Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Hadis ini dinilai oleh sementara orang sebagai suatu yang dapat menumbuhkan semangat patriotisme dan menyuburkan rasa kebangsaan. Karenanya, ia sering disebut~sebut dalam upacara-upacara untuk menggugah semangat patriotisme dan kebangsaan.
Namun, lagi-lagi pertanyaan yang muncul kemudian adalah, benarkah ungkapan dimaksud itu sebuah Hadis yang bersumber dari Rasulullah Saw? Apabila benar ungkapan tersebut sebuah Hadis, maka dalam kitab apa Hadis tersebut terdapat, siapakah rawinya, dan apakah kualitasnya? Dari segi substansi, apakah ada kaitan antara mencintai tanah air itu dengan keimanan seseorang?
Kualitas Hadis
Hadis sebagaimana dimaksud di atas teksnya adalah sebagai berikut:
حُبُّ الوَطَنِ مِنَ اللإِيْمَانِ
Mencintai tanah air itu adalah sebagian dari iman
Hadis ini termasuk Hadis populer di kalangan masyarakat. Dan sebagai datanya, ia tercantum dalam kitab~kitab tentang Hadis populer. Namun, para ulama Hadis sepakat bahwa Hadis tersebut adalah palsu.
Imam al~Suyuti misalnya, ketika mengomentari Hadis itu beliau berkata, Lam aqif ‘alaihi (saya tidak menemukannya)[1] Begitu pula Imam al~Sakhawi juga mengatakan seperti itu, meskipun menurutnya substansi Hadis ini shahih.[2] Ungkapan al~Suyuti dan al~Sakhawi Lam aqif ‘alaihi itu adalah istilah lain untuk Hadis maudhu'(palsu).[3]
Imam Hasan bin Muhammad al~Shaghani. pengarang kitab al-Masyariq, seperti dinukil oleh Imam Al~’Ajluni juga menegaskan bahwa Hadis tersebut maudhu'(palsu).[4] Begitu pula Imam Syeikh Muhammad Darwisy al~Hut [5]. Karenanya, kepalsuan Hadis tersebut tampaknya tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Substansi Kontroversial
Menurut al-Qari, ayat ini menunjukkan bahwa orang~orang munafik itu mencintai tanah air mereka, dan ternyata mereka tidak beriman [7]. Karenanya, tidak ada keterkaitan (talazum) antara cinta tanah air dengan iman.
Sementara itu banyak ulama memberikan penafsiran tentang al-wathan (tanah air) dalam ungkapan di atas. Ada yang menafsirkan bahwa al-wathan itu adalah al-jannah (surga), kota suci Makkah alMukarramah, dan ada juga yang menafsiri kembali kepada Allah.[8]
Dan bagaimanapun juga, sekiranya substansi ungkapan itu shahih, maka hal itu juga tidak akan mengubah status ungkapan tersebut menjadi sebuah Hadis shahih. Ia tetap saja sebagai Hadis palsu apabila dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Karenanya, ungkapan ungkapan yang bersubstansi shahih atau baik, seyogyanya disebut saja sebagai kata-kata hikmah atau kata-kata mutiara, agar kita selamat dari ancaman masuk neraka.
Referensi:
[1] Al-Suyuti, al-Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah. Editor Dr Muhammad Lutfi al- Shabbagh, King Saud University Press, Riyadh, 1403 H/1983 M, hal. 108.
[2] Al-Sakhawi. al-Maqashid al-Hasanah. Koreksi dan Komentar : Abdullah Muhammad al-Shiddiq, Dar al-Kutub al-‘llmiyah, Beirut, 1399 H/1979 M, Hal.183.
[3] Abu al-Fattah Abu Ghuddah (Editor) dalam: Ali al-Qari al-Harawi, al-Mashnu’ fi Ma ‘rifah al-Hadits al-Maudhu’, Maktab al-Mathbu’at al-lslamiyah, Beirut, 1404 H/1984 M., hal. 38-40.
[4] Al-‘Ajluni, isma’il bin Muhammad. Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, Editor Ahmad al-Qallasy, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1403 H/1983 M, I/413.
[5] Muhammad Darwisy al-Hut, Asna al-Mathalib fi Ahadits Mukhtalifah al-Maratib, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1403 H/1983 M., hal. 126.
[6] Al-Sakhawi. al-Maqashid al-Hasanah. Koreksi dan Komentar : Abdullah Muhammad al-Shiddiq, Dar al-Kutub al-‘llmiyah, Beirut, 1399 H/1979 M, Hal.183.
[7] Al-‘Ajluni, isma’il bin Muhammad. Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, Editor Ahmad al-Qallasy, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1403 H/1983 M, I/413.
[8] Al-‘Ajluni, isma’il bin Muhammad. Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, Editor Ahmad al-Qallasy, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1403 H/1983 M, I/413.
Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h.74-76.