Panrita.id

Mengkaji Hadis “Sisa Makanan Mukmin itu Obat” [Hadis Palsu]

Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)

Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Di sebuah pesantren, empat orang santri dengan sangat lahap menyantap makan siang. Meski lauknya hanya sayur lodeh terong yang ditumpahkan di atas baki atau nampan, sehingga mereka makan secara bersama-sama, wajah-wajah mereka tampak ceria saja. Menjelang makanan itu habis, ada seorang santri baru yang masuk kamar di mana santri-santri itu sedang makan.

“Ya akhi, mari kita makan sama-sama”, begitu pinta salah seorang dari santri-santri yang sedang makan kepada santri baru itu. “Baik, terima kasih. Saya masih kenyang”, jawab santri baru. Sementara salah satu dari santri-santri yang sedang makan itu kemudian mundur untuk mempersilakan santri baru itu agar mau bergabung makan bersama.

“Mari ya akhi, sampeyan ikut makan. Saya sudah kenyang. Jangan malu-malu, meskipun ini sisa makanan kami . Kata Nabi Saw, “Sisa makanan orang mukmin itu adalah obat”. Begitu ia membujuk santri baru itu seraya menyitir sebuah Hadis, agar ia mau makan. Dan akhir­ nya, santri baru yang sedang beradaptasi dengan lingkungan pesantren itu terpaksa ikut makan bersama. Dalam hatinya, sebenarnya ia merasa jijik memakan makanan sisa orang lain itu, tetapi ia juga bertanya­ tanya, karena disebutkan ada Hadis seperti itu, ia akhirnya makan juga.

Obat Lapar

Teks Hadis yang sangat populer itu, khususnya di lingkungan pesantren seperti disebutkan oleh salah seorang santri tadi adalah:

سُؤْرُ الْمُؤْمِنِ شِفَاءٌ

Sisa makanan orang mukmin itu adalah obat.

Mendengar Hadis itu, santri baru tadi merasa penasaran. Ia ingin mengetahui lebih lanjut apa maksud Hadis itu. Ketika suatu saat ia mengikuti pengajian kiai di pesantren, ia menanyakan maksud Hadis tersebut. Sisa makanan orang mukmin itu dapat menjadi obat untuk penyakit apa saja. Pak kiai dengan seloroh menjawab singkat. “obat lapar”.

Kualitas Hadis

Teks Hadis yang populer di Indonesia, khususnya di lingkungan pesantren adalah seperti yang termaktub di atas tadi. Sementara yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis adalah:

سُؤْرُ الْمُؤْمِنِ شِفَاءٌ

Sisa makanan orang mukmin itu menyembuhkan.[1]

Dan tampaknya, perbedaan itu hanyalah lafdhi (redaksional) saja. Sementara tentang kualitasnya, para ulama menegaskan bahwa Hadis itu palsu. Al-Hafidh al-‘lraqi mengatakan, La ashla lahu bi hadza al-lafdh (tidak ada sumbernya berdasarkan lafadhz ini).[2] Ungkapan Al-‘lraqi ini adalah istilah lain untuk Hadis palsu.[3] Ali al-Qari juga menegaskan demikian.[4]

Riwayat Lain

Ada Hadis lain yang sepintas tampak seirama dengan Hadis di atas. Hadis lain ini diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dengan sanad: Said bin Misykan -Ahmad bin Rauf -Suaid bin Nasr- Nuh bin Abu Maryam – lbnu Juraij – Ata – lbnu Abbas – Nabi Saw. Hadis ini menuturkan,

“Di antara sikap yang santun adalah seseorang minum sisa minuman saudaranya. Dan siapa yang minum sisa saudaranya dengan mengharapkan wajah Allah, maka akan ditinggikan baginya tujuh puluh tingkatan, tujuh puluh kesalahannya akan dihapuskan, dan akan dicatat baginya tujuh puluh kebajikan”[5]

Sayang di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Nuh bin Abu Maryam yang dikenal sebagai pendusta.[6] Karenanya, Hadis kedua ini juga palsu. Bahkan sebenarnya substansinya berbeda, karena Hadis kedua ini tidak berbicara tentang obat. Ia hanya berbicara tentang sisa minuman, dan kesantunan. Jadi tidak ada kaitannya dengan Hadis pertama yang kita bicarakan.

Referensi:
[1]Lihat misalnya : Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, hal. 244. Ali al-Qari, al-Mashnu ‘fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudu’, Editor : Abdul Fattah Abu Ghuddah. Maktab al-Mathbu’at al-lslamiyah. Beirut, 1398 H/ 1978 M. hal. 110.
[2]Ali al-Qari, al-Mashnu ‘fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudu’, Editor : Abdul Fattah Abu Ghuddah. Maktab al-Mathbu’at al-lslamiyah. Beirut, 1398 H/ 1978 M. hal. 110.
[3]Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Editor) dalam : Ali al-Qari, Op. Cit., hal. 38-40.
[4]Al al-Qari, Op. Cit, hal. 110 & 106.
[5]Ibn al-Jauzi. Kitab al-Maudu’at, II/238. Jalal al-Din al-Suyuti, al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudu’ah, II/219-220. Ibn Araq al-Kannani. Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-yani’ah al-Maudu’ah. II/259. al-Syaukani. al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Akhbar al-Maudu’ah, hal.185.
[6]Ibn al-Jauzi. Loc Cit. Ibn Araq al-Kannani. Op . Cit, I/122.

Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 84-86.