Panrita.id

Kekerasan terhadap Perempuan dalam Islam

Prof. Dr. Musdah Mulia, MA.(Profil)

Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace

Resolusi Sidang Umum PBB tanggal 20 Desember 1993 menyepakati perlunya mengakhiri semua bentuk kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat dunia sadar, kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia karena dampaknya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi perempuan sebagai korban. Dalam resolusi itu disebutkan, “Kekerasan Terhadap Perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan juga mengakibatkan hambatan bagi kemajuan mereka”.

Data kasus KTP di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika tahun 2012 ada lebih 600 kasus, maka tahun 2013 tercatat 992 kasus, yang dominan adalah kasus KDRT sebanyak 372 kasus dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Tapi, bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itupun bukan data dari lembaga negara, melainkan dari NGO yang konsen pada isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai, dan belum serius menangani kasus KTP, padahal dalam berbagai dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, KTP dinyatakan sebagai kejahatan HAM yang sistemik dan berdampak luas.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terkait isu KTP, hal itu penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Islam diyakini para pemeluknya sebagai rahmatan lil `alamin. Artinya, agama ini membawa pesan-pesan moral keagamaan yang jika diimplementasikan dalam kehidupan nyata akan menjadi rahmat bagi semua manusia, bahkan juga bagi alam semesta. Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan, dan kesetaraannya dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seorang manusia di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas takwa, tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (QS. al-Hujurat, 49:13).

Al-Qur’an tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, Islam tidak memberikan keutamaan pada laki-laki seperti salah dipahami selama ini. Islam juga tidak memandang hina perempuan. Islam mengajarkan untuk menghormati manusia, apa pun adanya. Islam memandang manusia secara optimis dan positif.

Demikian pula, Islam tidak mengakui adanya the first ethnic, prinsip yang mengistimewakan suku tertentu. Setiap orang, tanpa melihat jenis kelamin, suku bangsa, dan ikatan primordial lainnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid (hamba Tuhan), sekaligus menjadi khalifah (pemimpin di bumi) (QS. al-Nisa’, 4:124 dan QS. al-Nahl, 16:97).

Islam tidak membenarkan adanya dominasi suatu golongan terhadap golongan lain, misalnya dominasi kelompok kaya terhadap miskin, dominasi kulit putih terhadap kulit hitam, dominasi penduduk mayoritas terhadap kelompok minoritas, termasuk juga dominasi laki-laki terhadap perempuan. Sebab, semua bentuk dominasi apa pun bentuk dan alasannya selalu berakhir dengan pengabaian atau bahkan penafian hak-hak asasi manusia. Semua bentuk dominasi selalu berujung pada perilaku kekerasan, ketidakadilan dan kezaliman. Hal demikian pasti tidak sesuai dengan pesan moral Islam yang luhur, yang menghendaki manusia saling mengasihi, saling menghormati dan saling membantu.

Islam sesuai namanya, salima (berarti damai) adalah agama yang mengutamakan kasih sayang, keadilan, kedamaian, kelembutan, dan keselamatan. Segala bentuk kekerasan, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dalam Islam, apalagi kekerasan terhadap perempuan, yang sampai kini masih saja menjadi kelompok rentan dan marjinal dalam masyarakat.

Tindak kekerasan terhadap perempuan pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari ketidakadilan jender (gender inequality). Ketidakadilan jender dalam realitas sehari-hari melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan, seperti pemiskinan ekonomi, perkosaan, termasuk perkosaan dalam perkawinan, prostitusi, sunat, kekerasan dalam bentuk pornografi, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana (KB), dan dalam bentuk pelecehan seksual di tempat kerja yang banyak terjadi akhir-akhir ini.

Di dalam ajaran Islam terdapat beberapa ayat yang secara tekstual maknanya sering diarahkan oleh sebagian ulama kepada legitimasi terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, seperti an-Nisa, 4:34, yang sering digunakan sebagai dalil tentang bolehnya pemukulan terhadap isteri. Namun, sebagian besar ulama sepakat untuk tidak memahami ayat-ayat tersebut dengan pemahaman tekstual karena akan kehilangan makna esensialnya.

Karena itu, dalam kaitan dengan tindakan memukul ini, beberapa ketentuan yang digariskan ulama harus diperhatikan, khususnya bagi para lelaki. Di antaranya: terlarang memukul dengan menggunakan alat yang keras dan tajam, seperti tongkat dan sejenisnya, dilarang memukul pada bagian wajah, dilarang memukul hanya pada bagian tertentu, dan dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera, apalagi sampai cacat.

Artinya, umumnya ulama sepakat, tidak boleh ada pemukulan, tidak boleh ada KTP. Bahkan, Muhammad Abduh, ulama besar Mesir menegaskan, hanya laki-laki yang tidak beradab berani memukul isteri. Lebih lanjut, beliau mengatakan, sesungguhnya kita para suami dituntut agar senantiasa berlaku lemah lembut, kasih sayang, dan sopan santun dalam segala situasi terhadap isteri. Pernyataan itu sesuai dengan hadis Nabi saw: sebaik-baik suami adalah yang paling santun terhadap isteri.

Dewasa ini di mana kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu sentral, adalah suatu keniscayaan untuk mempertimbangkan suara perempuan dalam interpretasi keagamaan. Sudah saatnya mensosialisasikan interpretasi agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Sumber: http://mujahidahmuslimah.com/beranda/pikiran-musdah-mulia/495-kekerasan-terhadap-perempuan-perspektif-islam.html