Panrita.id

Membangkitkan “Civil Islam”, Menolak “Uncivil Islam”

Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)

Profesor King Fahd University-Arab Saudi

Kata “Islam” di sini hanya sebagai contoh saja karena sebetulnya fenomena ini ada di berbagai agama: Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan seterusnya.

Yang dimaksud dengan “civil Islam” disini adalah sebuah istilah yang mengacu pada pengertian jenis atau varian keislaman yang memiliki karakteristik toleran, pluralis, sekuler, liberal, demokratis, inklusif, humanis, pro-perubahan sosial, berprinsip pada kesetaraan gender, serta menjunjung tinggi nilai-nilai “keadaban” (civility).

Istilah “civil Islam” ini dipopulerkan oleh guru saya di Boston University, Robert W. Hefner (atau biasa disapa Bob Hefner), melalui karyanya Civil Islam: Muslims and Democratizations in Indonesia. Buku ini berisi tentang gerakan pembaruan Islam dan kebangkitan intelektual yang disponsori oleh kelas menengah kota dan kaum “Muslim demokrat” sejak 1980-an di Indonesia yang dengan gemilang berhasil menumbangkan kekuatan rezim otoriter Orde Baru dan memaksa Presiden Suharto turun dari kursi kepresidenan pada Mei, 1998, setelah sekitar 32 tahun berkuasa (lihat juga studi R. William Liddle).

Melalui buku “Civil Islam” ini, Bob Hefner yang juga Direktur Institute on Culture, Religion and World Affairs menggantikan Peter L. Berger ini ingin mengatakan bahwa proses demokratisasi dan ide-ide tentang demokrasi, civil society, civic pluralism, civil liberties, dlsb yang selama ini menjadi “maskot Barat” juga bisa ditemukan di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.

Ia menjadikan Indonesia sebagai “proyek percontohan” studi kebudayaan dan kepolitikan dunia Islam yang “pro-demokrasi dan kebebasan sipil” ini. Bagi Bob Hefner, kasus Indonesia ini menarik karena, pertama, posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang memiliki watak, karakteristik, dan pengalaman politik-keagamaan yang “unik” dan relatif berbeda dengan kawasan Islam lain. Kedua, peristiwa bersejarah “Reformasi 1998”—yang disebut-sebut sebagai “revolusi terbesar kedua” dalam sejarah Islam modern setelah Revolusi Islam Iran 1979—itu diarsiteki dan digerakkan oleh kelompok “Muslim liberal-demokrat” yang menghendaki adanya perubahan mendasar dalam sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan di Indonesia.

Saat itu, sekitar awal 2000an, gagasan Bob Hefner tentang “civil Islam” ini berhasil menyengat banyak orang terutama lingkaran kampus dan publik intelektual yang memang tidak familiar dengan gagasan Islam yang “civil” (baca, “Islam yang berkeadaban”).

Berbeda dengan para “pemikir esensialis” seperti Bernard Lewis, Ernest Gellner, John Hall, atau Serif Mardin yang tidak percaya akan munculnya proses demokratisasi di dunia Islam, Bob Hefner berargumen bahwa dunia Islam telah mengalami kemajuan signifikan dan perubahan sosial yang sangat penting berkaitan dengan ide-ide demokrasi, pluralisme, citizenship, feminisme, dlsb, atau singkatnya, “civil Islam”.

Oleh karena itu, bagi Bob Hefner, menggunakan ide-ide klasik Weberian yang sangat “pesimistik” terhadap Islam dan dunia politik Muslim untuk mengkaji perkembangan wacana keagamaan, kepolitikan, kebudayaan Islam kontemporer akan tidak akurat dan misleading.

Apa itu Uncivil Islam?

Gagasan Bob Hefner tentang “civil Islam” ini sangat akurat karena memang di berbagai negara Muslim termasuk Indonesia, telah tumbuh dan berkembang kelompok aktivis-intelektual yang menjadi “vanguard” atau penjaga moral-spiritual gerakan sosial-kepolitikan yang egaliter dan demokratis serta gerakan keagamaan yang toleran-pluralis dan humanis-liberal.

Akan tetapi di pihak lain, penting juga untuk dikaji dan diamati tentang fenomena keagamaan dan gerakan keislaman yang saya sebut dengan “uncivil Islam” sebagai semacam “antitesis” atas “civil Islam”-nya Bob Hefner tadi.

Yang saya maksud dengan “uncivil Islam” adalah jenis atau varian keislaman yang ekstrem, intoleran, konservatif, radikal, militan, puritan, misoginis, anti demokrasi, kontra-kemajemukan atau pluralitas, eksklusif, inward looking, anti-perubahan (individual maupun sosial), serta menggunakan cara-cara kekerasan, terorisme, premanisme, vandalisme, dan perbuatan “uncivil” lain dalam mengekspresikan gagasan, pandangan, wawasan, dan keyakinan keagamaannya. Singkatnya, “uncivil Islam” adalah “Islam yang tidak berkeadaban”.

Lagi saya tegaskan, fenomena ini juga bukan eksklusif terjadi di kalangan umat Islam saja. Umat agama lain juga mengalami gejala dan fenomena yang sama. Di sejumlah negara-negara Barat (di kawasan Amerika Utara, Eropa, maupun Australia), banyak sekali individu dan kelompok agama (Kristen, Yahudi, dlsb) yang “uncivil” (tidak berkeadaban), sangat rasis, etnosentris, mengidap penyakit Islamopobhia, serta menggunakan berbagai cara kekerasan (verbal maupun fisik) untuk mengekspresikan ide-idenya. Kekekerasan yang meledak di Charlottsville, Virginia (Amerika Serikat) belum lama ini adalah contoh kecil “kaum bigot berkulit putih” yang masih gentayagan dimana-mana. Amerika memang negara yang memiliki sejarah gelap rasisme dan etnosentrisme yang hingga kini belum sirna meskipun sudah berabad-abad merdeka.

Saat “uncivil Islam” semakin merajalela

Dalam konteks Indonesia, kelompok “uncivil Islam” semakin berkembang biak dan merajalela bak cendawan di musim hujan sejak lengsernya Pak Harto, tumbangnya rezim Orde Baru, dan munculnya “era reformasi” yang bertumpu pada ide-ide demokrasi dan kebebasan sipil. Sering kali, jika bukan selalu, kelompok “uncivil Islam” ini sering bertindak kebablasan dalam mengusung wacana keislaman, memaksakan kehendak dirinya dan kelompoknya, memakai cara-cara kotor dan kekerasan dalam menjalankan misi dan agenda ormasnya, serta tidak memperdulikan nasib kelompok agama lain.

Sudah tak terhitung lagi jumlah korban (baik individu, suku-suku pedalaman, sek-sekte lokal, maupun kelompok sosial-keagamaan) yang berjatuhan akibat ulah kelompok ini. Para korban bukan hanya kelompok non-Muslim saja (umat Kristen misalnya yang sering menjadi target kekerasan dan propaganda) tetapi juga agama-agama lokal pribumi Nusantara (Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Kaharingan di Kalimantan, Islam Wetu Telu di Lombok, agama “suku Anak Dalam” di Sumatera, Islam Kejawen di Jawa, dlsb), sekte-sekte keislaman (Syi’ah, Ahmadiyah, Salamullah, dlsb). Bukan hanya itu saja. Mereka bahkan menyatroni kelompok Islam dan ormas Islam mana saja yang berbeda pandangan dan gerakan dengan mereka. Sangat miris dan menyedihkan.

Bagi kelompok “uncivil Islam” ini, agama Islam(tentu saja Islam menurut mereka) adalah segala-galanya dan harus ditempatkan di atas konsep, gagasan, dan sistem apapun: negara-bangsa, Pancasila, demokrasi, Konstitusi, dlsb.

Pada saat Presiden Suharto yang otoriter itu berkuasa, kelompok “uncivil Islam” ini bungkam, tiarap, bersembunyi, tidak berkutik, dan hanya bergerak secara “bawah tanah” (clandestine) karena memang Pak Harto tidak memberi tempat kepada kelompok-kelompok keislaman jenis ini (kecuali di akhir pemerintahannya dimana beliau menggunakan kelompok Islam militan-radikal-konservatif untuk memecah kekuatan “Islam demokrat” yang merongrong kekuasaannya). Akan tetapi setelah Pak Harto lengser dari kekuasaan dan Indonesia memasuki babak baru “era demokrasi”, mereka kembali muncul ke panggung sosial-politik Indonesia, persis seperti para katak yang “riuh-rendah menyanyi” dan hiruk-pikuk menyambut datangnya sang hujan.

Fenomena dan realitas ini adalah sebuah ironi karena disatu sisi kelompok “uncivil Islam” ini rajin mengkritik sistem demokrasi yang mereka anggap “tidak islami” dan produk kebudayaan liberal-sekuler Barat, sementara dipihak lain, secara diam-diam, mereka menikmati buah sistem demokrasi ini.

Penting untuk dicatat bahwa kelompok “uncivil Islam” ini tidak akan bisa hidup di sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan otoriter seperti Indonesia di zaman Orde Baru (juga Orde Lama, khususnya di akhir kekuasaan Bung Karno) atau di berbagai negara mayoritas berpenduduk Muslim seperti kawasan Arab dan Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dlsb. Hanya sistem politik yang menghargai kedaulatan rakyat dan warga negaralah—seperti sistem pemerintahan demokrasi—yang memungkinkan kelompok-kelompok “Islam politik” dan “uncivil Islam” ini bisa tumbuh dan berkembang. Karena itu kelompok “uncivil Islam” ini seharusnya “berterima kasih” terhadap sistem demokrasi, bukan malah menghujatnya.

Siapa yang berhasil memenangkan “pertarungan pemikiran”?

Lepas dari masalah ini, corak keislaman Indonesia ke depan akan ditentukan oleh dinamika dan kompetisi kelompok “civil Islam” dan “uncivil Islam” ini dalam panggung sejarah politik dan kebudayaan bangsa kita. Siapa yang berhasil memenangkan “pertarungan pemikiran” dan merebut simpati publik Muslim Indonesia, maka merekalah yang akan menentukkan “gambar” wacana keislaman di negeri ini di masa-masa yang akan datang.

Saya tentu saja berharap kekuatan “civil Islam” kembali bangkit dan bersatu, bukan untuk menggulingkan pemerintah dan kekuasaan tetapi untuk (1) melawan kelompok “Islam ekstrim” yang gemar melakukan kekerasan dan terorisme atas nama agama dan Tuhan yang kian marak dewasa ini dan (2) membendung laju pergerakan kelompok “uncivil Islam” dan kaum Islamis yang mengancam sendi-sendi kemajemukan warga, bangsa, negara, dan agama.

Jika kelompok “civil Islam” diam-membisu, tidak bergerak untuk melakukan perlawanan politik dan kultural terhadap kaum “uncivil Islam”, maka masa depan bangsa dan negara yang majemuk dan toleran ini akan terancam sirna tenggelam dalam limbo sejarah. Ingat wejangan Albert Einstein, “The world will be destroyed not by bad people but by good people who let it happen.” Wallahu a’lam.

Sumber: https://www.dw.com/id/membangkitkan-civil-islam-menolak-uncivil-islam/a-40435766