengingat Islam ialah sistem ajaran yang menuntut loyalitas kepada penganutnya.

Di sini umat Islam akan diuji, mampukah bertahan bersama identitasnya di tengah perubahan sosial yang amat kompleks.

Menarik untuk dianalisis generasi baru muslim/muslimah yang lahir di AS. Apakah mereka akan lebih berat mempertahankan dirinya sebagai warga negara AS atau tetap mengedepankan entitas keislamannya?

Di AS kini lahir generasi kedua mereka yang tetap beragama Islam (the western-born and the second-generation muslim). Dari mana pun dan di mana pun komunitas Islam itu berada selalu menciptakan lingkungan sosial unik karena mereka memiliki simbol perekat (melting pot) berupa masjid, halal food, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak, dan majelis taklim untuk para orang tua.

Dari satu sisi keterikatan dengan negara asal sangat kuat karena mereka tetap menjalin silaturahim dengan tokoh-tokoh keagamaan karismatik dari negerinya. Bahkan secara periodik tokoh spiritual itu didatangkan ke negeri baru ini untuk memberikan pencerahan.

Pada sisi lain, generasi kedua muslim ini dituntut oleh negeri baru untuk memberikan loyalitas penuh sebagaimana halnya warga lain yang lahir di negeri tersebut.

Secara emosional dan spiritual warga muslim tetap terikat dengan negeri asal, tetapi secara hukum ketatanegaraan se tempat mengharuskan mereka sepenuhnya loyal kepada negara baru.

Kenyataan umat Islam di negeri ‘kedua’ ini membayar pajaknya kepada negara di mana mereka berdomisili, tetapi zakat harta mereka dikembalikan ke negeri asal, bahkan sebagian di antara mereka masih menyerahkan hewan kurban dan kambing akikah ke negerinya. Sebagian juga masih membangun rumah di negeri asal termasuk dana yang dikumpulkan diinvestasikan ke negeri asalnya.

Kegigihan dan keuletan umat Islam bekerja di tempat lain tentu saja memberikan dampak lain di negara yang dituju. Suatu saat Wali Kota Philadephia, AS, memberanikan diri untuk memberikan pengakuan atas komunitas muslim di wilayahnya dan ternyata tidak mengundang reaksi dari kalangan mayoritas beragama Nasrani di wilayahnya.

Para imigran muslim lebih mudah menyatukan diri dengan warga setempat. Peru bahan positif warganya di bagian utara Philadelphia mengundang simpati banyak orang. Black American di bagian utara tadinya memiliki kebiasaan buruk, seperti jorok, penggemar alkohol, angka kriminal tinggi, perjudian, dan prostitusi.

Akan tetapi, setelah kebanyakan di antara mereka masuk Islam ternyata lingkungan mereka menjadi bersih, kebiasaan buruk narkoba dan alkohol berkurang, mutu sekolah mereka lebih baik daripada Philadelphia selatan yang didominasi orang kulit putih.

Umat Islam yang berada di mana-mana tidak sulit menjadi pengungsi di negara lain karena ada lembaga khusus PBB yang begitu berwibawa mengawasi mobilitas pengungsi. Sebagai pekerja ulet dan tekun, tidak sedikit populasi muslim menembus kelas menengah atas dalam perekonomian di AS dan Eropa.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/234093-tren-transnasional