Panrita.id

Mengkaji Hadis “Pergi Haji dengan Uang Haram”

Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)

Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Apabila musim haji tiba, ada sebuah pertanyaan yang selalu mun­cul di kalangan masyarakat. Pertanyaan itu adalah, sahkah haji sese­orang yang kepergiannya ke Tanah Suci Makkah memakai uang haram? Dan seperti lazimnya para ulama, mereka berbeda pendapat dalam memberikan jawaban. Para ulama dari disiplin Ilmu Fiqh (Hukum Islam) akan berpendapat bahwa selagi ibadah haji itu telah memenuhi syarat­ syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan dalam Hukum Islam, maka ia dinilai sah. Artinya yang bersangkutan telah gugur dari beban kewajiban menjalankan ibadah haji. Masalah apakah ibadah hajinya diterima Allah atau tidak, hal itu semata-mata urusan Allah.

Sementara ulama lain yang cenderung kepada disiplin Ilmu Akh­laq dan Tasawuf akan berpendapat bahwa menggunakan uang haram untuk beribadah haji itu tidak sah. dan ibadah hajinya tidak akan diterima oleh Allah Swt. Mereka menyodorkan berbagai argumen dan dalil, di antaranya adalah Hadis berikut ini :

من حج بمال حرام فقال: لبيك اللهم لبيك، قال الله عز وجل له: لا لبيك ولا سعديك، وحجك مردود عليك

Orang yang beribadah haji dengari harta haram, maka ketika ia mengatakan, “Aku penuhi panggilanMu, wahai Allah”, Allah menjawab kepadanya, “Tidak ada artinya ucapan-aku penuhi panggilanMu-itu. Dan ibadah hajimu ditolak.

Rawi dan Sanad Hadis

Hadis dengan redaksi seperti di atas ini diriwayatkan oleh Imam Ibn Mardawaih dalam kitabnya Tsalatsah Majalis min al-Amali, Imam A1-Ashbihani dalam kitabnya al-Targhib, dan Imam Ibn al-Jauzi dalam kitabnya Manhaj al-Qashidin. Sementara sanadnya adalah : al-Dujain bin Tsabit al-Yarbu’i, dari Aslam mantan sahaya Umar bin al-Khattab, dari Umar bin al-Khattab dari Nabi Saw.[1]

Ada juga Hadis lain yang semisal. yang substansinya sama dengan hadis di atas. Hadis kedua ini cukup panjang, dan redaksinya adalah sebagai berikut :

من أم هذا البيت من الكسب الحرام، شخص في غير طاعة الله، فإذا أهل ووضع رجله في الغرز أوالركاب وانبعثت به راحلته قال: لبيك اللهم لبيك، ناداه مناد من السماء: لا لبيك ولا سعديك، كسبك حرام، وزادك حرام، فارجع مأزورا غير مأجور، وأبشر بما يسوؤك، وإذا خرج الرجل حاجا بمال حلال، ووضع رجله في الركاب، وانبعثت به راحلته قال: لبيك اللهم لبيك، ناداه مناد من السماء: لبيك وسعديك، قد أجبتك، راحلتك حلال، وثيابك حلال، وزادك حلال، فارجع مأجورا غير مأزور، وأبشر بما يسرك

Orang yang menuju Rumah ini (Baitullah) dengan menggunakan ongkos dari hasil usaha yang haram, maka berarti ia keluar dari rumahnya untuk melakukan perbuatan durhaka kepada Allah. Apabila ia melakukan ihram dan meletakkan kakinya di dalam kendaraan, kemudian kendaraannya berangkat dan ia berkata, “Aku penuhi panggilanMu, wahai Allah”, maka dari langit akan ada suara yang memanggil, “Tidak ada artinya ucapanmu itu. Usahamu haram, bekalmu haram, dan kendaraanmu juga haram. Pulanglah kamu dengan penuh dosa dan tanpa memperoleh pahala. Bergembiralah dengan hal-hal yang akan menyusahkan dirimu.

Apabila seseorang berangkat untuk menjalankan ibadah haji dengan uang yang halal, dan ia meletakkan kakinya di dalam kendaraan, lalu kendaraannya berangkat, dan ia berkata, “Aku penuhi panggilanMu, wahai Allah”, maka dari langit ada suara yang memanggil, “Aku penuhi panggilanmu, dan berbahagialah kamu. Aku telah mengabulkan kamu. Kendaraanmu halal, pakaianmu halal, dan bekalmu juga halal. Karenanya pulanglah kamu dengan penuh pahala tanpa dosa. Dan bergembiralah dengan hal-hal yang akan menyenangkan kamu’?[2]

Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar dalam kitab Musnadnya. Sementara sanadnya adalah: Sulaiman bin Dawud, dari Yahya bin Ibn Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.[3]

Kualitas Hadis

Hadis pertama yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Mardawaih nilainya dha’if(lemah). Letak kelemahannya adalah rawi yang bernama al-Dujain bin Tsabit al-Yarbu’i. Menurut Imam al-Dzahabi. al-Dujain la yuhtajju bih (tidak dapat dijadikan hujjah), artinya tidak dapat diandalkan Hadisnya. Menurut Imam Yahya bin Ma’in, al-Dujain laisa haditsuhu bi syai'(Hadisnya tidak memiliki nilai apa-apa). Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah menuturkan bahwa al-Dujain adalah dha’if (lemah hadisnya). Al-Nasa’i mengatakan, al-Dujain laisa bi tsiqah (tidak dapat dipercaya). Sementara Imam al-Daruquthni dan lain-lain menilai al-Dujain tidak kuat.[4] Begitulah penilaian ulama kritikus Hadis atas al­-Dujain.

Sementara Hadis kedua yang diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar nilainya dha’if sekali. Kelemahannya adalah terletak pada rawi yang bernama Sulaiman bin Dawud. Menurut para ulama, seperti Imam al­-Dzahabi dan Imam Yahya bin Ma’in, Sulaiman bin Dawud tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi yang diterima Hadisnya. Bahkan Imam al-Bukhari menilainya sebagai munkar al-Hadis (Hadisnya mungkar).[5] Hadis mungkar adalah Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang berbuat fasiq (maksiat). Karenanya Hadis itu ditolak, tidak dapat dipakai sebagai dalil atau pun pegangan dalam agama.

Uang Halal Uang Haram

Istilah “uang halal” dan “uang haram” tampaknya sudah berkem­bang dalam masyarakat. Masyarakat mengenal adanya istilah uang haram dan uang halal, bahkan ada juga istilah anak haram. Sebenamya, dari sudut terminologi Hukum Islam, tidak dikenal adanya istilah uang haram atau uang halal. Hal itu karena halal atau haram itu adalah suatu hukum, dan hukum hanya berkaitan dengan perbuatan Manusia saja (fi’l al-mukallaf). Hukum tidak berkaitan dengan benda. Karenanya, sebutan uang haram itu harus diartikan sebagai uang yang diperoleh dengan cara atau usaha yang haram. Begitu juga uang halal, ia adalah uang yang diperoleh dengan cara yang halal.

Didukung al-Qur’an dan Hadis

Meskipun Hadis di atas nilainya sangat dha’if, namun tidak berarti substansinya terlempar begitu saja. Atau dengan kata lain, sah-sah saja kita beribadah haji dengan uang hasil merampok, korupsi, melacurkan diri dan sebagainya. Inilah yang disalahpahami oleh sementara orang sehingga ia berpendapat bahwa beribadah haji dengan uang haram itu boleh-boleh saja, karena Hadis yang berkaitan dengan masalah itu nilainya sangat dha’if Bukan begitu permasalah­annya. Sebab secara substansi kita tidak dibenarkan menggunakan uang maupun barang yang kita peroleh dengan cara atau usaha yang haram, termasuk untuk pergi haji.

Pengertian seperti ini secara umum sebenarnya telah ditegaskan oleh al-Qur’an maupun Hadis yang lain. Dalam Surah al-Nisa’ ayat 29 ditegaskan,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.[7]

“Memakan” dalam ayat ini maksudnya adalah memanfaatkan. Dan di sini disebutkan “memakan”, karena “memakan ” merupakan cara memanfaatkan harta yang paling lazim.

Seseorang yang mendapatkan harta dengan cara atau usaha yang haram, ia tidak berhak atas uang tersebut. Ia justru berkewajiban untuk mengembalikan uang tersebut kepada yang berhak. Apabila ia mencuri, ia wajib mengembalikan uang hasil curian itu kepada pemiliknya. Begitu pula uang-uang hasil usaha haram yang lain, ia tidak berhak atas uang itu, apalagi menggunakannya meskipun untuk beribadah haji.

Pengertian seperti ini, di samping didukung oleh al-Qur’an seperti di atas, juga didukung pula oleh Hadis yang berkualitas shahih, yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi di mana Nabi Saw bersabda,

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci, dan tidak menerima sedekah dari hasil korupsi.[8]

Oleh karena itu, sekali lagi, kendati Hadis di atas itu sangat dha’if, namun tidak berarti kita boleh beribadah haji dengan menggunakan uang hasil perbuatan haram sebagai ongkosnya. Karena berdasarkan al-Qur’an dan Hadis lain, ibadah seperti itu diharamkan dan tidak akan diterima oleh Allah.

Referensi:
[1]al-Albani. Muhammad Nashir al-Din, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah Maktabah al-Ma’arif. Riyadh, 1408/1988. III/ 211.
[2]al-Albani. Muhammad Nashir al-Din, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah Maktabah al-Ma’arif. Riyadh, 1408/1988. III/ 212.
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]al-Tahhan. Mahmud, Dr. Taisir Mushthalah al-Hadits, Dar al-Our’ an al-Karim, Beirut, 1979, hal. 94.
[7]Ayat yang semisal adalah Surah al-Baqarah. 188
[8]Al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi, Editor Shidqi Muhammad Jami’ al-Attar, Dar al-Fikr. Beirut. l414/1994; I/3.

Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 38-42.