Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Pertanyaan:
Pada waktu saya masih kecil, perbedaan lebaran hanya selisih 1 hari saja, misalnya antara Kamis dan Jum’at. Namun sekarang perbedaan lebaran dapat menjadi 3-4 hari.
Yang kami tanyakan, bagaimana sebenarnya cara-cara menetapkan lebaran, dan mana yang benar dari cara-cara itu?
Jawaban:
Dalam sebuah hadis shahih Rasulullah saw. bersabda:
“Berpuasalah kamu karena melihat Hilal Ramadhan, berlebaranlah kamu karena melihat hilal Syawal dan berhajilah kamu karena melihat hilal Dzulhijjah. Apabila kamu terhalang tidak dapat melihat hilal, maka lengkapkanlah bilangan bulan yang sekarang menjadi 30 hari” (HR. al-Bukhari, Muslim dan al-Nasa’i)
Berdasarkan hadis ini kita tahu bahwa Nabi saw. telah memberikan petunjuk kepada kita untuk memulai ibadah puasa Ramadhan, berlebaran dan beribadah haji. Petunjuk Nabi saw. untuk berpuasa dan berlebaran hanya ada 2 cara, yaitu melihat (me-rukyat) hilal Ramadhan, dan bila tidak dapat dilihat maka kita disuruh Nabi saw. untuk melengkapkankan (ikmal) jumlah hari bulan yang sedang ada menjadi 30 hari.
Memang, kita semua tahu bahwa sekarang ada orang yang menetapkan lebaran dengan cara-cara lain.
Kami juga mengamati cara-cara itu semua sekarang menjadi 7 sebagai berikut:
- Rukyatul Hilal
- Ikmal
- Wujudul Hilal
- Imkaniyatur Ru’yah (Kemungkinan Hilal dapat di rukyat)
- Perasaan (dzauq)
- Tanda-tanda alam
- Menghindari terjadinya 2 khutbah dalam 1 hari
Boleh jadi pada masa datang, cara-cara penetapan lebaran itu akan bertambah mengikuti selera manusia.
Kemudian dari 7 cara itu, manakah yang benar? Pertanyaan ini dapat kami jawab bahwa nomor:
1 dan 2 : sudah dapat dijamin benar, karena kedua cara inilah yang disebutkan oleh Nabi saw.
5, 6 dan 7 : dapat dipastikan salah, karena berlawanan dengan tuntunan Nabi saw.
3 dan 4 : mungkin benar dan mungkin salah
Guru kami yang juga Mufti Besar Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang orang yang menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal degan menggunakan cara selain 2 cara (nomor 1 dan 2) di atas, beliau menjawab sebagai berikut:
“Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan orang-orang berakal bahwa derajat hilal itu banyak memiliki perbedaan tergantung dekat atau jauhnya jarak hilal tersebut dari matahari. Cuaca yang cerah atau mendung juga ikut menentukan derajatnya. Perbedaan tersebut juga dapat dipengaruhi oleh kualitas penglihatan manusia.
Oleh karena itu, Nabi saw. mengaitkan hukum dalam masalah yang besar ini dengan ru’yah (melihat hilal) dan menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari (ikmal al-‘iddah). Beliau tidak memberikan cara lain.
Dari situ dapat diketahui bahwa orang yang mengaitkan huku dalam ru’yah dengan hal ketiga, maka ia telah membuat syariat agama yang tidak diizinkan oleh Allah swt. Allah swt. telah mengingkari hal tersebut dalam firman-Nya Surah al-Syura ayat 21 : “Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuatkan syariat agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah? Nabi saw. bersabda: “Siapa yang memasukkan yang baru dalam dalam agama kami ini, sesuatu yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak.
Bahkan Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah ‘Ijma’ (konsensus) bahwa menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal dengan ilmu hisab tidak dibolehkan.
Demikian jawaban kami.Wallahul Muwaffiq
Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Ramadhan bersama Ali Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 111-115.