Panrita.id

Zaman Kita Melawan Hoaks

Oleh: Prof. M. Qasim Mathar

Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Negara kita dalam keadaan gawat hoaks. Gawat karena orang-orang Indonesia yang bukan pengguna aktif alat komunikasi seperti HP (handphone) dan yang serupa, pun terpapar informasi hoaks (bohong). Tentu sumbernya dari yang aktif sebagai pengguna HP dan yang serupa. Cara penyebaran hoaks, bisa melalui penyampaian langsung dengan lisan kepada orang-orang yang tidak atau kurang aktif menggunakan HP dan yang serupa. Dengan demikian, hoaks (informasi bohong) menjadi “murah meriah” oleh pengguna HP atau yang serupa, terutama di media sosial.

Sungguh gawat hoaks, karena kalangan yang berpendidikan tinggi diperkirakan sebagai penyebar hoaks sangat banyak, kalau tak akan dikatakan terbanyak. Bisa dibayangkan, kalau seorang lepasan pendidikan tinggi, yang tentu memiliki ilmu lebih tinggi, melakukan hoaks. Tentu lebih canggih hoaks (kebohongan)-nya, dibanding kalau hoaks itu dibikin oleh orang yang kurang atau tak berpengetahuan. Mungkin saja, hoaks yang beredar dan setiap saat bisa dibaca di HP kita adalah hasil bikinan orang berpendidikan tinggi. Setidaknya, kalau bukan sebagai pembikin hoaks, orang berpendidikan tinggi itu sebagai penyebar hoaks karena dia meneruskan postingan hoaks yang dia baca tanpa dia periksa lebih dahulu kebenaran postingan tersebut.

Kalau kegemaran bermurah meriah dengan hoaks (berita bohong) juga terjadi di kalangan masyarakat luas bangsa kita, tidakkah itu berarti bahwa kehidupan kita sepanjang siang malam diliputi hoaks, baik disadari maupun tidak? Pertanyaan itu diajukan karena bangsa kita disebut lima besar dunia pengguna HP. Tetapi, dengan tingkat literasi kedua terbawah bersama Botswana di Afrika. Apalagi jika dikaitkan dengan minat baca masyarakat Indonesia yang terletak di urutan ke-60 dunia.

Yang punya minat baca, apakah sudah memenuhi kriteria literasi? Yaitu, kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat dia dalam proses membaca dan menulis? Ringkasnya, literasi adalah kecerdasan dalam memahami yang dibaca dan ditulis. Bukan hanya bisa membaca dan menulis. Atau, lawan dari buta huruf. Jangan-jangan banyak pengguna HP bisa membaca huruf, tapi tidak cerdas memahami yang dia baca? Karena itu, dia memperlakukan informasi yang dia baca menurut kehendak hatinya saja. Tanpa memeriksa lagi mana hoaks, mana fakta (benar). Mana fakta, tapi buruk, merusak, memprovokasi permusuhan, maka fakta yang demikian tidak perlu diteruskan. Atau, fakta (bukan hoaks) yang segera diteruskan, karena akan memberi manfaat dan kebaikan yang luas kepada masyarakat.

Secara psikologis, manusia gampang tertarik kepada hal yang buruk ketimbang yang baik. Di antara manusia, sekalipun lepasan perguruan tinggi, punya kebiasaan yang buruk. Misalnya, suka mengejek dan menyakiti perasaan orang lain. Hal psikologis dan kebiasaan buruk itu, kalau ikut serta di dalam mengolah hoaks, membuat lingkungan kita benar-benar gawat hoaks. Sungguh gawat. Sebab, kalau info itu sesuai dengan hati kita, kita tidak perlu lagi memeriksa kebenarannya. Bahkan kita segera membagikan kepada pihak lain, walau kita sadar akan menyakiti perasaan orang lain.

Agaknya, inilah zaman kita sebagai bangsa hidup di tengah-tengah hoaks. Retaknya pertemanan, terjadinya gesekan dalam silaturahmi, dan rusaknya percakapan di dalam group-group whatsapp, dan yang serupa, adalah efek dibiarkannya hoaks mengalir deras di semua saluran komunikasi. Budaya periksa info atau bertabayyun sudah mendesak untuk kita tegakkan bersama. Atau, kita akan terjajah hoaks dan mewariskan penjajahan hoaks itu ke anak cucu kita?

Sumber: http://fajaronline.co.id/read/61139/zaman-kita-melawan-hoaks