Tentang Valentine Day
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Tak sedikit muda-mudi merayakan Valantine Day. Namun, tak sedikit juga di antara mereka yang tidak mengetahui siapa Valentine dan apa latar belakang lahirnya “hari” itu, serta mengapa ia dirayakan di bulan Februari. Bukan di sini tempatnya diuraikan. Yang ingin digarisbawahi bahwa ide menyebarluaskan dan menumbuh kembangkan cinta kasih bukanlah sesuatu yang terlarang dalam agama. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu mencintai rekannya, maka hendaklah dia menyampaikan kepadanya, bahwa ia mencintainya”. Ulama besar Ibn Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah [w. 1350 M] menyatakan bahwa, “Karena cinta dan demi cinta, langit dan bumi diciptakan, dan atas dasarnya makhluk diwujudkan. Demi cinta seluruh planet beredar, dan dengannya pula semua gerak mencapai tujuannya serta bersambung awal dan akhirnya. Dengan cinta semua jiwa meraih harapannya dan mendapatkan idamannya serta terbebaskan dari segala yang meresahkannya”.
Tapi apakah cinta? Tak mudah menjelaskan hakikatnya. “Ia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya. Karena hati di tangan Tuhan, Dia yang membolak-baliknya,” demikian tulis ulama besar Ibn Hazm [w. 456 H].
Cinta yang dimaksud oleh ulama itu bukan seperti yang difahami oleh sementara muda-mudi yang tercermin dalam aktivitas yang melanggar norma agama atau budaya seperti berduaan dan berpegang-pegangan.
Di sisi lain, harus dicamkan bahwa sebagaimana ada yang tidak disukai tetapi harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan kesungguhan, maka ada juga yang disukai atau dicintai tapi harus dihindari dan ditinggalkan. Obat yang pahit, tidak disukai. Tetapi ia harus diminum dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Cinta yang bergelora pun–jika mengundang petaka atau mencemarkan nama– maka ia harus dihindari.
Memang manusia tak dituntut menyangkut gejolak cintanya selama ia tidak mampu membendungnya. Tetapi ketidakmampuan itu, tidak datang secara tiba-tiba. Karena ada poses yang harus dilalui sebelum lahirnya gejolak cinta itu-proses–yang harus dipertanggungjawabkan. Kata orang: “Cinta bermula dari mata lalu turun ke hati”. Cinta memerlukan pengenalan, disusul dengan perhatian, lalu penghormatan dan tanggungjawab, serta kesetiaan. Karena itu –pada hakikatnya–tidak ada cinta dari pandangan pertama. Sebab ketika itu belum ada pengenalan, apalagi kesetiaan. Ia baru awal dari proses lahirnya cinta. Itu sebabnya Rasul Saw berpesan: “Jangan susul pandangan pertama dengan dengan pandangan kedua. Yang pertama ditoleransi, tetapi yang kedua dipertanggungjawabkan”. Karena itu jika Anda kuatir yang kedua itu didorong oleh setan, maka batasi pandangan! Pengenalan pun demikian! Jangan lanjutkan jika Anda kuatir dapat terjerumus dalam bahaya, apalagi kecelakaan. Lalu ingatlah bahwa kesetiaan bukan saja menuntut pecinta menepati janji-janjinya, tetapi juga memelihara nama baik kekasihnya, dan membantunya memperbaiki penampilan dan aktivitasnya, serta menutupi kekurangannya, bahkan berkorban untuknya.
Akhirnya, jangan duga bahwa semua yang tertampung di dalam hati/perasaan adalah hasil perbuatan Tuhan yang berlaku sewenang-wenang. Nafsu dan setan pun ikut berperan. Itu sebabnya ada was-was dan rayuan. Sekali lagi, jangan serta-merta berkata bila ada bisikan, atau gejolak cinta, bahwa itu adalah bisikan nurani yang digerakkan Allah. Karena nurani dibentuk oleh lingkungan, pengalaman, dan hasil pendidikan.”Kata hati” dapat juga merupakan terjemahan dari bisikan setan atau rayuan nafsu. Demikian. Wa Allah A’lam.
Sumber: http://alifmagz.com/thought/valentine-day/