Panrita.id

Cina dan Bulan Ibadah

Oleh: Prof. M. Qasim Mathar

Guru Besar UIN Alauddin Makassar

Sejak tahun lalu hingga saat ini hp-ku diserbu oleh tulisan, gambar dan video (disingkat: “tugavi”) tentang Cina. Yang dimaksud Cina dalam tulisan ini ialah orang-orang Tionghoa dan negara China. “Tugavi” tentang Cina sarat dengan pesan tentang bahaya Cina. “Tugavi” tentang Cina yang tersiar dengan cepat, nyaris tak memberi kesempatan bagi pengguna media sosial untuk menyaring, mana “tugavi” yang benar mana yang bohong. Dalam kondisi demikian, “tugavi” yang bohong diterima sebagai kebenaran, diteruskan, sampai menumbuhkan kebencian kepada Cina.

Sejak masih disebut negeri jajahan hingga masa merdeka sekarang, orang-orang Indonesia sudah berinteraksi dengan orang-orang Tionghoa. Dibanding dengan Jepang yang pernah menjajah Indonesia, pergaulan orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari lebih dekat kepada orang-orang Tionghoa dibanding orang-orang Jepang. Mungkin juga sebabnya, karena sejak zaman sebelum merdeka, sudah banyak orang-orang Tionghoa menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Sejak itu hingga sekarang sudah berlapis-lapis generasi orang-orang Tionghoa di negeri ini. Banyak sekali dari mereka berbahasa daerah sama fasihnya dengan orang asal daerah itu. Lidah mereka juga persis sama dengan lidah orang Indonesia. Orang-orang Tionghoa di Makassar, misalnya, juga gemar makan coto, sop konro, pallubasa, atau ikan bakar dan sop saudara.

“Tugavi” yang memuat pesan tentang bahaya Cina lebih merupakan efek dari perkembangan kemajuan negara China akhir-akhir ini. Kemajuan China telah menggeser kiblat dunia tidak lagi semata menghadap ke Barat, khususnya Amerika Serikat. Orang-orang Tionghoa dari China juga mengalir ke berbagai negara, khususnya ke Indonesia. Arus orang-orang Tionghoa itu datang sebagai pelaksana dan pekerja di berbagai proyek di sini. Dalam perubahan demikian, “tugavi” yang membawa pesan bahaya Cina dibuat untuk berbagai kepentingan.

Di antara kepentingan itu ialah menumbuhkan sikap anti dan menyalahkan kebijakan ekonomi pemerintah, serta membenarkan sikap oposisi kepada pemerintah. Kepentingan seperti itu dipompakan terus melalui “tugavi” yang tak sedikit dari padanya adalah bohong (hoaks).

Dalam pendapat saya, yang berbahaya bukan orang-orang Tionghoa yang sudah mendarah daging dengan Indonesia, yang sudah bergaul dalam masa yang amat panjang dengan warga Indonesia lainnya. Bukan juga para imigran dari China. Tapi, yang berbahaya justru “tugavi” tentang Cina, apalagi yang bohong, yang menumbuhkan kebencian terhadap suku dan ras tertentu, apalagi jika menyentuh pula agama. Upaya bangsa kita untuk memperbaiki keretakan (polarisasi) yang terjadi di tengah masyarakat, terganggu oleh “tugavi” yang tidak benar di media sosial. “Tugavi” bohong memelihara polarisasi dan membiarkan silaturrahmi dalam masyarakat terputus.

Sebagai muslim warga negara, saya ingin mengutip pesan Nabi Muhammad yang intinya bahwa “Menyambung silaturrahmi yang putus (rusak) lebih baik daripada salat, puasa, dan zakat. Sebab, kebaikan dan pahala amal yang baik akan tergantung selama silaturrahmi putus (rusak)”. Orang-orang muslim tak lama lagi akan beribadah Ramadan. Agar kebaikan amal ibadah Ramadan dan pahalanya tidak sia-sia, hendaklah silaturrahmi di antara kita sesama warga negara dan juga orang-orang asing yang berkunjung ke negeri kita, dijaga dan disuburkan. Awas, “tugavi” yang tak bertanggung jawab akan merusak amal ibadah kita! “Tugavi” liar dan bohong tidak akan menghormati bulan ibadah! Ramadan!

Sumber: http://fajaronline.co.id/read/47474/cina-dan-bulan-ibadah