Panrita.id

Pudarnya Spirit Kebhinekaan

Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)

Profesor King Fahd University-Arab Saudi/Presiden Nusantara Institute

Kala saya mengadakan tour diskusi di Yogyakarta beberapa waktu lalu, saya merasakan ada rasa kekhawatiran yang begitu mendalam di kalangan masyarakat terhadap fenomena yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia. Kekhawatiran tersebut khususnya berkaitan dengan munculnya berbagai kelompok agama, khususnya Islam, yang intoleran dan antikebhinekaan.

Mereka khawatir jika kelompok ini dibiarkan berkembang dan meraja lela tanpa ada mekanisme penyelesaian yang jelas dan akurat, maka dapat berpotensi mengancam keutuhan Indonesia sebagai “rumah bersama” berbagai kelompok etnis, suku, agama, dan kepercayaan.

Saya bisa mengerti akan kekhawatiran atau mungkin ketakutan yang diekspresikan oleh para peserta diskusi.

Indonesia belakangan ini memang “dimeriahkan” oleh munculnya aneka ragam kelompok atau ormas yang eksklusif dan konservatif di satu sisi tapi juga intoleran di pihak lain.

Dalam mengekspresikan sentimen kontrakemajemukan itu, mereka sering kali bukan hanya dengan “kekerasan verbal” (melalui kata-kata) tetapi juga “kekerasan fisik” (melalui tindakan pengrusakan, pengusiran, pembakaran, dan bahkan pembunuhan) seperti yang mereka lakukan terhadap berbagai kelompok minoritas sekte dan agama.

Berbagai lembaga riset seperti Wahid Institute, PPIM UIN Syarif Hidayatullah, eLSA, Lakspesdam NU, Ma’arif Institute, dlsb juga beberapa kali mengadakan penelitian dan survei yang mengonfirmasi situasi meningkatnya konservatisme, intoleransi, dan radikalisme di masyarakat.

Apa saja faktor yang menyebabkan meningkatnya arus intoleransi dan radikalisme?

Pertama, iklim kebebasan dan angin demokrasi yang menyeruak dan menghembus Indonesia pasca lengsernya Pak Harto, Mei 1998.

Demokrasi memang seperti pedang bermata dua. Satu sisi ia merupakan sistem politik idaman rakyat banyak yang digadang-gadang bisa menjadi jalan pembuka bagi kemakmuran, kesejahteraan, kebebasan sipil, dan perdamaian di masyarakat. Tetapi di pihak lain, demokrasi juga bisa melahirkan otoritarianisme, kejahatan sosial, anarkisme, dan radikalisme.

Jangan lupa, ada sejumlah pemimpin otoriter di dunia ini yang lahir dari “rahim” demokrasi yang setelah terpilih menjadi pemimpin politik-pemerintahan, ia kemudian menjelma menjadi pembunuh ruh demokrasi yang sering dilakukan dengan cara-cara demokratis.

Demokrasi juga bisa melahirkan anarkisme, ekstremisme, dan radikalisme di masyarakat. Atas nama demokrasi, berbagai kelompok sipil bermunculan, baik yang resmi maupun liar dan setengah liar. Tak terhitung lagi berapa jumlah kelompok, ormas atau grup sosial (nongovernmental organizationmaupun civil society association) yang tumbuh di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru.

Banyak di antara kelompok-kelompok sosial itu kemudian melakukan aneka tindakan intoleran–anarkis–ektremis (saya menyebutnya “uncivil groupings”) yang sangat mengganggu keharmonisan individual dan sosial serta spirit toleransi di masyarakat. Ada lagi yang anti terhadap kebangsaan dan keindonesiaan serta ideologi dan konstitusi negara.

Tentu saja tidak semua kelompok sosial itu bercorak atau bersifat “uncivil” dan kontra kebangsaan. Ada banyak kelompok sosial yang sangat “civil” dalam pengertian bercorak toleran–pluralis dan nasionalis.

Kedua adalah munculnya berbagai aliansi, sekte, dan kelompok agama, khususnya di kalangan Islam, yang mengusung puritanisme, eksklusivisme, dan fanatisme sempit.

Tidak bisa dipungkiri, munculnya berbagai kelompok Islam yang ultrakonservatif, superfanatik, dan sangat militan ini–baik yang berskala lokal-regional-nasional maupun yang internasional-transnasional–menjadi salah satu penyebab mendasar munculnya praktik-praktik intoleransi dan ekstremisme serta relasi individual–sosial yang tidak harmonis di masyarakat.

Faktor berikutnya, ketiga, yang tidak kalah pentingnya atas merebaknya intoleransi dan radikalisme di masyarakat adalah keterlibatan politisi korup dan partai politik yang haus terhadap kekuasaan sehingga melakukan berbagai macam cara, strategi dan taktik, termasuk cara-cara kotor, untuk menggapai kekuasaan.

Untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan itu, parpol tertentu tidak segan-segan menggaet atau untuk menjalin koalisi dengan kelompok-kelompok sosial-agama radikal, rasis, dan intoleran.

Dalam konteks sejarah sosial-politik-agama di Indonesia, seperti yang pernah diulas oleh berbagai ahli studi Indonesia seperti M.C. Ricklefs, Robert Hefner, Martin van Bruinessen, William Liddle, dlsb, kehadiran parpol dan orpol (organisasi politik) telah memperuncing sektarianisme, “aliranisme”, dan ekstremisme di masyarakat. Itu terjadi baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudahnya. Puncaknya pada 1950an ketika Indonesia (tahun 1955) menggelar Pemilu (yang konon paling demokratis dalam sejarah Indonesia modern) untuk pertama kalinya.

Pada waktu itu, para tokoh dan elite partai menjadi lokomotif dan mesin penggerak yang “politik identitas” berbasis agama, ideologi politik tertentu, maupun sekularisme. Mereka tidak segan-segan menggandeng para tokoh agama untuk ikut kampanye politik yang brutal dan saling menyerang satu sama lainnya, termasuk sesama umat Islam itu sendiri (misalnnya NU versus Masyumi). Wal hasil, masyarakat yang sebelumnya sudah tersegregasi secara eksklusif ke dalam berbagai aliran agama, kepercayaan, dan ideologi tertentu menjadi semakin meruncing dan terpecah-belah.

Kini, sejarah itu terulang kembali. Sejumlah parpol yang frustasi karena gagal meraih kekuasaan kemudian gelap mata dan kongkalikong dengan berbagai kelompok radikal dan ormas sontoloyo untuk mengganggu stabilitas politik, keamanan negara, dan kenyamanan masyarakat.

Selanjutnya, lambannya penanganan dan kurangnya tindakan tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap kelompok-kelompok ekstrem yang sering berulah di masyarakat juga turut memberi kontribusi dan menjadi faktor merebaknya intoleransi dan radikalisme di masyarakat.

Masih banyak yang waras

Meskipun kekhawatiran itu lumrah tapi tidak perlu ketakutan dengan fenomena intoleransi dan ekstremisme di sejumlah daerah di Indonesia. Jumlah masyarakat Indonesia yang waras masih jauh lebih banyak ketimbang mereka yang tidak waras atau setengah waras.

Berbagai pendekatan, baik pendekatan struktural maupun kultural, perlu dilakukan untuk menyikapi fenomena intoleransi dan radikalisme ini.

Pendekatan strategis-komprehensif (melalui jalur penegakkan hukum, politik, keamanan / sekuriti, pendidikan, training, spiritual – keagamaan, dialog, dlsb), sangat diperlukan untuk menghilangkan, meminimalisir, atau minimal membonsai ruang-gerak kelompok radikal–intoleran ini.

Masyarakat harus proaktif membantu pemerintah dan aparat dalam menjaga keamanan dan kenyamanan di lingkungan mereka. Masyarakat jangan hanya menjadi “penonton” pasif karena membiarkan kejahatan terjadi berarti sama saja dengan merestui tindakan kriminalitas itu.

Stigma “silent majority” (mayoritas diam) yang selama ini menempel harus diubah menjadi “noisy majority” (mayoritas berisik), yakni publik masyarakat yang aktif bergerak merawat kemajemukan dan menjaga kebangsaan serta melawan kelompok-kelompok sosial-keagamaan yang terjangkit penyakit overdosis fanatisme sempit yang berpotensi mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara.

Ingat, dalam banyak hal, kejahatan itu terjadi bukan semata-mata karena ulah orang-orang jahat dan gila tetapi lantaran sikap orang-orang baik dan waras yang diam membisu seribu bahasa menyaksikan aneka kejahatan dan keburukan yang terjadi di depan mata mereka. Semoga bermanfaat.

Sumber: dengan judul asli “Kekhawatiran Akan Pudarnya Spirit Kebhinekaan” https://www.dw.com/id/kekhawatiran-akan-pudarnya-spirit-kebhinekaan/a-45386156