Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Umat Islam dihebohkan lagi dengan sebuah PR (pekerjaan rumah) yang membuat mereka harus berkelahi di antara mereka sendiri. Kali ini adalah kasus seorang wanita yang menjadi khatib sekaligus imam salat Jumat di New York, Amerika Serikat. Tampaknya tidak mustahil, di balik kasus ini ada skenario dari kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Namun tulisan ini tidak hendak menyoroti hal itu, melainkan akan menyorotinya dari perspektif hadis.
Selama 15 abad, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa wanita dibolehkan menjadi imam salat berjamaah di mana makmumnya terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, kecuali Abu Tsaur (w. 240 H) murid Al-Imam al-Syafi’i yang kemudian mendirikan mazhab sendiri.
Abu Tsaur melandaskan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan, antara lain, oleh Al-Imam Abu Dawud, Al-Imam Ahmad, dan Al-Imam al-Hakim. Hadis ini dikenal dengan Hadis Ummu Waraqah, karena awalnya seorang sahabat wanita bernama Ummu Waraqah menghadap Rasulullah SAW, meminta beliau menunjuk seorang muazin di rumahnya. Beliau kemudian menunjuk seorang muazin dan memerintahkan Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi penghuni rumahnya.
Hadis itu kualitasnya sahih (valid), tetapi dari sisi istidlal (sumber hukum) untuk membolehkan wanita menjadi imam salat secara umum di mana di antara makmumnya kaum laki-laki, hal itu perlu ditinjau ulang. Karena dalam hadis tersebut tidak ada kejelasan siapa yang menjadi makmum Ummu Waraqah. Kemungkinan semua makmumnya adalah wanita, semuanya laki-laki, atau campuran antara laki-laki dan wanita. Kaidah ushul fiqh menyatakan, apabila sebuah dalil mengandung banyak kemungkinan, maka dalil itu tidak dapat dijadikan sumber hukum. Karenanya, Hadis Ummu Waraqah itu, kendati sahih, gugur sebagai dalil.
Sementara itu, ada pendekatan lain untuk memahami hadis tersebut, yaitu bahwa Hadis Ummu Waraqah bersifat umum, sementara dalam versi lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam al-Daruquthni dalam kitab Sunannya menegaskan bahwa Nabi SAW menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi wanita-wanita penghuni rumahnya.
Berdasarkan kaidah pemahaman hadis, jika terdapat dua hadis yang masing-masing memberikan pengertian umum dan khusus, maka pengertian yang umum harus diartikan dengan pengertian yang khusus. Atau dengan kata lain, hadis yang memberikan pengertian umum tidak dipakai, dan hadis yang memberian pengertian khusus itulah yang dipakai sebagai dalil. Metode ini dikenal dengan metode takhshish.
Maka, dalam kasus Hadis Ummu Waraqah itu, kendati riwayat yang memberikan pengertian umum jumlahnya lebih banyak, karena ada riwayat yang memberikan pengertian khusus, maka hadis yang memberikan pengertian umum itu di-takhshish (diartikan secara khusus) dengan hadis yang memberikan pengertian khusus. Karena itu, yang berlaku sekarang adalah hadis yang memberikan pengertian bahwa Rasulullah mengizinkan Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi wanita-wanita yang menjadi penghuni rumahnya.
Pengertian itu didukung hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah, di mana Nabi SAW melarang wanita menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Hadis ini, kendati dari segi sanad (transmisi, silsilah keguruan) tidak begitu kuat, substansinya telah diterima dan diamalkan oleh para ulama sejak masa sahabat hingga sekarang, sehingga hadis ini valid sebagai dalil.
Orang yang paling mengetahui maksud ucapan Rasulullah adalah para sahabat. Sekiranya maksud hadis itu adalah mengizinkan wanita menjadi imam salat berjamaah di mana di antara makmumnya kaum laki-laki, tentulah di kalangan sahabat ada wanita yang menjadi imam salat untuk makmum laki-laki. Dan Aisyah istri Rasulullah merupakan orang yang paling pantas menjadi imam salat berjamaah dengan kaum laki-laki. Namun tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Aisyah pernah menjadi imam salat berjamaah bagi makmum laki-laki dan wanita atau makmum laki-laki saja.
Istri-istri Nabi SAW, seperti Aisyah dan Ummu Salamah, memang pernah menjadi imam salat, baik untuk salat fardu maupun salat sunah. Tetapi mereka hanya menjadi imam untuk makmum perempuan, bukan untuk makmum laki-laki dan wanita, apalagi makmum laki-laki saja. Salat adalah bagian ibadah yang acuannya harus mengikuti petunjuk pakem dari Allah dan Rasul-Nya (Al-Tawaqquf wa al-Ittiba’). Karenanya, intervensi akal dalam masalah ibadah, termasuk salat, tidak dapat dibenarkan. Maka, prespektif gender, demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan makhluk, dan sebagainya tidak dapat memasuki wilayah ibadah.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa pendapat yang mengatakan wanita boleh menjadi imam dalam salat berjamaah yang di antara makmumnya laki-laki tidak memiliki validitas sama sekali. Dan pada gilirannya, mazhab Abu Tsaur pun nyaris tak terdengar.
Sumber: http://arsip.gatra.com/2005-04-04/majalah/artikel.php?pil=23&id=83353