Shiyam dan Shaum (Puasa Berganda)
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Ada orang yang mempersamakan maksud kata shaum dan shiyam. Sebenarnya tidaklah demikian, kendati keduanya dari segi bahasa berarti menahan. Shiyam adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks demi karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Inilah yang ditunjuk antara lain oleh QS. al-Baqarah [2]: 183 dan yang atas dasarnya umat Islam berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Sedang shaum digunakan al-Qur’an untuk makna menahan diri tidak mengucapkan sesuatu yang tidak berguna walau sesuatu itu benar.
Ibu Nabi Isa—Maryam as.—ketika membawa putra beliau Isa as. di hadapan kaumnya, dipesan Allah agar melakukan shaum, yakni menahan diri tidak berbicara menyangkut kelahiran putra yang lahir tanpa ayah itu. Melalui malaikat, Allah berpesan: Makan dan minumlah serta bersenang-senanglah. Jika engkau melihat seseorang (mengingkari keadaanmu yang melahirkan anak tanpa ayah) maka (berilah isyarat) bahwa engkau sedang melaksanakan shaum (sehingga) tidak akan berbicara kepada siapa pun hari ini (QS. Maryam [19]: 26). Tentu kata shaum pada ayat ini bukan berarti tidak makan dan minum karena awal ayatnya memerintahkan beliau makan dan minum. Kata shaum di sini berarti menahan diri tidak berbicara karena ketiadaan manfaat pembicaraan ketika itu.
Shiyam Ramadhan dilaksanakan pada waktu tertentu dan masa tertentu, yakni hanya sebulan di siang hari, sedang shaum hendaknya dilaksanakan sepanjang tahun, bahkan sepanjang masa hidup sejak bangun tidur sampai tidur. Rasul berpesan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berucap yang baik atau diam saja.”
Menjaga lidah dari ucapan buruk adalah sesuatu yang sangat perlu, lebih-lebih di bulan Ramadhan ini. Karena itu, Rasul berpesan: “Kalau salah seorang di antara kamu berpuasa lalu ada yang memakinya, maka hendaklah dia berucap: Ya Allah, aku berpuasa.” Maksudnya, hendaklah dia menanamkan dalam benaknya bahwa shiyam atau shaum melarangnya untuk mengucapkan sesuatu yang buruk.
Jangan berkata bahwa yang terlarang itu hanya ucapan buruk yang tidak benar. Tidak! Ucapan buruk apa pun, harus dihindari. Tentu saja, lebih-lebih yang tidak benar (fitnah).
Memang ada celah bagi seseorang untuk mengucapkan kata-kata buruk, tetapi bukan yang tidak benar. Dalam bahasa pemilu ada yang dinamai kampanye hitam dan ada juga kampanye negatif, yang hitam tidak ada celah membenarkannya. Terkutuk pelaku dan penyebarnya. Adapun membicarakan keburukan orang lain walau kandungannya benar, maka sifat kampanyenya tidak dibenarkan, sedang bila tidak bersifat kampanye maka hendaknya dihindari walau ada celah yang dibuka agama untuk melakukannya, yakni jika itu amat perlu diketahui demi menghindari mudharat.
Celah itu antara lain terhadap mereka yang tidak terang-terangan melakukan keburukan. Itu dibenarkan karena tidak lagi dikecam pelaku kemungkaran bila dilakukan oleh yang tidak dikenal melakukan ma’ruf. Yang berulang-ulang melakukan kemungkaran akan menganggap kemungkarannya ma’ruf sebab yang munkar, jika berulang-ulang dilakukan, akan dinilai ma’ruf, dan bila munkar telah menjadi ma’ruf, pasti yang ma’ruf menjadi munkar.
Celah lain adalah bila ada pertanyaan menyangkut sifat seorang yang amat perlu diketahui penanya. Katakanlah yang bersangkutan akan diangkat dalam satu jabatan atau melamar untuk menikah. Di sini yang ditanya berkewajiban menyampaikan sisi negatif sosok itu—kalau memang ada—tapi itu pun dengan syarat tidak menelanjanginya dengan menyebut semua keburukannya, tapi cukup satu atau dua yang atas dasarnya yang bersangkutan tertolak/ditampik.
Sekali lagi, mari dalam bulan Ramadhan ini kita melakukan puasa berganda, sekali dengan shiyam dan di kali lain dengan shaum. Wa Allâh A’lam.
Sumber: http://quraishshihab.com/article/shiyam-dan-shaum-puasa-berganda/