Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Sangat populer Hadis Nabi saw. yang menyatakan
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa yang meniru satu kaum maka dia bagian dari mereka.
Dalam riwayat lain,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
Bukanlah dari kelompok kami [kaum muslim] siapa meniru satu kaum.
Hadis di atas diriwayatkan oleh banyak ulama, tetapi ada di antara mereka yang dapat menerimanya tanpa komentar seperti pakar hadis Abu Daud, dan Ibnu Hibban, dan juga Ibnu Taimiyyah yang menilainya “baik”. Demikian juga Az-Zarkasyi. Ada juga yang menerimanya, kendati mengakui bahwa ada dalam rentetan rawinya yang dinilai lemah, namun kelemahan itu tertutupi dengan adanya hadis lain yang mendukung kandungannya. Rawi yang dinilai lemah itu ada yang menyebut nama Ibnu Tsauban, ada juga yang menyebut Ali bin Ghurab.
Ulama besar dan pakar hadis yang lahir di Surabaya, Habib Salim bin Jindan (1906-1969) menguraikan secara panjang lebar hadis di atas dalam bukunya, Dhajij al-Kaun min Libsi al-Banthalun (kegaduhan dunia akibat memakai pantalon –celana panjang yang sampai mata kaki). Beliau menguraikan kelemahan hadis tersebut dengan merujuk ke banyak sekali pakar hadis. Sekian banyak rawi hadis itu selain Ali bin Ghurab di atas yang beliau nyatakan sebagai lemah berdasar keterangan sekian banyak ulama. Seperti Abu Munib Al-Jarsyi yang diragukan ‘adalah-nya (dinilai tidak memiliki integritas pribadi dan atau karena kelemahan ingatan yang menjadikan riwayatnya tidak wajar diterima). Penilaian ini menurut Habib Salim dilakukan pakar hadis kenamaan, seperti Ibnu Hajar al-Asqallani.
Terlepas dari sahih atau tidaknya hadis di atas, penulis menggarisbawahi bahwa kendati dia tidak sahih, harus diakui bahwa memang Rasulullah saw. menekankan perlunya kaum muslimin menjaga identitasnya dan menampakkannya dengan penampakan yang berbeda dengan penganut agama lain. Ini, antara lain, terlihat ketika Rasul saw. bersama sahabat-sahabat beliau membahas cara menyampaikan masuknya waktu shalat/mengundang kaum muslim untuk hadir melakukan shalat. Ketika itu ada yang mengusulkan menyalakan api, ada lagi yang mengusulkan mengibarkan bendera, Yang ketiga dan keempat mengusulkan meniup terompet atau membunyikan lonceng. Kesemuanya tidak disetujui Rasul saw, antara lain, karena api adalah cara penganut agama Majusi, sedang terompet adalah cara orang Yahudi dan lonceng merupakan cara orang Nashrani. Akhirnya ditetapkanlah azan dengan rangkaian kalimat tertentu sebagai cara kaum muslim menyampaikan kepada khalayak tentang masuknya waktu shalat sambil mengundang mereka shalat bersama.
Hal lain yang menunjukkan perlunya menampilkan identitas yang berbeda dengan non muslim adalah perintah Rasul saw. agar kaum muslim tampil berbeda dengan kaum musyrik dengan membiarkan jenggot dan mungunting kumis (HR. Bukhari dan Muslim). Atas dasar hadis-hadis yang berbicara tentang hal ini, sementara ulama menyatakan wajibnya memelihara jenggot atau paling sedikit menyatakannya sebagai sunnah/anjuran.
Berdasar kedua kasus di atas dan kasus-kasus lainnya, sementara ulama melarang dengan keras mencontoh non-muslim dalam segala hal yang bersumber dari mereka. Bahkan pada masa lalu sementara ulama mengaramkan memakai celana panjang, dasi, topi, dan semacamnya dengan alasan/dalih bahwa itu adalah pakaian orang-orang Eropa (nonmuslim). Polemik tentang topi pernah terjadi di Mesir sedang tentang celana panjang pernah menjadi bahasan sengit di Indonesia.
Hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu didudukkan sebelum menetapkan pemahaman kita tentang hadis “meniru kaum lain” di atas.
Pertama, tentang sikap keterbukaan yang diajarkan Islam. Islam adalah agama yang sangat terbuka menyangkut kebaikan dari mana pun sumbernya. Sejak awal masa Islam, hal tersebut terlihat, antara lain, dalam sikap Nabi saw. menyangkut hal-hal positif dalam masyarakat Jahiliah. Sampai-sampai beliau bersabda ketika ditanya tentang siapakah sosok/criteria seorang mulia. Beliau menjawab
خِيَارُكُمْ فِي الجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِي الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا
“Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah itulah yang sebaik-baik dalam masa Islam kalau mereka paham. (HR. Bukhari)
Tentu saja kata “paham “ mencakup pemahaman mereka tentang ajaran Islam, dengan menganutnya. Hadis ini menjadikan tolak ukur kebaikan pada masa Jahiliah dipersamakan Nabi saw. dengan tolok ukur kebaikan dalam ajaran Islam dengan syarat “pemahaman” di atas. Itu sebabnya sekian banyak adat istiadat Jahiliah yang diterima baik oleh Islam, seperti kedermawanan, keberanian dan penghormatan kepada tamu dan perempuan dan sekian banyak juga yang diterima setelah diluruskan seperti sistem pengangkatan anak, sebagaimana ada juga yang ditolaknya, yakni yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Keterbukaan Islam terhadap kebaikan terlihat juga, misalnya, dalam pernyataan Nabi saw.
الكَلِمَةُ الحِكْمَةُ ضَالَّةُ المُؤْمِنِ، فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Hikmah adalah barang hilang seorang mukmin, di mana ia menemukannya, maka ia lebih berhak memilikinya” (HR. at-Tirmidzi)
Karena itu pula sangat populer ungkapan yang menyatakan, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Keterbukaan umat Islam itulah yang mengantar mereka mempelajari dan menerima apa yang baik dari luar Islam dan mengembangkannya sehingga melahirkan peradaban Islam yang mengagumkan kawan dan lawan. Jika demikian, tidak semua peniruan otomatis terlarang. Kalau kita menjadikan dua contoh di atas –azan dan jenggot- sebagai titik tolak pemahaman maka kita agaknya tidak keliru jika membedakannya. Azan berkaitan dengan ritual keagamaan/ibadah mahdhah yang pada dasarnya tidak boleh ditambah dan atau dikurangi. Penambahan kalimat azan atau pengurangannya tidaklah dibenarkan, apalagi menggantinya dengan cara lain –yakni menambah atau menggantinya dalam konteks ibadah- bukan dalam konteks upaya memperjelas pemberitaan masuknya waktu shalat, misalnya dengan menggunakan beduk atau pengeras suara.
Adapun jenggot, ia tidak berkaitan dengan ibadah mahdhah (murni). Ia berkaitan dengan adat kebiasaan masyarakat sehingga bisa saja dalam perkembangannya berubah dari positif ke negatif atau sebaliknya. Atau dari perkembangan jumlah penganutnya dari banyak kepada sedikit atau sebaliknya.
Ambillah sebagai contoh rambut gondrong pada masa Nabi saw. Beliau pun gondrong. Panjang rambut beliau mencakup telinga beliau, tetapi setelah masa beliau, masyarakat muslim di hampir seantero negeri Islam tidak lagi membiarkan rambutnya tumbuh mencapai batas telinga sebagaimana rambut Nabi Muhammad saw. Bahkan kini ada sementara orang yang mencukur habis rambut kepalanya. Kita di Indonesia pernah satu ketika menjadikan pemakaian kopiah sebagai pelambang identitas keIndonesiaan dan keIslaman, tapi kini hal tersebut hampir tidak lagi terjadi kecuali terkadang di upacara-upacara resmi. Bahkan, sekian banyak ulama di Timur Tengah yang menggunakan kopiah/peci yang mereka peroleh dari Indonesia dan mereka kenakan di depan umum saat-saat santai mereka. Mantan Rektor Al-Azhar 1995-2003, Prof. Dr. Umar Hasyim dan ulama besar Lebanon yang beraliran Syiah, Sayyid Ali Al-Amini sering penulis lihat mengenakan kopiah buatan dan ala Indonesia.
Bahkan boleh jadi masyarakat Indonesia dalam pemakaian kopiah meniru masyarakat nonmuslim sebelum Islam hadir di Indonesia. Di samping itu, dewasa ini apa yang dinamai baju koko/takwa yang tanpa kerah hampir dapat dinilai sebagai baju pria muslim, padahal baju yang tanpa kerah itu berasal dari Cina. Itu, antara lain dapat dibuktikan dengan penamaan model tersebut di mana-mana –walau di Eropa- dengan nama Kerah China/Kerah Shanghai.
Dari sini kita agaknya dapat berkesimpulan bahwa larangan meniru nonmuslim dalam hadis di atas dan yang semacamnya adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama/akidah atau simbol-simbol keagamaan, bukan dalam soal budaya, adat istiadat/tradisi, seni, pakaian dan semacamnya selama substansinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini dapat dibuktingan dengan mendalami bagaimana totkoh-tokoh agama Islam masa lalu (Wali Songo) menyebarkan Islam. Semua sepakat bahwa mereka menggunakan adat istiadat lokal dan cara-cara yang dikenal dalam masyarakat Jawa, khususnya ketika menyebarkan Islam. Mereka, misalnya, menggunakan pewayangan yang tadinya dikenal luas sebelum datangnya Islam, tetapi mereka menggunakannya sambil menyingkirkan sesaji atau doa-doa agama non-Islam dan menggantikannya dengan doa-doa yang dibenarkan Islam. Mereka meniru cara, tetapi meninggalkan substansi yang bertentangan dengan Islam dan atau mewarnainya dengan warna yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Seni Gamelan dan Tembang yang dikenal luas sebelum Islam datang ke Nusantara pun digunakan Wali Songo sebagai media, tapi tentu saja dengan lirik yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Media ini banyak digunakan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Demikian juga terlihat bahwa mereka meniru tetapi menghindarkan substansi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka pun mengadakan perayaan-perayaan pada hari-hari Besar Islam seperi Maulid Nabi saw. dengan cara Sekaten dan Grebeg.
Adat kebiasaan dalam perkawinan pun mereka lakukan, baik sebelum maupun sesudah akad nikah yang disesuaikan dengan syariat Islam. Memandikan pengantin, menggunting rambut, sungkeman, kesemuanya dilakukan sambil memperhatikan substansi ajaran Islam dan diberi makna sesuai dengan makna yang dikandung oleh mandi, menggunting rambut dan penghormatan kepada orang tua yang juga dikenal dalam ajaran Islam. Jika demikian, sekali lagi, meniru suatu kebiasaan dalam satu masyarakat tidak serta merta terlarang. Ia terlarang kalau itu mengandung simbol agama non-Islam, tetapi kalau tidak atau makna simbol-simbol itu disesuaikan dengan ajaran Islam –apalagi jika makna simbol-simbol masa lalu itu tidak lagi dipraktikkan maka agaknya tidak serta merta harus dilarang. Mengadakan pesta ulang tahun, misalnya tidaklah terlarang; lebih-lebih kalau disertai doa syukur. Bahkan sekian banyak ulama yang membolehkan merayakan Hari Valentine.
Menjelang Hari Cinta Kasih, pada 13 Februari 2018 yang lalu, Syekh Ahmad Mahmud, Sekretaris Jenderal Majelis Fatwa Mesir menegaskan tiadanya larangan dari segi syariat untuk merayakannya, sebagaimana tidak ada laragan merayakan hari-hari tertentu seperti Hari Ibu dan hari-hari lain yang dirayakan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Merayakan hari cinta kasih dibenarkan, karena memang Rasul saw. menganjurkan siapa yang mencintai seseorang agar menyampaikan cintanya itu. Cinta bukan hanya antara pria dan wanita, tetapi lebih luas dari itu. Sehingga hari itu dapat diwujudkan untuk menampakkan cinta kepada anak-anak, sahabat dan keluarga.
Menurut Syekh Ahmad yang disebut di atas, tidaklah benar menjadikan hadis yang melarang ber-tasyabbuh/meniru nonmuslim sebagai alasan pelarangannya. Kata tasyabbuh dari segi bahasa berarti melakukan sesuatu dengan sengaja dan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh yang ditiru, bukan sekedar persamaan bentuk tetapi juga persamaan substansi dan tujuan. Di sisi lain, lanjutnya, zaman telah berubah dan nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam hampir tidak lagi teringat atau tidak lagi digubris oleh yang merayakannya dewasa ini. Memang, jika perayaan hari kasih sayang itu terjadi antara lelaki dan perempuan dalam bentuk yang melanggar ketentuan agama maka tentu saja dilarang. Tapi larangan itu bukan pada merayakannya, tetapi pada apa yang menyertainya.
Pendapat yang sejalan dikemukakan Syekh Ahmad Qasim al-Ghamidi, mantan Direktur Lembaga Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar Mekkah. Menurutnya, perayaan-perayaan seperti Hari Ibu, Hari Guru, Hari Kebangsaan, hari lahir atau perkawinan dapat mengukuhkan hubungan kemanusiaan. Memang, lanjutnya, Islam mengajarkan dan menganjurkan ucapan-ucapan indah. Demikian, wallahu a’alam.
Sumber: M. Quraish Shihab, Islam yang Disalahpahami, h. 342-352.