Oleh: Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, MA., Ph.D.(Profil)
Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta/Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005
Secara teori keagamaan yang diusung oleh para penganutnya, semua agama pasti bertujuan baik dan mulia bagi kepentingan manusia di muka bumi. Lain teori, lain pula yang ditemui dalam praktik yang dilakukan oleh sebagian penganutnya sepanjang abad.
Agama yang semestinya mendorong terciptanya peradaban kemanusiaan dengan wajah asri keadilan, keramahan, dan toleransi, tidak jarang yang ditampilkan adalah wajah kebiadaban, kezaliman, kebengisan, kekerasan, dan minus toleransi. Sisi gelap inilah yang dilihat Bertrand Russell dalam ungkapan: “I am as firmly convinced that religions do harm as I am that they are untrue” (Saya punya keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa agama-agama melakukan kejahatan sebagaimana [saya yakin] bahwa mereka [agama-agama itu] tidak benar) (lihat: Why I Am Not a Christian. New York: Simon and Schuster, 1957, hlm. vi).
Dalam kasus-kasus prilaku kebiadaban, kekerasan, perang, dan pembunuhan atas nama Tuhan dan agama yang dilakukan sebagian penganutnya, apa yang dilihat Russell tidak dapat dibantah. Maka para penganut agama yang baik dan benar pasti menjadi resah dan malu oleh prilaku menyimpang yang dipertontonkan oleh teman-teman seagamanya yang demkian brutal.
Tetapi Russell tidak adil dalam penilaiannya karena para nabi dan rasul serta pengikut mereka yang berjalan lurus dan jujur adalah sumber kekuatan dahsyat anti kebiadaban, anti kekerasan, anti perang, dan anti pembunuhan tanpa alasan. Peradaban umat manusia berutang budi kepada mereka ini.
Saya ingin membatasi artikel ini sepanjang yang menyangkut agama Islam dalam pengetahuan yang terbatas. Perang memang diizinkan al-Qur’an, tetapi harus dibaca dalam konteks membela diri dan menegakkan keadilan. Di luar ranah itu, perang, pembunuhan, dan tindakan kekerasan lainnya diharamkan.
Diktum inilah yang tidak dipertimbangan oleh mereka yang menghalalkan segala cara atas nama Tuhan dan atas nama agama, tetapi pada hakekatnya perbuatan biadab mereka itu adalah pengkhianatan telanjang terhadap ajaran agama yang mereka peluk. Sepanjang sejarah Muslim, perbuatan hitam dan brutal ini dengan mudah dapat ditelusuri, bahkan berlaku sampai hari ini di berbagai bagian dunia. Untuk publik di Indonesia, karya DR. Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018) patut benar dibaca dan direnungkan.
Karya ini adalah sumbangan berani dari penulisnya. Dengan dalil-dalil agama dan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan, penulisnya telah berhasil memetakan sisi-sisi yang benar dan autentik ajaran Islam yang membawa rahmat semesta bagi bumi dan sisi-sisi gelap dan biadab dari prilaku sebagian penganutnya yang perlu dicermati dan diawasi.
Praktik kekerasan atas nama agama yang menelikung pesan para nabi dan para rasul adalah sasaran tembak utama dari karya ini. Filosofi kelompok pendukung tindak kekerasan ini adalah: “Semuanya boleh atas nama agama, termasuk perbuatan yang paling keji dan menghancurkan pilar-pilar kemanusiaan sekalipun, asal tujuan tercapai.” Filosofi semacam ini bukan lahir dari pemahaman agama yang benar dan jujur, tetapi dari pemahaman yang dipaksakan, terlepas dari kawalan ajaran kenabian.
Dalam menyoroti fenomena teranyar tentang kekerasan atas nama agama, Aksin menulis: Agamaisasi kekerasan pada umumnya lahir dari para penganut paradigma Islam teosentris, yakni faham keislaman yang segalanya demi Tuhan, yang dalam hal ini dicontohkan oleh Khawarij-Wahhabi dan islamisme.
Menurut mereka, agama lahir demi kepentingan Tuhan. Manusia pun dikorbankan demi kehidupan Tuhan. Segala tindak kekerasan yang mereka lakukan selalu mengatasnamakan agama dan Tuhan dengan hanya memekikkan kalimat “Allahu Akbar”. Inilah yang disebut agamaisasi kekerasan. Kekerasan menjadi bagian dari agama. (Ibid., hlm. 219).
Korban dari pemahaman sesat tentang agama ini yang kemudian melahirkan tindak kekerasan sudah tidak terhitung lagi banyaknya, dimulai sejak terbunuhnya ‘Ustman bin ‘Affan pada tahun 656 dan ‘Ali bin Abi Thalib pada tanun 661. Ada pun kasus ‘Umar bin Khattab pada tahun 644 dibunuh oleh seorang non-Muslim bangsa Persi. Dalam beberapa tulisan mengenai pembunuhan Muslim oleh Muslim saya menyebutnya sebagai perbuatan penganut teologi kebenaran tunggal.
Tidak ada kebenaran di luar definisi agama yang mereka tetapkan. Alangkah rusaknya wajah Islam yang sejati di tangan mereka yang mengembangkan naluri kekerasan ini.
Penganut teologi kebenaran tunggal amat susah diajak berdialog. Batok kepalanya keras sekali.
Yang sangat ironis adalah penganut teologi ini secara lahiriah menampakkan seorang yang taat beragama, bisa membaca Alquran, dan mungkin paham maknanya, tidak mustahil melakukan puasa Daud, rajin salat berjamaah di masjid, sebagaimana yang dikerjakan oleh kaum teroris di Indonesia.
Pengalaman saya saat menjenguk Suliyono di RS Bhayangkara Yogyakarta pada 11 Februari 2018 menguatkan pernyataan di atas. Suliyono (23) adalah penyerang Gereja St Lidwina, Sleman (Yogyakarta), pagi hari pada 11 Februari saat umat Katolik sedang melakukan misa di sana.
Di tempat pembaringannya di Rumah Sakit Polri, Suliyono yang kakinya telah ditembak polisi mengatakan kepada saya bahwa perbuatannya melakukan tindakan kekerasan dalam gereja itu berdasarkan ayat 14 surah at-Taubah yang artinya, “Perangi mereka, niscaya Allah akan siksa mereka dengan perantaraan tanganmu, dan Dia akan hinakan mereka, serta menolongmu melawan mereka dan Dia akan melegakan hati-hati orang-orang yang beriman.”
Suliyono tidak peduli bahwa ayat ini dahulunya berlaku dalam peperangan. Lalu, apakah jamaah Gereja St Lidwina sedang berperang dengan umat Islam? Sama sekali tidak. Kedua komunitas itu telah hidup berdampingan secara damai, tolong-menolong, dan saling menghargai.
Belum pernah terdengar kedua komunitas di sekitar gereja itu saling bermusuhan. Tetapi, mengapa tiba-tiba seorang pemuda asal Banyuwangi itu mau merusak hubungan harmonis itu?
Teks asli ayat itu dibacakan dengan lancar kepada saya oleh pelaku. Tetapi, saat saya katakan bahwa polisi yang melumpuhkannya adalah seorang Muslim, Suliyono terdiam sejenak dan mau minta maaf.
Inilah bahayanya sebuah ayat yang dipahami di luar konteks dan langsung ditabrakkan kepada orang yang dianggap musuhnya. Pelaku teror rata-rata punya penafsiran seperti ini. Sedangkan, polisi pada umumnya tidak paham ayat, sehingga mereka kesulitan untuk menundukkan si pelaku secara teologis.
Agar kita punya perbandingan bahwa tindak kekerasan itu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mengaku Muslim. Non-Muslim pun tidak kurang brutalnya terhadap Muslim, sekalipun berlaku di negara lain pada abad-abad pertengahan.
Inilah kesaksian Russell, “Agama Kristen dibedakan dengan agama-agama lain dalam hal kesiapannya yang lebih hebat untuk melakukan tindak penyiksaan (persecution). Buddhisme tidak pernah menjadi agama yang melakukan penyiksaan [di abad-abad itu].
Imperium para Khalifah bersikap lebih ramah kepada kaum Yahudi dan umat Kristen dibandingkan negara-negara Kristen terhadap kaum Yahudi dan umat Islam. Ia [Imperium Muslim] itu membiarkan kaum Yahudi dan umat Kristen itu tak terganggu selama mereka membayar upeti.” (Ibid., hlm. 202).
Russell berupaya objektif dalam merumuskan pandangannya, sekalipun semua agama dinilainya sebagai ajaran yang merusak dan berbahaya. Pada abad tengah korban inkuisisi (penghukuman) Katolik Roma terhadap kaum Yahudi dan umat Islam sudah menjadi warisan hitam dan kelam dalam hubungan lintas agama yang sebenarnya sama-sama berasal dari Episentrum Spiritual Nabi Ibrahim.
Oleh sebab itu, pemahaman dan praktik keagamaan yang terlepas dari kawalan nilai-nilai kenabian dan nilai kemanusiaan yang sejati bisa membawa malapetaka dan kebinasaan bagi umat manusia. Sejarah gelap semacam ini dapat terus terulang berikut korbannya yang sia-sia, jika para penganut agama yang waras dan jujur bersikap diam, acuh tak acuh.
Tragedi Suliyono sebagai pemain tunggal hanyalah sebuah contoh kecil dan pinggiran dalam sejarah panjang praktik penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan rendah, keji, dan biadab.
Akhirnya, Indonesia, tanah air kita bersama, harus dibebaskan dari segala corak tindak kekerasan yang memakai jargon-jargon agama, siapa pun yang melakukan dan dari agama dan ideologi mana pun. Ideologi kekerasan dan sektarianisme yang telah menghancurkan Suriah, Irak, dan negara-negara Arab lainnya harus dibendung dan dinyatakan sebagai sesuatu yang haram dan sumber malapetaka bagi nusantara tercinta ini.
Sumber:
https://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/pmsiu8440/semuanya-boleh-atas-nama-agama-1
https://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/pnilt1440/semuanya-boleh-atas-nama-agama-ii