Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Dalam rangka menyongsong Hari Ibu, seorang muballighah kondang dengan penuh semangat menyampaikan sebuah Hadis lewat layar televisi, tanpa sedikitpun merasa ragu bahwa yang disampaikan itu bukan Hadis. Arti Hadis itu adalah, Wanita adalah tiang negara, apabila wanita itu baik maka negara akan baik, dan apabila wanita itu rusak, maka negara akan rusak pula.
Esoknya, seorang kawan bertanya kepada kami tentang Hadis yang diucapkan oleh muballighah tadi. “Mengapa Anda tidak bertanya saja kepada muballighah tadi?”, begitu tanya kami. “Bagaimana mungkin kami dapat bertanya? Karena Hadis itu ia sampaikan dalam ceramah lepas lewat televisi”, begitu jawabnya.
“Tapi kira-kira, kalau Anda langsung bertanya kepadanya, mungkin ia akan menjawab, Hadis itu ada”, kata kami lagi. ‘Anda tentu akan bertanya lagi. Dalam kitab apa Hadis itu ada, diriwayatkan oleh siapa, dan apa kualitasnya wahai Ustadzah?”, begitu kami menambahkan.”Dan ustadzah yang muballighah itu mesti akan menjawab lagi, pokoknya Hadisnya ada,” kata kami lagi kira-kira.
“Dan apabila Anda terus bertanya lagi, ia pasti akan curiga kepada Anda. Ia akan berkata, “Kamu kok tanya-tanya terus. Apakah kamu tidak percaya bahwa yang saya sampaikan itu Hadis? Apakah kamu penganut paham ingkar-Sunnah?, kok tidak percaya pada Hadis?”. Begitulah kami memprediksikan jawabannya.
Hadis Kondang
Hadis yang disebutkan di atas itu, teksnya secara lengkap adalah sebagai berikut :
الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
Wanita adalah tiang Negara, apabila wanita itu baik maka akan baiklah negara, dan apabila wanita itu rusak, maka akan rusak pula negara.
Hadis ini sungguh sangat kondang, terutama di kalangan kaum ibu. Maklum karena substansinya mengangkat peran kaum ibu dalam pembangunan bangsa. Dan seyogyanya, sebagai Hadis kondang, dalam istilah ilmu Hadis disebut Hadis Masyhur. Hadis wanita tiang negara itu tercantum dalam kitab~kitab tentang Hadis~hadis masyhur (al-ahadits al-masyhurah).
Tetapi sayang, kami telah mencoba membuka kitab~kitab Hadis, khususnya kitab~kitab Hadis masyhur, seperti al-Maqashid al-Hasanah karya al~Sakhawi (w. 906 H). al-Durar al-Muntatsirah karya al~Suyuti (w.911 H). al~Ghammaz ala al-Lammaz karya al~Samhudi (w. 911 H). Tamyiz al-Tayyib min al-Khabits karya Ibn Daiba ‘ (w. 944 H), Asna al-Mathalib karya Muhammad Darwisy al~Hut (w. 1276 H). Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas karya al~Ajluni (w. 1162 H) dan lain~lain. Ternyata Hadis tersebut tidak ditemukan. Demikian pula dalam kitab~kitab Hadis yang lain, seperti al~Kutub al-Sittah (Kitab~kitab Hadis yang enam), yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Hadis tersebut juga tidak ditemukan.
Bukan Sabda Nabi Saw.
Karenanya, untuk sementara kami berkesimpulan bahwa ungkapan di atas yang kondang disebut Hadis tentang wanita tiang negara itu adalah bukan Hadis. Ia tidak lebih dari sekedar kata~kata hikmah atau kata~kata mutiara saja yang diucapkan oleh seorang tokoh atau ulama, kemudian dalam perkembangan selanjutnya diklaim sebagai Hadis yang berasal dari Nabi Saw.
Sekiranya ada orang atau muballigh tertarik dengan ungkapan itu karena substansinya dinilai baik, maka hal itu boleh~boleh saja, selama hal itu tidak disebutkan sebagai Hadis atau sabda Nabi Saw. Tetapi apabila hal itu disebut sebagai sabda Nabi Saw, maka hal itu berarti dia telah menisbahkan kepada Nabi Saw suatu ungkapan yang tidak pernah beliau ucapkan. Ini sama artinya dengan dia menduskatan Nabi Saw, atau membuat Hadis palsu.
Ikut-ikutan Ulama
Pada tahun 1995, sesudah diselenggarakan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUNAS MUI V) di Hotel Indonesia (HI), Jakarta, diadakan pula pertemuan Ulama Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura (MABIMS). Kami kebetulan ikut pertemuan itu.
Ada sebuah makalah yang diajukan dalam pertemuan itu yang ditulis oleh seorang cendekiawan Indonesia. Dalam makalah itu ia mencantumkan Hadis tentang wanita tiang negara tadi . Tentu saja hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi kami untuk menanyakan Hadis itu kepada pemakalah. Namun sebelum kami menanyakan hal itu kepada pemakalah, kami bertanya lebih dahulu kepada seorang kiai senior yang duduk di sebelah kami, yaitu al~Mukarram Bapak KH. Muchtar Nasir, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
“Kiai”, begitu kami berbisik kepada beliau . “Kami sudah lebih dari lima tahun mencari Hadis tentang wanita tiang negara yang ditulis dalam makalah ini, tetapi kami belum menemukannya. Apakah Kiai tahu siapa yang meriwayatkan Hadis tersebut, dan di dalam kitab apa?” “Ya Akhi”, begitu beliau menjawab. “Saya justru sudah lebih dari sepuluh tahun mencari Hadis itu, dan belum menemukannya”.
Begitulah, jawaban beliau itu akhirnya leblh mendorong kami untuk menanyakan hal itu kepada pemakalah. Dan setelah waktu dialog dibuka oleh moderator, kami mengacungkan tangan lebih dahulu. Dan setelah diberi kesempatan untuk berbicara, kami menanyakan Hadis itu kepada pemakalah, dalam kitab apa Hadis itu ada, siapa rawinya dan bagaimana kualitasnya. Kemudian ternyata pertanyaan kami itu hanya dijawab ringan. “Saya mendengar para kiai menyampaikan Hadis itu. Akhirnya saya ikut menyampaikannya”, begitu jawaban pemakalah singkat.
Jawaban itu, meskipun tidak ilmiyah, namun telah meyakinkan kami bahwa Hadis Wanita Tiang Negara itu memang tidak pernah ada. Karenanya upaya mengklaim ungkapan itu sebagai Hadis Nabi Saw adalah tindakan yang memiliki konsekuensi berat, karena hal itu berarti mendustakan Nabi Saw . yang diancam dengan masuk neraka.
Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 67-70.