Panrita.id

The Inner Power of Islam: Asas Islam Membangun Peradaban

Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an

ISLAM sebagai agama paling cepat berkembang di muka bumi tentu memiliki kekuatan dalam (the inner power) yang menarik untuk dikaji.

Mengapa agama terakhir dari anak cucu Nabi Ibrahim (Abrahamic religion) ini begitu cepat menyebar, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapis-lapis kultural.

Peradaban Islam bagaikan mempunyai kekuatan batin sehingga membuat sasaran-sasarannya tidak kuasa menolaknya karena bukan hanya gagasannya masuk akal, tetapi juga sehati dengan masyarakat.

Apabila stelsel peradaban Islam bersentuhan suatu negeri, serta-merta negeri itu respek dan merelakan diri tunduk di bawah spirit peradaban baru ini.

Kemudahan peradaban Islam berpenetrasi dengan mudah ke dalam lingkup peradaban lokal disebabkan oleh asas peradaban Islam sangat universal dan seolah tidak menimbulkan ancaman bagi kekuatan-kekuatan lokal.

Dengan kata lain, peradaban Islam tidak menimbulkan ancaman terhadap pusat-pusat kerajaan dan pemerintahan setempat. Kalaupun ada, itu memang sejalan dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal tersebut.

Di antara asas peradaban dan kebudayaan Islam itu ialah asas pertama al-ikha, yaitu menjunjung tinggi rasa persaudaraan kemanusiaan antara para pendatang dan penduduk lokal. Program al-ikha ini dicontohkan Nabi ketika hijarah ke Madinah.

Laki-laki pendatang (muhajirin) dikawinkan dengan perempuan pribumi (anshar). Demikian pula sebaliknya, laki-laki anshar dikawinkan dengan perempuan muhajirin.

Akibatnya, pembauran genetik yang dampaknya sangat strategis secara psikologis sangat penting.

Generasi penerus kedua kelompok tidak direpotkan lagi dengan isu-isu pribumi dan pendatang karena telah terjadi pembauran utuh antara keduanya.

Asas kedua Al-Musawa, yaitu perinsip persamaan. Islam memperkenalkan asas peradabannya dengan prinsip persamaan (Al-Musawa), baik sebagai sesama makhluk biologis, sesama pewaris sejarah peradaban masa lalu, maupun bentuk-bentuk persamaan lainnya.

Islam selalu atau lebih sering mengedepankan prinsip persamaan (principle of identity) ketimbang prinsip perbedaan (principle of negation). Prinsip persamaan ini didasari oleh banyak ayat, antara lain QS S aal-Hujurat/49:13).

Asas ketiga Al-Tasamuh, yaitu prinsip toleransi. Islam bukan hanya mewacanakan toleransi sebagaimana banyak disinggung di dalam Alquran, antara lain QS al-Kafirun/109:1-6), tetapi juga dipraktikkan dalam lintasan sejarah umat Islam di berbagai negara, dari dulu sampai sekarang.

Tidak kurang dari 15 kali kata Nashara (Kristen) dan 10 kali kata Yahudi disebutkan di dalam Alquran. Bahkan agama-agama minoritas non-Abrahamic religion seperti Al-Shabi’in. Ini semua menggambarkan adanya spirit toleransi di dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.

Asas keempat Al-Musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia (musyawarah) yang tidak lain maknanya ialah demokrasi, yaitu memberi kesempatan secara terbuka kepada semua pihak mengedepankan pendapatnya secara merdeka, tanpa harus khawatir sedikit pun kepada siapa pun karena prinsip demokrasi ini sesuai dengan anjuran Allah SWT di dalam QS Ali ‘Imran/3:159). Allah SWT juga memberi contoh dengan berdialog dengan para malaikat tentang rencana penciptaan manusia (QS al-Baqarah/2:30 dst), berdialog dengan iblis (QS al-Hijr/15:32), dan manusia (QS al-A’raf/7:172).

Asas kelima Al-Mu’awanah, yaitu prinsip tolong-menolong atau gotong royong. Prinsip ini didukung banyak seruan di dalam Alquran dan hadis, antara lain QS al-Maidah/5:2).

Kelima asas ini menjadi faktor mudahnya diterima tawaran peradaban Islam di dalam dunia internasional. Demikianlah asas peradaban Islam yang sesuai dengan naluri kemanusiaan secara universal.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/233680-the-inner-power-of-islam