Panrita.id

Ketika Nabi saw. Membolehkan Kebaktian di Kompleks Masjid

Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an

Di dalam kitab Al-Sirah al-Nabawiyah, jilid II, hal. 426-428, karya Ibn Hisyam -salah seorang ahli sejarah muslim terkemuka- menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw. menerima kedatangan tamu tokoh lintas agama berjumlah 60 orang. Sebanyak 14 orang di antaranya dari Nashrani Najran, antara lain: Abdul Masih Ayham, Abu Haritsah, Aus, al-Harits, Zaid, Qais, Yazid, Nabih, Khuwailid, ‘Amr, Khalid, ‘Abdullah, dan Yuhannas. Mereka dipimpin oleh Abdul Masih Ayham. Mereka masing-masing menggunakan jubah kebesarannya. Mereka datang saat Nabi Muhammad saw. sedang shalat Ashar. Di antara rombongan itu ada yang ingin melaksanakan kebaktian dan melakukannya di dalam (kompleks) masjid dengan mengahadap ke arah Timur. Mereka diizinkan melakukan kebaktian itu karena tidak ada gereja yang dekat di kawasan itu.

Riwayat ini mengundang kontroversi di kalangan ulama. Sebagian ulama menjadikan kisah ini sebagai dasar bolehnya non-muslim. Umumnya ulama berpendapat bolehnya non-muslim masuk ke dalam masjid kecuali Masjid Haram, bukan saja karena riwayat ini tetapi juga melalui sejumlah riwayat lain ditambah dengan sejarah perlakuan sejumlah sahabat yang membolehkan orang-orang non-muslim memasuki masjid, seperti yang ditunjukkan oleh dua Umar, yaitu Umar ibn Khaththab yang terkenal dengan Piagam Ailah-nya, dan Umar ibn Abdul Aziz yang terkenal dengan sikap toleransinya terhadap umat non-muslim.

Pengecualian Masjid Haram karena ada dalilnya secara khusus disebutkan dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (28)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. at-Taubah/9: 28).

Hanya Abu Hanifah yang pernah ditemukan pendapatnya membolehkan orang-orang Yahudi Nashrani berkunjung ke Masjid Haram. (Wacana ini dapat dilihat di dalam Kitab Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, karya Al-Qurthubi, jilid IV, h. 450)

Kontroversi boleh tidaknya non-muslim melakukan kebaktian di masjid atau di kompleks masjid muncul karena cerita tersebut di atas tidak didukung oleh hadis atau riwayat yang shahih. Sedangkan Sirah (Buku Tarikh) tidak bisa dijadikan dasar untuk hal-hal yang bersifat hukum apalagi yang terkait dengan akidah. Itulah sebabnya, tidak umum dijumpai pendapat yang memperbolehkan masjid digunakan sebagai kebaktian oleh umat non-muslim. Kalaupun kenyataan di dalam kisah di atas betul-betul terjadi, ia dianggap pengecualian karena di sekitar Mesjid Nabi saw. ketika itu tidak ada gereja yang dekat sementara tamu Nabi saw. terdesak oleh waktu.

Ada kalangan ulama mengomentari bahwa kebaktian yang dilakukan tamu Nabi saw. tidak dilakukan di dalam Masjid tetapi di samping masjid, meskipun masih tetap di kompleks masjid. Kita ketahui bahwa di samping atau di emper masjid Nabi saw. ada sejumlah daerah atau tempat hunian, termasuk pondok Ahl al-Shuffah, yang ditempati sejumlah sahabat Nabi saw. seperti Abi Hurairah. Ada juga tempat khusus untuk tempat menginap para tamu Nabi saw. Mungkin di salah satu tempat itulah para tokoh lintas agama itu melakukan kebaktian. Poin penting di dalam sejarah di atas adalah bahwa Nabi saw. mengetahui dan mengizinkan tokoh lintas agama melakukan kebaktian di kompleks masjidnya. Allahu a’lam.

Sumber: http://nasaruddinumar.org/