Panrita.id

Islam Adalah Kebudayaan

Oleh: Prof. M. Qasim Mathar

Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Islam itu dua macam. Yang kesatu ialah Islam sebagai wahyu. Yang kedua ialah Islam sebagai kebudayaan. Islam sebagai wahyu dari Allah hanya dialami oleh manusia yang dipilih Allah untuk menerima wahyu. Yaitu, para rasul Allah. Bagaimana “rasa”nya wahyu itu, hanya para rasul, dan manusia yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu, yang mengalami “rasa” menerima wahyu tersebut. Karena itu, Islam sebagai wahyu tidak menjadi wilayah untuk dibicarakan secara panjang lebar. Adapun Islam sebagai kebudayaan, meskipun bisa dibicarakan secara luas, tetap harus dibicarakan dengan pikiran yang jernih.

Jika kita sepakat bahwa kebudayaan adalah ‘hasil cipta, rasa, dan karsa manusia”, maka tentu kita juga sepakat bahwa, bahasa, alat tulis menulis, dan ucapan, sekadar sebagai contoh, semua itu merupakan sarana dan perangkat kebudayaan. Singkatnya, itu adalah kebudayaan.

Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu, tak seorang pun dari sahabatnya yang ada di dekat Nabi yang tahu wahyu tersebut. Agar sahabatnya bisa mengetahui wahyu yang diterima, maka Nabi harus memakai perangkat budayanya untuk itu. Kepada Zaid bin Tsabit, sahabat dan “sekretaris”nya, Nabi meminta untuk menulis wahyu yang beliau terima. Nabi mengucapkan wahyu dalam bahasa Arab dan Zaid menulis wahyu yang dilafazkan Nabi. Jadi, sejak awal sekali, wahyu Islam sudah bersentuhan dengan sarana dan perangkat kebudayaan (ucapan, menulis dan alat tulis menulis). Wahyu yang terucapkan dan tertulis itu, bergeser menjadi kebudayaan, dari tadinya adalah wahyu.

Begitulah seterusnya ketika Islam meluas ke banyak negeri dan bangsa, ayat Alquran diucapkan dengan dialek sesuai lidah bangsa-bangsa bukan- Arab. Karena khawatir akan mengundang kekacauan karena pengucapan Alquran yang beda-beda, Usman bin Affan sebagai kepala pemerintahan, memerintahkan semua catatan Alquran dikumpulkan. Usman lalu menyeragamkan tulisan Alquran menurut dialek suku Quraisy, sebagaimana Nabi dulu mengucapkannya. Itulah Alquran “rasem” Usman yang dipegang hingga sekarang. Semua catatan Alquran selainnya, oleh Usman diperintahkan dibakar. Tak ada demo umat dengan pembakaran ayat-ayat Alquran itu. Turut terbakar tentunya, banyak sekali tulisan “Allah”, juga kalimat tauhid “la ilaha illallah”. Akankah kita mengatakan bahwa Alquran yang kita miliki, baik pada kertas maupun bukan kertas, itu bukan produk kebudayaan?

Yang diuraikan di atas boleh disebut contoh “keras” tentang Islam sebagai kebudayaan. Contoh “lunak”nya ialah keislaman dan keberislaman sebagai hasil dari memahami Alquran, hadis, sejarah, dan selainnya. Jadi, apa yang disebut sebagai sikap, ucapan, dan perbuatan keislaman, atau keberislaman seseorang, yang meliputi keyakinan, ibadah, dan muamalah, semuanya adalah kebudayaan. Atau, kebudayaan Islam.

Uraian di atas mengantar kita menjadi arif memahami, bahwa keberagamaan, juga keberislaman, mustahil disamaseragamkan. Keanekaragaman keberagamaan, pun keberislaman, adalah karena keberagamaan, pun keberislaman, melalui proses kebudayaan. Maka, tidak perlu gelisah melihat Islam bermacam-macam. Sebab, kebudayaan yang melatari dan melingkunginya bermacam-macam. Makanya, aku paham dan menerima, ada Islam bercitarasa Arab, Iran, Nusantara, Eropa, Afrika, Amerika. Tak perlu menjadi beban pikiran. Sebab yang perlu adalah bekerjasama di dalam perbedaan!

Sumber: http://fajaronline.co.id/read/63580/islam-adalah-kebudayaan