Oleh: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional
Pertanyaan:
Sebagian wanita muslimah rajin melakukan shalat tarawih di masjid, mereka pergi shalat sendiri ke masjid tanpa izin suaminya. Sebagian diantara mereka juga ada yang memperdengarkan suaranya dengan berbicara di masjid. Bagaimanakah hukum shalat mereka? Apakah shalat tarawih itu wajib atas mereka?
Jawaban:
Shalat tarawih tidak wajib atas laki-laki maupun wanita. Shalat tarawih hukumnya hanya sunnah, tetapi ia mempunyai kedudukan dan pahala yang besar disisi Allah. Imam al-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) meriwayatkan dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. menyuruh mereka melakukan shalat tarawih dengan penuh semangat, kemudian beliau bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa melaksanakan shalat malam bulan Ramadhan (tarawih) karena iman dam mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telaha lampau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa melaksanakan shalat tarawih dengan khusyu’ dan tuma’ninah karena iman dan mencari ridha Allah, serta melaksanakan shalat shubuh pada waktunya, maka dia telah melaksanakan qiyamu ramadhan (shalat sunah pada malam-malam Ramadhan) dan berhak mendapatkan pahala sebagai orang yang telah melaksanakannya.
Ketentuan tersebut meliputi pria dan wanita secara keseluruhan. Akan tetapi shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada di masjid, kecuali jika keperluannya ke masjid itu memperoleh faedah lain selain shalat, seperti mendengarkan pengajian, mempelajari ilmu, atau mendengarkan al-Qur’an dari orang lain yang membacanya dengan khusyu’ dan baik. Maka, pergi ke masjid untuk tujuan-tujuan seperti ini lebih utama dan lebih baik. Lebih-lebih pada zaman kita sekarang, pada saat sebagian besar laki-laki tidak dapat (tidak sempat) memberikan pelajaran agama kepada istri-istri mereka. Atau mungkin mereka berkeinginan untuk memberikan pelajaran agama, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu. Maka tidak ada lain tempat yang sesuai selain masjid. Karena itu sudah seyogyanya kaum wanita diberi kesempatan untuk melaksanakan hal ini, dan jangan diberi dinding antara mereka dengan rumah Allah. Apalagi jika tinggal di rumah kebanyakan mereka tidak mempunyai gairah dan kemauan untuk melaksanakan shalat tarawih sendirian. Berbeda halnya apabila mereka melaksanakannya di masjid dan berjamaah.
Walaupun begitu, jika wanita hendak keluar dari rumah—meskipun ke masjid—harus seizin suami, karena suami meruapakan penanggung jawab dalam rumah tangga dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban mengenai keluarganya, sedangkan istri dalam hal ini wajib menaati suaminya selama ia tidak diperintahkan untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan maksiat.
Seorang suami tidak berhak melarang kehendak istrinya untuk pergi ke masjid apabila tidak ada halangan yang dapat dijadikan alasan menurut syara’. Imam Muslim meriwayatkan dari Nabi saw., beliau bersabda:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Janganlah kamu melarang hamba-hamba Allah datang ke masjid-masjid Allah”
Beberapa contoh yang dapat dijadikan alasan syar’i yang melarang wanita pergi ke masjid, misalnya karena sang suami sakit sehingga istri harus selalu menungguinya untuk merawatnya atau ia mempunyai anak kecil yang bila ditinggalkan sendirian di rumah akan mendapatkan madharat selama dia melaksanakan shalat, sedangkan dia tidak mempunyai pembantu yang dapat menjaga anak-anaknya, atau alasan dan udzur lainnya yang dapat diterima akal.
Adapun hukum percakapan yang dilakukan wanita di masjid, sama halnya dengan laki-laki, mereka tidak boleh mengeraskan suara tanpa ada keperluan, lebih-lebih jika pembicaraan tersebut mengenai urusan keduniaan. Karena masjid dibangun hanyalah untuk tempat beribadah atau untuk kepentingan keilmuan.
Oleh sebab itu, wanita muslimah yang mempunyai perhatian besar terhadap ad-Din hendaklah bersikap tenang (diam) didalam rumah Allah sehingga tidak mengganggu orang-orang yang sedang shalat atau sedang menuntut ilmu. Kalaupun itu perlu berbicara, hendaklah ia berbiacara dengan suara perlahan dan seperlunya, serta jangan keluar dengan ketenangan dan kesopanan baik dalam hal berbicara, berpakaian ataupun berjalan.
Saya ingin menyampaikan beberapa hal dalam kesempatan ini sekedar untuk mengingatkan sesungguhnya sebagian laki-laki ada yang bersikap berlebihan dalam menerapkan hukum bagi kaum wanita sehingga mempersempit ruang gerak mereka. Di masjid-masjid mereka di pasang dinding kayu yang tinggi yang memisahkan antara kaum pria dan wanita. Mereka menghalangi kaum wanita mengetahui gerak-gerik imam kecuali hanya dengan mendengarkan suaranya. Mereka juga membiarkan kaum lelaki seenaknya berbicara dan bercakap-cakap di masjid, tetapi tidak seorangpun dari mereka yang memberi kesempatan pada kaum wanita. Maka apabila kaum wanita ingin membincangkan persoalan-persoalan agama, mereka harus melakukannya dengan berbisik. Padahal hal seperti ini tidak pernah ada zaman Nabi saw. dan para sahabat beliau.
Sikap seperti ini menunjukkan tidak adanya kesadaran yang pada hakikatnya bersumber dari kekuatan dan ghirah (kecemburuan) yang tercela, seperti disinyalir dalam hadis berikut:
إِنَّ مِنَ الْغَيْرَة مَا يُبْغِضُ اللهُ و رَسُولُه
“Sesungguhnya diantara kecemburuan itu ada yang dibenci Allah dan Rasul-nya.”
Maksud hadis ini adalah ghirah yang tidak dipertimbangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan modern ini telah membuka berbagai “pintu” kesempatan bagi kaum wanita. Mereka bisa keluar rumah menuju ke tempat-tempat seperti sekolah, pasar dan lain-lainnya. Tetapi mengapa mereka dihalangi dari tempat yang paling baik dan paling utama, yaitu masjid? Maka, dengan tanpa merasa keberatan saya menyerukan: “Berilah kelapangan bagi kaum wanita untuk datang ke rumah-rumah Allah dalam rangka memperoleh kebaikan, mendengarkan nasihat-nasihat, dan memperdalam pengetahuan agamanya, tidak mengapalah mereka bersenang-senang asalkan tanpa bermaksiat dan melakukan hal-hal yang menimbulkan keraguan, serta mereka keluar dengan sopan, tenang dan jauh dari simbol-simbol tabarruj (mempertontonkn kecantikan dan keindahan) yang dibenci Allah.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Sumber : Dr. Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah. Terj. Dr. As’ad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid I. Hal. 412-415.
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com