Panrita.id

Pemahaman Jihad dalam Perspektif Islam di Indonesia

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Kata jihad cukup populer di dunia Islam temasuk di Indonesia, bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa jihad merupakan salah satu prinsip dasar ajaran Islam. Sayang, kata ini sering kali dikerdilkan maknanya atau dan digunakan bukan pada tempatnya.

Kata jihad terambil dari Bahasa Arab: jahd, yang pada mulanya berarti kesulitan/kesukaran atau juhud, yakni kemampuan. Kedua makna tersebut mengisyaratkan bahwa jihad yang sebenarnya tidaklah mudah, tetapi dapat menjadikan sang mujahid berhadapan dengan aneka kesulitan dan kesukaran. Sang Mujahid juga dituntut untuk tidak berhenti sebelum kemampuannya berakhir atau cita-citanya terpenuhi. Itu sebabnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan, para mujahid/pejuang bangsa kita berpekik, “Merdeka atau mati.”

Merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam―al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.―ditemukan aneka ragam jihad bermula dari jihad dengan hati untuk melahirkan/mengukuhkan tekad, dengan lidah untuk menjelaskan dan membuktikan kebenaran, dengan tenaga, dengan harta, sampai dengan nyawa, demi tegaknya nilai-nilai ajaran Islam:

من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله

“Siapa yang berjuang demi tegaknya kalimat Allah, maka dia telah menelusuri sabilillah/jalan Allah.”

Demikian sabda Nabi saw. Jadi, tujuannya bukan menumpahkan darah, apalagi membunuh, tetapi meninggikan nilai-nilai agama Allah. Perlu dicatat bahwa salah satu dari ajaran agama Allah adalah memberi kebebasan kepada setiap penganut agama/kepercayaan untuk melaksanakan tuntunan agama/kepercayaan mereka―walau tuntunan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Itu yang ditegaskan oleh firman Allah yang pada mulanya ditujukan kepada para kaum musyrik penyembah berhala, “Lakum dînukum wa liya dîn.” Memang jika mereka menghalangi kaum Muslimin untuk melaksanakan tuntunan agama, maka sikap mereka harus dihadapi dengan cara apa pun walau sampai tingkat pertempuran.

Atas dasar yang dikemukakan di atas adalah sangat keliru membatasi makna jihad hanya pada peperangan bersenjata. Bukankah Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk berjihad dengan menggunakan al-Qur’an ketika beliau masih di Mekkah―dimana kekuatan bersenjata ketika itu belum beliau miliki? Allah berfirman:

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًاكَبِيرًا

Janganlah patuh kepada orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Quran jihad yang besar (QS. al-Furqân [25]: 52).

Jihad yang dimaksud di sini pasti bukan penggunaan kekerasan, tetapi ia adalah berusaha dengan semua kemampuan membulatkan tekad menghadapi kesulitan serta upaya menjelaskan nilai-nilai agama kepada mereka yang menentangnya.

Bukankah Allah memerintahkan Nabi saw. untuk berjihad menghadapi orang-orang musyrik dan munafik?

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Wahai Muhammad, berjuanglah melawan orang-orang kafir yang menyatakan kekafirannya dan orang-orang munafik yang menyembunyikan hakikat mereka dengan segala kekuatan dan bukti yang kamu miliki. Bersikap keraslah dalam berjuang melawan kedua kelompok tersebut. Tempat tinggal mereka adalah Jahannam. Seburuk-buruk tempat kembali adalah tempat mereka. (QS. at-Tahrîm [66]: 9)

Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang munafik dan bersikap tegaslah terhadap mereka! Tempat mereka kelak di Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali (QS. at-Tahrîm [66]: 9 dan at-Taubah [9]: 73).

Sejarah menjelaskan bahwa tidak seorang munafik pun yang beliau hukum mati―walau pelanggaran beratnya telah berulang kali seperti halnya pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Sayyidina Umar mengusulkan kepada Nabi saw. agar yang bersangkutan dihukum mati, beliau bersabda: “Nanti orang akan berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” Jika demikian, arti jihad pada ayat di atas pun bukanlah penggunaan senjata/pertempuran.

Bukankah sangat populer riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda ketika kembali dari Perang Tabuk bahwa: “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar?” Di sisi lain diriwayatkan bahwa istri Nabi saw., as-Sayyidah ‘Aisyah pernah bertanya kepada Nabi saw., “Apakah wanita wajib juga berjihad?” Nabi memberi salah satu contoh dari jihad perempuan dengan bersabda: “Jihad mereka Haji dan Umrah.” “Apakah ada jihad tanpa peperangan?” Nabi menegaskan: “Ya. Ada jihad tanpa pertempuran.

Hal lain yang menunjukkan bahwa jihad bukanlah bertujuan dasar membunuh atau melakukan kekerasan adalah bahwa Nabi saw. dalam aneka pertempuran selalu menawarkan kepada lawan―sebelum bertempur tiga alternatif: a) Memeluk Islam atau b) Tetap memeluk agama/kepercayaan mereka, tapi menjadi penduduk yang baik dengan membayar jizyah (pajak sebagai imbalan pembelaan terhadap mereka serta penggunaan mereka terhadap fasilitas umum), atau c) Ditindak/diperangi jika mereka menolak kedua tawaran tersebut. Penindakan itu pun tidak otomatis berarti pembunuhan.

Dalam al-Qur’an, kata jihad dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 41 kali. Umumnya bermakna upaya sungguh-sungguh menjelaskan nilai-nilai ajaran Islam serta membelanya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud oleh al-Qur’an dan Sunnah dengan jihad adalah berjuang menggunakan segala kemampuan dan daya yang dimiliki untuk menghadapi segala macam musuh Islam dan musuh kemanusiaan dalam berbagai bidang, segala macam keburukan atau yang mengantar kepada keburukan. Setiap Muslim berkewajiban melawan nafsu setan, kebodohan, penyakit, kemiskinan dan lain-lain. Ini berarti bahwa setiap Muslim wajib berjihad sepanjang hayatnya. Ini demikian karena manusia memiliki dalam dirinya potensi negatif dan positif. Dunia adalah arena pertarungan antara kebaikan dan keburukan sehingga dengan demikian jihad harus dilakukan sepanjang hayat dan jihad harus berlanjut sampai kiamat karena keburukan selalu ada dan beraneka ragam.

Jihad dan Ijtihad

Pada masa kejayaan Islam, jihad dalam berbagai bidang itu terlaksana dengan baik serta didukung oleh apa yang dinamai ijtihad, yang secara umum dapat diartikan sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh guna menemukan solusi keagamaan/hukum untuk aneka masalah yang dihadapi umat/masyarakat. Tetapi ketika kelemahan intelektual muncul dan kesimpang-siuran fatwa merajalela sehingga membingungkan umat, lahirlah ide menutup pintu ijtihad. Sehingga, ketika itu hampir tidak ada lagi ide-ide baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Nah, ketika itu terjadi, kepincangan antara kekuatan fisik negara dengan akal, antara pedang dan pena. Salah satu akibatnya adalah mengerdilkan makna jihad menjadi kekuatan fisik dan pertempuran semata-mata, tidak lagi dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh menghadapi aneka musuh agama dan kemanusiaan.

Dampak dari kenyataan di atas terlihat, antara lain pada bangkitnya upaya memurnikan agama dan mempertahankan apa yang diamalkan oleh Rasul saw. dan sahabat-sahabat beliau. Mereka menolak pembaharuan, bahkan mengabaikan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh ulama-ulama―masa lampau sekalipun―yang menyatakan bahwa ketetapan hukum harus mempertimbangkan ‘illat/sebab ditetapkannya sehingga jika ‘illat-nya tidak ada lagi, maka hukum pun tidak berlaku lagi.

Sebagai contoh, patung-patung dilarang karena dahulu ia disembah, sehingga kini jika tidak disembah lagi, maka mestinya yang ada tidak harus dihancurkan. Inilah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw., antara lain oleh mereka yang ke Mesir yang hingga kini patung-patung tersebut terpelihara dengan baik. Menurut para pemurni agama itu, “Agama telah sempurna. Semua telah dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasul saw. sehingga semua yang tidak beliau lakukan dan atau tidak dilakukan oleh sahabat-sahabat beliau adalah bid’ah yang harus dilarang. Mereka bermaksud mengembalikan masyarakat Islam ke masa Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau yang mereka nilai bahwa itulah masa keemasan Islam yang diperjuangkan dengan jihad dalam maknanya yang terbatas. Kekhalifahan harus dikembalikan tanpa mempertimbangkan berkembang dan mantapnya paham Nasionalisme di seluruh persada bumi. Menghormati bendera adalah syirik, Pancasila adalah kekufuran, patung-patung bersejarah harus dihancurkan, perempuan harus sangat dibatasi kegiatannya dan bisa jadi ada yang berkata: Poligami harus digalakkan karena Nabi saw. berpoligami dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa dasar-dasar kehidupan masyarakat yang diajarkan Islam dan yang diterapkan untuk runtuh. Kebhinekaan dihapus, candi-candi dan gereja-gereja dihancurkan. Sikap semacam itu bukanlah isapan jempol, tetapi benar-benar terbukti dalam kenyataan di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh ISIS Al-Qaedah di Timur Tengah dan Boko Haram di Nigeria.

Persoalan tidak akan terlalu parah jika pandangan mereka itu tidak disertai dengan semangat menggebu-gebu untuk memperjuangkannya dengan berbagai cara kekerasan. Gejala-gejala semacam itu mulai amat terasa dan terlihat di Indonesia, antara lain dengan bermunculannya aneka tulisan, lebih-lebih melalui dunia maya yang menghidangkan kekerasan serta gencarnya secara tuduhan dan fitnah terhadap sekian banyak tokoh yang tidak sepaham dengan mereka. Padahal tokoh tersebut tidak melakukan, kecuali mengajak umat bersikap berpegang teguh dengan pandangan mayoritas umat Islam sedunia, serta bersikap toleran dan menghormati semua pendapat selama pendapat tersebut bercirikan kedamaian. Tentu saja penghormatan itu tidak otomatis berarti menerimanya.

Jihad dan Mujahadah

Mereka yang menyalahpahami pengertian jihad sebagaimana yang diajarkan Islam, sering kali juga melupakan syarat mutlak bagi tegaknya jihad dalam berbagai ragam dan aspeknya, yakni apa yang diistilahkan dengan mujahadah.

Mujahadah adalah upaya menekan gejolak nafsu dan aneka rayuan yang dapat mengalihkan seseorang dari tujuan yang benar. Mujahadah dibutuhkan setiap saat, termasuk ketika melaksanakan jihad, lebih-lebih dalam konteks pertempuran. Ia dibutuhkan sebelum, pada saat, dan sesudah pertempuran. Sebelum pertempuran, sang mujahid dituntut memahami dan menghayati tujuan sambil membentengi jiwanya dari aneka ambisi duniawi, kepentingan pribadi atau kelompok. Saat pertempuran ia harus selalu mengingat tujuan pertempuran sehingga ia tidak terdorong untuk melakukannya akibat dendam pribadi serta bersedia segera menghentikannya jika tujuan telah tercapai atau jika tujuan telah menyimpang dari apa yang dibenarkan agama. Sedang setelah usainya pertempuran, ia masih dituntut untuk terus memelihara hatinya agar jangan sampai kemenangan menjadikannya angkuh atau berlaku sewenang-wenang terhadap pihak lain.

Kesalahpahaman tentang Makna Jihad

Kesalahpahaman tentang makna jihad itu diperparah juga melalui sekian banyak kitab, bahkan melalui terjemahan beberapa ayat al-Qur’an. Misalnya kata qitâl tidak jarang mereka pahami dalam arti pembunuhan, padahal kata itu bermakna peperangan/kutukan, sikap tegas yang tidak selalu mengakibatkan pembunuhan. Kata anfusikum diartikan sebagai jiwa/nyawa, padahal ia berarti seluruh totalitas manusia, yakni nyawa, atau fisik, ilmu, tenaga, pikiran, bahkan waktu karena semua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari totalitas manusia.

Para Radikalist itu memahami iman sebagai pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. disertai dengan pengamalannya sehingga menurut mereka seseorang tidaklah dinilai beriman apabila tidak melaksanakan ajaran Islam secara baik dan benar. Mereka menilai bahwa kemusyrikan bukan sekadar keyakinan tentang berbilangnya Tuhan, tetapi juga yang mengakui keesaan-Nya tanpa mengamalkan syariat adalah seorang yang boleh dibunuh. Tulisan menyangkut ide di atas ditemukan, antara lain dalam buku yang tersebar di sekian banyak sekolah di Indonesia, termasuk Jawa Timur.

Mereka mengumandangkan bahwa “La hukma illâ lillâh”. Semua pemerintahan yang tidak menetapkan hukum berdasar ketentuan Allah adalah Thagût (melampaui batas ajaran Islam) dan dinilai kafir, lagi harus diperangi. Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Pemerintahannya pun mereka nilai Thagût/Tirani dan kafir. Mereka merujuk pada firman Allah: “Siapa yang tidak menetapkan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir) QS. al-Mâ’idah [5]: 44). Kekeliruan mereka menurut para pakar di bidang al-Qur’an dan Sunnah adalah memahami kata kafir dalam arti sempit, padahal al-Qur’an menggunakan kata itu untuk berbagai makna, seperti “tidak bersyukur” (QS. Ibrâhîm [14]: 7) atau “berpecah belah” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 106). Memang kekufuran beraneka ragam dan bertingkat-tingkat sehingga pada akhirnya kekufuran dapat disimpulkan dalam arti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai/tujuan. Puncaknya adalah mengingkari wujud/Keesaan Allah, dan inilah yang menjadikan seseorang dinilai keluar dari agama, itu pun tidak serta merta harus dibunuh.

Pemimpin Tertinggi Al-Azhar dewasa ini (sejak 2010 M), Syaikh Ahmad ath-Thayyib, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar Al-Azhar menghadapi ekstremisme dan terorisme (Desember 2014 M), menyatakan bahwa: “Kelompok Pengafiran modern pada mulanya lahir di penjara-penjara dan tahanan-tahanan, didorong oleh siasat penyiksaan yang diperlakukan terhadap pemuda-pemuda yang bergabung dengan pergerakan-pergerakan Islam. Mereka dituntut―ketika itu―(sebelum 1967 M) untuk mengumumkan dukungan mereka terhadap penguasa. Nah, ketika itu sebagian besar bersegera menandatangi surat dukungan, tetapi sebagian kecil menolak dan menilai sikap mereka yang mendukung itu adalah sikap lemah dan menghindari pembelaan agama. Mereka bertahan dalam pendiriannya dan berkeras mempertahankan sikap penolakan. Lalu berberapa waktu kemudian, mereka menjauh dari teman-teman mereka yang mendukung itu dan menyatakan bahwa teman-teman mereka itu telah kafir karena mendukung penguasa kafir. Mereka juga menilai masyarakat dengan semua anggotanya telah kafir karena mendukung penguasa kafir. Tidak ada gunanya shalat, tidak juga puasa bagi mereka yang mendukung penguasa. Cara untuk keluar dari kekufuran adalah bergabung dengan para “mujahidin”. Inilah awal dari kemunculan kelompok Pengafiran setelah kelompok al-Khawarij (masa lalu) terbenam ditelan sejarah. Demikianlah lahir fenomena pengafiran baru melalui pemuda-pemuda yang tidak memiliki kemampuan ilmiah dan budaya―kecuali semangat―dan reaksi yang tidak tepat serta balas dendam si lemah atas penyiksa yang sewenang-wenang. Mereka melakukan pengafiran karena itulah cara yang tercepat untuk melukiskan keadaan mereka yang pahit itu.”

Jadi, radikalisme dan pengafiran bukan atas dasar pemikiran yang sehat, atau argumen keagamaan yang sahih, tetapi semata-mata keinginan balas dendam. Itu kemudian disambut dengan antusias oleh mereka yang tidak paham agama dan tergiur oleh janji-janji perolehan surga serta sambutan bidadari-bidadari.

Demikian sedikit yang dapat diuraikan menyangkut makna jihad dan implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Wa Allâh A’lam.

*Disampaikan dalam Sarasehan Formpimda dengan seluruh elemen masyarakat daerah Jawa Timur oleh Kapolda Jatim pada 21 April 2015 di Surabaya.

Sumber: http://quraishshihab.com/article/pemahaman-jihad-dalam-perspektif-islam-di-indonesia/3/