Waktu Imsak yang Sebenarnya
Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Pertanyaan:
Ada yang ingin saya tanyakan tentang waktu imsak. Begitu memasuki waktu imsak, apakah kita masih diperbolehkan makan dan minum? Dan artinya imsak itu sendiri apa? Batasan akhir untuk makan sahur itu dari imsak atau adzan shubuh?
Jawaban:
Berdasarkan tuntunan al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 187, kita dibolehkan untuk makan dan minum sampai terbit fajar shiddiq. Maka puasa itu dimulai sejak terbit fajar shiddiq atau masuknya waktu shalat shubuh, bukan sejak dikumandangkan azan subuh, sebab boleh jadi azan subuh dikumandangkan terlambat beberapa menit setelah terbit fajar shiddiq. Allah swt. berfirman:
“Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS al-Baqarah ayat 187)
Pada waktu dini hari ada 2 macam fajar, 1) fajar kazib (fajar bohong), yaitu sinar yang terang waktu dini hari yang melintang antara timur dan barat, setelah sinar itu terbit tidak lama kemudian langit kembali gelap. 2) fajar shiddiq, (fajar benar) yaitu sinar yang membentang secara horizontal antara arah utara sampai selatan. Makin lama sinar itu semakin terang dan kemudian terbitlah matahari. Sekali lagi puasa diawali ketika fajar shiddiq terbit.
Adapun imsak yang artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berhubungan seksual, maka itu diperlukan dalam rangka menjaga kemaslahatan (kepentingan) orang yang berpuasa agar dia tidak kebablas makan dan minum sampai terbit fajar shiddiq.
Oleh karena itu saran kami, kalau sudah ada tanda waktu imsak, biasanya 10 menit sebelum terbit fajar shiddiq, sebaiknya kita langsung menahan diri, tidak makan, tidak minum dan atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
Demikian jawaban kami.Wallahul Muwaffiq
Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Ramadhan bersama Ali Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 58-60.