Oleh: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional
Pertanyaan:
Bagaimana hukum orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan apabila dia mengumpat, berdusta, atau melihat wanita lain (bukan mahram) dengan bersyahwat? Apakah sah puasanya?
Jawaban:
Puasa yang bermanfaat dan diterima Allah ialah yang dapat membersihkan jiwa, menguatkan kemauan kepada kebaikan, dan membuahkan taqwa sebagaimana dalam firmannya:
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
Oleh sebab itu, wajib bagi orang yang berpuasa untuk menahan diri dari perkataan atau perbuatan yang meniadakan puasanya, sehingga dalam menjalankan puasa ia tidak hanya mendapatkan lapar dan haus, serta tidak terhalang dari pahala. Dalam hadis disebutkan:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، واذا سابه او قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa itu perisai, maka apabila salah seorang dari kamu sedang berpuasa janganlah berkata kotor dan berbuat pandir (tolol) dan apabila ada seseorang yang mencacinya atau mengajaknya bertengkar maka hendaklah ia berkata, “sesungguhnya aku berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya itu melainkan lapar. Dan betapa banyak orang yang melakukan shalat malam, tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu dari shalat malamnya itu kecuali tidak tidur.” (HR. al-Nasai, Ibn Majah dan al-Hakim)
مَنْ لَمْ يَدَعِ الزُّورَ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهِ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang buruk, maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Ash-Habu Sunan)
Ibn Arabi berkata, “hadis ini mengandung makna bahwa orang tersebut tidak diberi pahala atas puasanya dan hal ini menunjukkan bahwa pahala puasa itu hilang disebabkan ucapan dusta dan dosa-dosa lain seperti yang telah disebutkan.”
Ibn Hazm berpendapat bahwa hal-hal tersebut membatalkan puasa seperti haknya makan dan minum. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in.
Saya sendiri walaupun tidak sepaham dengan Ibn Hazm berpendapat bahwa kemaksiatan dapat menghilangkan ‘buah’ puasa dan merusak maksud disyariatkannya puasa itu sendiri. Karena itu para salaf yang saleh dahulu menaruh perhatian yang besar untuk menjaga puasa dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia dan haram sebagaimana mereka memeliharanya dari makan dan minum. Umar ra berkata:
ليس الصيام من الشراب و الطعام وحده ولكنه من الكذب والباطل واللغو
“Puasa itu bukan hanya menahan diri dari minum dan makan, tetapi juga dari ucapan dusta, bathil dan sia-sia.
Jabir ra berkata:
اذا صمت فليصم سمعك و بصرك ولسانك عن الكذب والماثم, اذي الخادم, واليكن عليك وقار وسكينة يوم صيامك, ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء
“Apabila anda berpuasa maka hendaklah pendengaran, penglihatan dan lisan anda juga berpuasa dari dusta dan dosa-dosa, janganlah anda menyakiti pembantu, hendaklah anda bersikap merendah dan tenang pada hari anda berpuasa, dan janganlah anda samakan hari berbuka anda dan hari berpuasa anda. “
Abu Dzar pernah berkata kepada Thaliq bin Qais, “apabila engkau berpuasa, maka jagalah dirimu semampu mungkin.” Oleh karena itu, jika sedang berpuasa Thaliq tidak keluar rumah kecuali untuk menunaikan shalat. Abu Hurairah dan sahabat-sahabatnya apabila berpuasa mereka duduk di masjid, dan mereka berkata, “puasa yang paling ringan ialah puasa dari makan dan minum.”
Bagaimanapun juga, puasa memiliki pengaruh dan pahala, demikian pula ghibah, dusta dan sebagainya, ada sanksi dan balasannya disisi Allah.
`’…Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (al-Ra’d: 8)
Demikian pula setiap amalan, ada perhitungan dan timbangannya:
“…Tuhan kami tidak akan pernah salah dan tidak (pula) lupa.” (Thaha: 52)
Renungkanlah hadis Nabi saw. yang menunjukkan betapa halus dan adil hisab Allah di akhirat nanti. Dengan begitu anda akan mendapatkan jawaban yang memadai mengenai pertanyaan ini dan dua pertanyaan sebelumnya. Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa ada seorang sahabat Rasulullah saw. duduk dihadapan beliau seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, saya mempunyai beberapa orang budak, tetapi mereka berdusta dan melanggar kepadaku, lalu saya pukul dan saya caci maki mereka. Maka bagaimanakah kedudukan saya terhadap mereka kelak pada hari kiamat?” Rasulullah saw. menjawab, “Pengkhianatan, pelanggaran dan kebohongan mereka terhadapmu serta hukumanmu terhadap mereka semuanya akan dihisab. Jika hukumanmu terhadap mereka masih dibawah dosa-dosa mereka, maka engkau memperoleh kelebihan. Tetapi, jika hukumanmu terhadap mereka melebihi dosa-dosa mereka, maka engkau akan dikenai balasan, kebelihan yang telah engkau peroleh sebelumnya akan diambil. “lalu orang itu menangis dan menjerit dihadapan Rasulullah saw. maka Rasulullah saw, bersabda: “Mengapa tidak membaca firman Allah ini:
“kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)-nya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya: 47)
Akhirnya orang itu berkata, “wahai Rasulullah, saya tidak menjumpai sesuatu yang lebih baik daripada berpisah dari mereka (yakni budak-budaknya), maka saya persaksikan kepadamu bahwa mereka seluruhnya telah merdeka.”
Sumber: Dr. Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah. Terj. Dr. As’ad Yasin , Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid I. Hal. 403-407.