Relijiusitas Masyarakat Urban
Oleh: Prof. Azyumardi Azra, MA., MA., M. Phill., Ph. D. CBE.(Profil)
Guru Besar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah 1998-2006
Fenomena, gejala, dan ekspresi relijiusitas keagamaan kontemporer dalam masyarakat urban di Indonesia sangat kompleks, baik dalam hal kemunculan dan perkembangan teologi, doktrin, dan ritual agama maupun dalam kaitan dengan bidang-bidang kehidupan lain. Perubahan dan perkembangan begitu cepat dalam kehidupan perkotaan menimbulkan disrupsi, disorientasi dan dislokasi masyarakat urban. Dalam keadaan seperti itu, ada kian banyak warga perkotaan yang berusaha mencari ‘makna’ (meanings) untuk menemukan kedamaian (solace) atau bahkan ‘pelarian’ (escapism) dalam agama, relijiusitas atau spiritualisme.
Akibat peningkatan ekspresi relijiusitas dalam masyarakat urban, agama merambah ke berbagai bidang kehidupan dan ranah publik. Relijiusitas yang baru ditemukan (newly-found religiousity) membuat agama kian terlibat dalam kontestasi di ranah publik; politik, sosial-budaya, ekonomi dan pendidikan. Semua fenomena ini terkait banyak dengan perubahan dan dinamika masyarakat Indonesia di tengah proses demokratisasi, globalisasi dan informasi instan. Pada saat yang sama juga terkait perkembangan keagamaan kontemporer global dan dinamika politik, ekonomi, keamanan, dan budaya internasional.
Kompleksitas perkembangan, fenomena dan ekspresi relijiusitas dan keagamaan kontemporer di Indonesia membuat tidak mungkin atau sulit sekali menjelaskannya secara relatif komprehensif. Baik karena perkembangan di dalam dirinya sendiri maupun karena pengaruh bidang-bidang kehidupan lain, agama mengalami perubahan sangat cepat pada berbagai seginya. Sebagai contoh, proses demokratisasi dan perubahan politik dan sosial yang dimunculkannya memberi ruang kebebasan sangat luas bagi ekspresi keagamaan yang sebelumnya terpendam karena restriksi yang diberlakukan rejim penguasa Orde Baru. Di tengah kian meningkatnya keragaman itu, perlu semacam ‘penyederhanaan’ konseptual dengan membangun kategorisasi dan tipologisasi berbagai ramifikasi relijiusitas dan agama yang meski juga mengandung masalah dalam batas tertentu, tetapi tetap membantu ke arah pemahaman lebih akurat.
Gejala dan fenomena agama kontemporer paling menonjol di wilayah urban Indonesia khususnya adalah ‘kebangkitan agama’ dan revitalisasi yang terekspresikan dalam bentuk peningkatan gairah dan semangat keagamaan. Gejala revitalisasi relijiusitas terkait banyak dengan kian banyaknya kalangan masyarakat urban—khususnya kaum muda berusia 30-an atau 40-an tahun—yang merasa bahwa mereka telah ‘terlahir kembali’, born-again Muslim dan juga born-again Christians. Mereka ini sering juga dikenal sebagai ‘YUPPIES’ (Young, Urban, Professionals), yang umumnya lulusan perguruan tinggi, bekerja sebagai white collar yang memiliki penghasilan tetap yang sebagiannya bisa ditabung (saved steady income).
Mencapai tingkat keserbacukupan (affluence), mereka ini kemudian berusaha mencari ‘makna lebih dalam’ (meanings) kehidupan. Mereka inilah yang kemudian menampilkan berbagai gejala relijiusitas; di kalangan Muslim pemahaman dan praksis keagamaan lebih ketat di antaranya ‘neo-konservatisme Islam’; di antara penganut Kristianitas pemahaman literal terhadap AlKitab (Bible) yang kemudian memunculkan ‘fundamentalisme Kristen’.
Semua gejala dan ekspresi relijiusitas dan agama ini bertolak belakang dengan anggapan dan teori klasik tentang perubahan sosial, modernisasi, bahwa peningkatan ekonomi dan pendidikan menyingkirkan agama darikehidupan dan ranah publik. Sebaliknya agama bukan hanya bertahan; lebih daripada itu agama mendapatkan momentum baru khususnya di kalangan masyarakat urban. Bahkan terjadi semacam eksplosi keagamaan yang bisa mengambil berbagai bentuk ekspresi sejak yang bersifat rohaniah damai, bergairah dalam ritual tapi tetap moderat sampai kepada bentuk puritanisme, literalisme, ekstrimisme, radikalisme, terorisme, dan terakhir sekali ‘populisme’.
Dalam konteks itu, pada level arus utama masyarakat agama (mainstream) terlihat pula gejala umum meningkatnya ‘religious attachment’ yang sudah disinggung di atas. Gejala ini di kalangan Muslim—selain yang sudah disebutkan di atas—juga nampak dalam peningkatan jumlah jamaah haji, umrah dan ziyarah keagamaan (Islamic tourism), meluasnya penggunaan jilbab di kalangan perempuan Muslimah atau meningkatnya filantropi Islam. Selain itu, gejala ini juga jelas dalam peningkatan kerajinan dalam menjalankan berbagai ibadah, ritual keagamaan dan berbagai aspek ajaran agama lainnya—yang bisa disebut sebagai ‘kesalehan ritual personal’ as opposed to ‘kesalehan sosial komunal’.
Gejala lain relijiusitas sebagian warga Muslim di lingkungan urban adalah munculnya berbagai kelompok spiritual seperti zikir massal yang berbeda dengan Sufisme konvensional. Kelompok zikir ini selain menyelenggarakan ibadahnya di perumahan, hotel atau gedung juga di jalan raya, memblokir jalanan sehingga mengganggu lalu lintas—seperti yang digambarkan film ‘fiksi’ pendek ‘Aku Adalah Kau’ yang kontroversial itu. Tak jarang ada kelompok zikir dan aliran spiritual ini menjadi semacam ‘new age’ bermotif Islam.
Satu lagi gejala relijiusitas masyarakat urban Indonesia adalah munculnya berbagai kelompok ‘kultus’ semacam Gafatar atau Kanjeng Dimas yang menghebohkan. Seperti bisa dilihat, kebanyakan mereka yang bergabung dengan Gafatar atau Kanjeng Dimas dan kelompok lain adalah ‘Young, Urban, Professionals’ (YUPPIES) Muslim dari berbagai kota. Banyak di antara mereka tamatan perguruan tinggi dengan pekerjaan dengan penghasilkan tetap. Mereka ‘tersesat’ oleh ‘con-man’ yang menawarkan berbagai hal yang ‘too good to be true’, terlalu muluk untuk bisa dipercaya.
Di kalangan warga Kristen (Protestan) gejala reljiusitas urban itu terlihat dalam merebaknya berbagai kelompok gereja Kharismatik yang menampilkan pemahaman dan praksis agak lain dari Pentakostalisme. Lazimnya, denominasi yang berbasis Amerika ini selain menyelenggarakan kebaktian massal di stadium misalnya, juga menawarkan ‘penyembuhan’ (healing) dari berbagai macam penyakit jasmani atau rohani.
Penulis tidak tahu pasti tentang penyebaran kelompok ‘new age’ atau juga kultus Kristiani di wilayah urban di Indonesia. Di AS berbagai kelompok new age dan kultus berdasarkan Kristianitas selalu merebak dari waktu ke waktu; di antara yang paling terkenal adalah kultus Davidian (David Koresh), the People’s Temple, atau Heaven’s Gate. Pemimpin yang dikultuskan para pengikutnya lazimnya memerintahkan mereka bunuh diri.
Salah satu bentuk peningkatan relijiusitas masyarakat urban adalah aktivisme mendirikan rumah ibadah. Aktivisme ini dapat menimbulkan pertikaian dan konflik; apalagi ketika rumah ibadah itu secara eksklusif hanya digunakan untuk denominasi, aliran atau mazhab di dalam agama tertentu.
Fenomena keagamaan kontemporer di Indonesia jelas juga terkait banyak dengan terbukanya ruang lebih luas dalam proses liberalisasi politik dan demokratisasi. Berbarengan dengan itu juga terjadi kemajuan ekonomi. Hasilnya, dalam 20 tahun terakhir, kelas menengah Indonesia terus bertumbuh berkat kemajuan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Menurut berbagai sumber, kelas menengah Indonesia lebih dari separuh penduduk; menurut estimasi lebih daripada 152 juta orang. Terus bertambahnya kelas menengah mendorong munculnya berbagai ekspresi keagamaan mulai dari peningkatan religious attachment—kelengketan kian kuat kepada agama dalam ritual, gaya hidup lebih relijius, pendidikan lebih agamis bagi anak-anak, sampai pada pengelolaan keuangan dan makanan lebih ketat sesuai syari’ah atau fiqh.
Proses demokratisasi memberi ruang kebebasan sangat luas bagi masyarakat mengekspresikan pemahaman dan pengamalan keagamaan berbeda-beda. Dalam batas tertentu pemahaman dan praksis keagamaan itu menjadi ‘politik identitas’ yang bisa memunculkan masalah tersendiri ketika terlibat dalam pergumulan dan kontestasi politik di ruang publik.
Peningkatan religious attachment tidak jarang pula menjadi objek manipulasi politik oleh para politisi dan partai politik, dan juga kepemimpinan agama yang memainkan kartu agama untuk kepentingan politik. Introduksi dan penerapan Perda-perda moral yang sering disebut sebagian kalangan sebagai ‘Perda Syari’ah’ merupakan contoh terjelas bertemunya kepentingan simbolisme keagamaan dengan oportunisme politik. Gejala semacam ini terlihat dalam Pilpres 2014 dan terakhir sekali dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Karena kombinasi berbagai faktor—termasuk faktor gerakan religio-politik trans-nasional—pada lingkungan lebih terbatas, ada pula fenomena kemunculan pemahaman dan praktik keagamaan yang berbeda denganmainstream agama. Perbedaan itu boleh jadi tidak terlalu substantif, tetapi lebih daripada sekadar masalah ‘furu’iyyah’; pada kasus tertentu perbedaan dapat menyangkut hal pokok dan fundamental, yang membuat kelompok tertentu ‘menyempal’ dari agama induknya. Perbedaan dalam kasus terakhir ini sering berujung konflik dan bahkan kekerasan, baik ketika kelompok menyempal bersikap eksklusif dan melakukan truth claim vis-a-vis mainstream. Atau ketika kalangan tertentu di dalam atau atas nama mainstream melakukan tindakan kekerasan.
Mengamati berbagai gejala itu perlu riset tentang fenomena keagamaan kontemporer atau relijiusitas, yang memerlukan pemetaan komprehensif; dan sekaligus meliputi berbagai bidang kehidupan—tidak terbatas hanya pada bidang keagamaan ‘murni’, tetapi juga ke berbagai ranah kehidupan lain. Ada inter-dependensi dan interplay, saling mempengaruhi antara satu bidang dan ranah kehidupan dengan bidang lain, yang juga mempengaruhi dinamika internal keagamaan.
Riset yang dilakukan semestinya tidak hanya untuk kepentingan akademik-ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara substantif dan metodologis. Riset tersebut sekaligus juga mesti mengandung kajian implikasi, konsekuensi dan rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk pembangunan kehidupan keagamaan lebih baik di Indonesia.
Agenda penelitian lain terkait dengan ranah-ranah kehidupan tertentu yang menampilkan simbolisme keagamaan seperti politik, ekonomi (bank syari’ah), pendidikan, sosial-budaya dan seterusnya. Penelitian dalam ranah-ranah ini bisa pula berfokus pada implikasi dan konsekuensi perkembangan tersebut terhadap kehidupan negara-bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Sumber:
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/07/12/oszdgc319-relijiusitas-masyarakat-urban-1
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/07/19/otcfeb319-relijiusitas-masyarakat-urban-2