Panrita.id

Bolehkah Bermakmum Shalat Tarawih Lewat Televisi?

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Dalam era teknologi canggih seperti sekarang ini, kita bisa menyaksikan Masjid al-Haram, misalnya, seperti ditayangkan oleh stasiun televisi swasta. Apakah kita dibenarkan menjadi makmum shalat Tarawih melalui televisi itu? Padahal, dalam shalat jum’at, kita sering mengikuti imam melalui monitor karena terpisah dinding dan lantai?

Jawaban:

Jangankan melalui televisi, melalui radio pun “ada” saja yang membolehkannya. Ahmad bin Muhammad ash-Shiddiq pada 1475 H menulis sebuah buku berjudul al-Iqna’ bi ash-Shihhah Shalah al-Jumu’ah fi al-Manazil khalfa al-Mizya’ yang berbicara tentang sahnya shalat Jum’at di rumah melalui radio dengan 3 syarat:

Pertama, waktu pelaksanaannya bersamaan atau tidak dilakukan oleh mereka yang mengikuti di luar waktu shalat itu (karena setiap shalat harus dilakukan pada waktunya).

Kedua, negeri atau tempat shalat makmum harus berada di belakang negeri atau tempat shalat imam, karena syarat sahnya shalat berjama’ah adalah: imam harus berada di depan makmum.

Ketiga, makmum harus berada dalam satu shaf bersama orang lain, walau hanya seorang (tidak dijelaskan apa alasan syarat ini).

Pendapat ini ditolak oleh banyak ulama, antara lain, dengan alasan “bakal mengosongkan masjid, serta mengakibatkan silaturrahmi dan pertemuan antara jama’ah tidak terlaksana.”

Saya pun tidak cenderung mendukung pendapat ini. Apalagi, hampir semua ulama mensyaratkan kesatuan tempat imam dan makmum. Bahkan, mazhab Syafi’i mensyaratkan bahwa makmum yang sedang menunaikan shalat harus mampu berjalan menuju tempat imam tanpa ada sesuatu pun yang menghalanginya. Tentu saja, syarat ini tidak dapat terlaksana jika makmum di Indonesia mengikuti imam di Masjid al-Haram.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 16-17.