Netizen dan Citizen Bermedsos
Oleh: Prof. M. Qasim Mathar
Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Sudah sangat sulit pada saat sekarang ditemukan orang yang tidak memiliki telepon genggam (hp). Di mana-mana, tampak orang berbicara sendiri dan di tangannya ada hp yang didekatkan ke telinga. Hp sudah menjadi bagian dari tubuh manusia melengkapi anggota tubuh lainnya, seperti tangan dan kaki. Kalau hp hilang dan belum diganti, terasa seperti pincang meskipun masih ada kaki.
Tak sedikit orang jika bangun tengah malam, hpnya dicari. Orang tampak khawatir dan gelisah jika baterai hpnya sudah sangat lemah, dan tidak ada alat dan tempat men-cas, padahal ia sedang menungggu telepon yang amat penting. Gila, seperti bisu rasanya, meskipun mulut masih bisa bercakap, karena hp terlupa dibawa. Bicara sendiri tapi dengan hp, tidak ada masalah. Barulah masalah kalau bicara sendiri tanpa hp. Tanpa hp, bagaimana rasanya, ya?
Bersama hp kita merdeka semerdeka-merdekanya. Benarkah? Bersama hp kita bebas sebebas-bebasnya. Benarkah? Melalui hp kita bebas berbicara di dunia maya. Pujian dan ejekan bersatu di hp. Penghormatan dan penghinaan bercampur di hp. Kesantunan direndahkan oleh kekasaran di hp. Kelembutan dilibas oleh kekerasan di hp. Tak ada yang membatasi. Merdeka. Bebas. Benarkah?
Dunia hp adalah dunia media sosial (medsos). Ber-hp adalah bermedsos. Dunia medsos bernegara maya. Negara maya batasnya sejauh langit dipandang dan angin bertiup. Kita adalah warga negara maya yang disebut netizen. Ber-KTP hp. Ya, netizen. Bukan citizen yang hidup di dalam batas negara dan membayar pajak. Citizen ber-KTP cetak. Netizen tak dibatasi oleh negara. Netizen bebas masuk ke maya negara-negara. Netizen merdeka berlanglang buana ke seluruh penjuru jagat raya. Cukup dengan hp, netizen melayang ke semesta medsos. Netizen bermedsos tentang kuman, bakteri, penyakit, kuliner, cinta, marah, dan segala sesuatu menurut maunya netizen. Dengan medsos, netizen mengirim, memposting, mem”viral”kan, men”share”, meneruskan tulisan, foto, gambar, video, dan banyak lagi yang lain. Semua disebarluaskan, tanpa batas, kepada seluruh netizen di jagat maya. Juga kepada malaikat dan Allah, karena kiriman-kiriman itu tak bersegel. Terbuka. Telanjang. Setanpun bisa melihatnya, meskipun tidak dialamatkan kepadanya. Karena setan bukan netizen.
Bermedsos memang menyenangkan. Semua gampang di medsos. Gampang menghina presiden. Juga calon presiden. Orang-orang terhormat gampang jadi bahan ejekan di medsos. Nabi pun dihina di medsos. Hanya satu yang tidak dihina di medsos. Setan. Buat apa menghina setan. Sudah hina, kok. Hanya orang bodoh yang menghina setan. Lebih bodoh lagi yang memuji setan.
Nah, karena posisi setan yang seperti itu, setan suka kepada netizen yang mau merdeka semerdeka-merdekanya dan mau bebas sebebas-bebasnya bermedsos. Sesungguhnya setanlah yang mendukung netizen di dalam menyusun tulisan, gambar, foto, video, dan sebagainya yang bertujuan memengaruhi netizen untuk bersama setan bermurah meriah bermedsos.
Malaikat tidak menonton belaka. Kata kakek dan nenek, di kanan kiri netizen, malaikat merekam. Rekaman itu dibawa kepada Allah. Kata Allah kepada malaikat: bantulah netizen kembali ke fitrahnya sebagai citizen. Manusia yang memahami batas-batas kemerdekaan dan kebebasan. Sebab, pada suatu hari, rekaman manusia baik sebagai netizen maupun citizen, akan diperlihatkan kepadanya agar dia tahu sendiri di mana tempatnya yang layak di “negeri baru” itu.
Sumber: http://fajaronline.co.id/read/60345/netizen-dan-citizen-bermedsos