Panrita.id

Ibnu Hazm dan Cinta Sejenis

Oleh: Prof. Mun’im Sirry, Ph.D.(Profil)

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA. dan Alumni International Islamic University, Islamabad-Pakistan

Menulis tentang cinta setelah Chelsea keok dari Champions League sungguh bukan pekerjaan menyenangkan. Satu-satunya alasan yang mendorong saya menulis tema ini ialah karena banyak yang mengkritik saya menyinggung pandangan Ibnu Hazm, ulama literalis kelahiran Andalusia, dalam tulisan saya tentang LGBT.

Saya tidak mengatakan, Ibnu Hazm membolehkan homoseksualitas. Tapi, kenyataan bahwa dia mengusulkan hukuman paling ringan dibanding mazhab-mazhab fikih lain patut direnungkan. Dan bukan rahasia pula bahwa ulama yang lahir di Cordoba tahun 994 itu merupakan salah satu pencetus teori cinta yang pernah dihasilkan peradaban Islam.

Saya tidak bermaksud mendiskusikan teori cinta Ibnu Hazm, karena sungguh tidak enak bicara cinta saat Chelsea kalah. Tulisan ini hanya ingin menceritakan kisi-kisi cinta sesama jenis yang dituangkan dalam karyanya yang terkenal, Tawq al-Hamamah fi al-Ulfah wa al-Ullaf (The Neck-Ring of the Dove about Love and Lovers).

Ibnu Hazm memulai bukunya dengan postulat penting: “agama tidak melarang cinta. Cinta tidak pandang bulu. Orang-orang salih adalah pecinta sejati,” katanya. Para khulafa’ rasyidun dan para imam juga ullaf(lovers).

Membaca buku ini kita dibawa pada bentangan sejarah yang sangat terbuka dalam urusan cinta, termasuk cinta sejenis. Suatu saat saya akan tulis lebih serius, mungkin setelah Chelsea menang, bahwa penolakan keras terhadap gay dan lesbi sekarang merupakan fenomena baru.

Salah satu bab dalam buku Ibnu Hazm itu ialah tentang para syuhada cinta. Dia menceritakan enam orang yang dikategorikan “syuhada cinta”: dua laki-laki yang mencintai perempuan, dua perempuan yang mencintai laki-laki, dan dua laki-laki yang mencintai sejenisnya. Saya akan ceritakan kasus dua orang terakhir saja.

Yang pertama terkait Ibnu Quzman, seorang pengawai kerajaan yang jatuh cinta pada laki-laki ganteng, namanya Aslam. Mungkin karena si Aslam ini saudara Perdana Menteri, Ibnu Quzman tak berani mengungkapkan rasa cintanya yang mendalam hingga ia jatuh sakit.

Bahkan ketika Aslam menjenguknya, dia tak mengatakan apa-apa, dan baru sepeninggalnya Aslam diberitahu seorang teman tentang penyebab sakitnya. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu,” kata Aslam, “saya tidak masalah lebih dekat dengannya, bahkan tidur di sisinya.”

Kisah kedua terkait teman Ibnu Hazm sendiri, seorang yang dikenal saleh dan luas ilmunya bernama Ibnu Tubni. Setelah lama tak ada kabar, Ibnu Tubni ternyata jatuh sakit. Sebelum meninggal, ditanya penyebab sakitnya, dia jawab gini:

Ketika sedang berkecamuk perang, saya lihat ada seorang pemuda yang ketampanannya terus menghantui pikiran dan hatiku. Aku sudah mencari tahu, dan tak akan pernah menyerah mencarinya hingga aku disemayamkan di liang kubur.

Ibnu Hazm sendiri mengaku terus-terang pernah kepincut dan tergoda dengan ketampanan laki-laki, walaupun – dia bilang – tak pernah melakukan seks sejenis.

Buku Tawq al-Hamamah bukan hanya berkisah tentang cinta sejenis yang tak sampai. Dalam beberapa kasus, buku ini kayak novel roman yang cukup vulgar. Seringkali, hubungan cinta sejenis yang diceritakan Ibnu Hazm melibatkan para petinggi kerajaan, bahkan khalifah sendiri.

Ada kisah cinta yang begitu romantis karena diekspresikan dalam puisi-puisi cinta yang dahsyat, namun, sayangnya, berakhir secara tragis. Yakni, cinta amir Sevilla bernama al-Mu’tamid dengan seorang penyair Ibnu Ammar. Cinta al-Mu’tamid begitu dalam hingga ia menuliskan lirik indah di cangkir yang kerap dipegangnya: “Mereka menyebutnya pedang/dua pedang itu ialah matanya/Kami berdua pemiliknya….

Suatu senja, sehabis menikmati wine dan puisi, al-Mu’tamid membisikkan kalimat berikut ke telinga Ibnu Ammar: “Malam ini, kita akan tidur bersama di atas satu bantal!”

Cinta mereka tidak direstui orang tua Ibnu Ammar. Tak diceritakan alasannya. Akhirnya hubungan mereka retak. Tapi dalam lirik-lirik puisi yang ditulisnya, Ibnu Ammar masih mengenang cinta yang indah bersama al-Mu’tamid, seorang pemimpin Muslim kesohor.

Ibnu Hazm bukan hanya mencatat nama-nama penguasa Muslim yang kerap menjalin cinta sejenis, tapi juga para pemikir ternama. Sebut, misalnya, Ibnu Bajjah yang di Eropa dikenal dengan nama “Avempace”. Filosof yang memperkenalkan filsafat Aristotle ke Spanyol ini menjadi inspirasi bagi filosof Muslim agung Ibnu Rusyd. Ibnu Bajjah, demikian dicatat Ibnu Hazm, adalah homoseksual.

Lagi-lagi, membaca Tawq al-Hamamah memberikan kesan bahwa praktik homoseksualitas di kalangan Muslim masa pertengahan ternyata lebih luas daripada yang kita bayangkan. Insya Allah, saya akan tulis tema ini nanti. Saya berharap, sekarang kita bisa mengerti kenapa Ibnu Hazm tidak setuju hukuman keras yang dikampanyekan para ulama mazhab fikih.

Sumber: https://www.qureta.com/post/ibnu-hazm-dan-cinta-sejenis