Panrita.id

Sakral, Profan, dan Murka

Oleh: Prof. M. Qasim Mathar

Guru Besar UIN Alauddin Makassar

“Para anggota parlemen Mesir siap melakukan pemungutan suara untuk memberlakukan larangan bagi para wanita memakai niqab alias cadar di tempat-tempat umum dan instansi pemerintah. Ini merupakan tindak lanjut dari keputusan sebuah universitas besar di Kairo yang dikeluarkan Oktober silam, yang melarang para dosen wanitanya memakai cadar, terutama dosen mata kuliah bahasa”.

Dr. Amna Nosseir, salah seorang anggota parlemen Mesir dan profesor di bidang ilmu hukum perbandingan, mengatakan bahwa sekalipun Alquran memerintahkan menutup aurat, tapi tidak satu pun ayat yang menyuruh perempuan menutup wajah mereka. Cadar atau niqab, menurut Nosseir, adalah tradisi Yahudi, bukan tradisi Islam.

Pada Oktober yang silam, perempuan yang akan memberikan suara dalam pemilu di Mesir diperintahkan untuk membuka cadarnya agar bisa diidentifikasi. Meskipun demikian, cadar oleh kalangan Islam tertentu dipandang sebagai ajaran Islam yang wajib ditaati. Kalau begitu, posisi cadar dalam Islam ada di antara yang sakral (disucikan dan dipandang suci yang berkaitan dengan keagamaan) dan yang profan (bukan sesuatu yang suci yang berkaitan dengan keagamaan).

Mirip dengan itu, azan, yang dalam sejarahnya, lahir dari mimpi sahabat Nabi Muhammad, Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab, ketika Nabi SAW berdiskusi dengan para sahabatnya, mencari cara untuk menandakan bahwa waktu salat sudah tiba, rupanya kedua sahabat itu bermimpi yang sama tentang azan dan kalimat-kalimatnya, lalu Nabi menyetujuinya. Sebagai hasil mimpi dari manusia bukan nabi, yang diterima bersama, azan bisa disebut hasil kebudayaan. Namun, karena azan dipraktikkan sekaitan dengan salat yang diperintahkan Alquran, azan memiliki juga sisi sakral. Kalau begitu, posisi azan ada di antara yang sakral dan profan. Contoh lain, salat tarwih 20 rakaat itu buatan Umar bin Khattab. Apakah buatan Umar itu kebudayaan yang profan atau sakral karena ia ibadah salat?

Mungkin saja konde dan kidung pada komunitas tertentu dipandang sebagai sesuatu yang profan atau sakral. Kalau keduanya profan, maka itu budaya. Tapi, kalau keduanya disucikan, maka itu sakral. Kalau demikian, ada hasil budaya yang dipersepsi sakral dan terasa bagai agama. Pada sisi yang lain, ada hal yang dipraktikkan dalam agama, tapi juga bersisi profan.

Keadaan sebagai yang diuraikan di atas, bisa mengundang kontroversi, bahkan kemurkaan, ketika ia diucapkan dalam pidato, ditulis dalam tulisan, dinyanyikan dalam lagu, dan digubah dalam puisi. Sesungguhnya bila disadari bahwa, dalam praktik budaya dan agama, kemungkinan di dalamnya memuat dua sisi tadi: sakral dan profan, maka murka tidak perlu segera membakar kita. Bagian-bagian dari kebudayaan dan agama kita yang demikian, tidak perlu cepat mengundang kemurkaan. Sebab, konde, cadar, kidung dan azan, sebagai contoh, bisa memuat dua sisi: sakral dan profan. Diperdebatkan pun hanya akan menguras energi.

Apalagi, kalau murka mendorong kita untuk mempengadilankan hal demikian. Khawatir pengadilan akan dikepung guna memaksanya menghukum “si penghina” kebudayaan atau agama. Saya berpendapat, silang sengketa tentang yang sakral dan profan, selesaikan secara persaudaraan sebangsa, sewarga sekampung, yang memang kita macam-macam budayanya, agama dan kepercayaannya, dan beda-beda kondenya, kerudungnya, kidung dan syairnya.

Bukan di pengadilan, di mana yang lemah mudah digiring ke sana dan yang kuat tak mudah. Mari fungsikan tetuah dan tokoh yang kita hormati sebagai penengah ketika kita murka! Atau, kita sendiri mengendalikan murka kita, itu lebih agung!

Sumber: http://fajaronline.co.id/read/46444/sakral-profan-dan-murka