Oleh: Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, MA., Ph.D.(Profil)
Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta/Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005
Empat tahun lebih sudah berlalu, saat drama maut itu ditimpakan atas seorang bocah putri yang kemudian telah mengentak kesadaran nurani manusia di bumi ini sebagai tanda keprihatinan dan kemarahan yang mendalam. Ingat Malala atau nama lengkapnya Malala Yousafzai (12 Juli 1997- )? Tentu ingat teror yang berusaha membunuhnya pada 9 Oktober 2012, saat menumpang bus pulang dari sekolah bersama beberapa teman sebayanya. Usianya baru 15 tahun.
Mengapa harus dibunuh? Karena kritik keras gadis ini terhadap rezim Taliban yang ganas yang daerah pengaruhnya juga meluas sampai ke Pakistan, tanah kelahiran Malala. Ketika orang tuanya sudah berpikir untuk menyiapkan makamnya di Distrik Swat, ternyata Tuhan melalui tangan dokter di Pakistan dan di Birmingham (Inggris) berkehendak lain.
Bocah ini diselamatkan sekalipun peluru telah menembus pelipis kiri atas di bagian kepalanya dan peluru itu kemudian bersarang di punggungnya. Sempat koma beberapa hari, tetapi tanda-tanda kehidupan belum hilang, kata dokter yang menanganinya.Saya tahu, tuan dan puan pasti telah mengikuti perjalanan hidup bocah ini yang kemudian meneruskan sekolahnya di Birmingham, didampingi kedua orang tuanya, Ziauddin Yousafzai dan Tor Pekai Youfsafzai. Tetapi, “Resonansi” ini akan menyoroti sisi-sisi lain dari musuh Taliban dan terorisme ini yang mungkin belum banyak terkuak bagi publik di Indonesia.
Segera dibawa ke rumah sakit dalam upaya menyelamatkan jiwanya. Bocah perempuan cerdas ini selama beberapa tahun pascatragedi itu menjadi ikon dunia. Namanya menjadi sorotan dalam ratusan media di seluruh jagat.
Koran Jerman, Deutsche Welle, bulan Januari 2013 menobatkan Malala sebagai “anak usia belasan tahun yang paling masyhur di dunia”. Dia berpidato di PBB, Juli 2013, berpidato di kampus Universitas Harvard, September pada tahun yang sama, meraih hadiah Nobel pada 2014, usia termuda dalam sejarah penganugerahan hadiah bergengsi ini. Masih puluhan hadiah lain yang meluncur dari berbagai negara.
Melalui Youtube, saya dapat mendengar pidatonya di PBB dan pidatonya di Oslo saat menerima hadiah Nobel pada 10 Desember 2014. Bocah ini memang luar biasa, tangkas sekali dalam menyampaikan pidatonya yang hanya sesekali melihat teks.
Berkali-kali tepukan tangan panjang bergema selama pidato itu disampaikan. Kedua orang tuanya yang hadir terlihat berkali-kali menyeka air mata bahagianya karena putrinya yang pernah bergumul dengan maut itu kini punya tempat terhormat di mata publik dunia dalam usia yang sangat belia.
Secara tidak langsung, Taliban juga “berjasa” terhadap bocah aktivis pendidikan ini. Sekiranya tidak ditembak, dunia tentu tidak sampai gempar dibuatnya. Malala menyerukan bahwa pendidikan adalah hak asasi anak-anak, perempuan atau laki-laki. Bagi Taliban, sekolah-sekolah perempuan sempat ditutup karena katanya di sana “virus kafir” akan meracuni otak dan hati siswa. Malala melakukan protes keras terhadap pendapat primitif ini.
Oleh sebab itu, Mulla Fazullah, tokoh spiritual Taliban di Distrik Swat, mengeluarkan fatwa agar nyawa Malala segera dihabisi, tidak peduli seorang bocah yang memang punya filsafat: “Pen is mightier than sword” (pena lebih dahsyat dari pedang).
Bagi saya, Malala adalah sebuah oase yang keteduhan ketika bagian-bagian bumi Muslim sudah tandus, tidak lagi aman dan nyaman buat tempat tinggal.
Oase ini dapat jadi sumber kebanggaan yang melahirkan optimisme bagi hari depan Muslim sejagat dengan sama-sama menyatakan bahwa “terorisme adalah musuh peradaban yang harus dilenyapkan.”
Malala dengan lembaga pendidikan yang dibentuknya ingin mendidik semua anak usia sekolah, termasuk anak-anak teroris tanpa ada rasa benci dan dendam. Kerja serupa juga sedang dilakukan oleh BNPT di Indonesia di bawah pimpinan Komjen Suhardi Alius.
Sementara, Pakistan, negeri asal Malala, di mana-mana bom bunuh diri masih saja diledakkan, teroris gentayangan, dan Malala adalah salah seorang korbannya, tetapi Tuhan belum membiarnya berpisah dari dunia ini. Malala adalah juga saksi hidup bahwa Islam tidak identik dengan terorisme, sebagaimana pihak Barat masih saja melontarkan tuduhan nista yang berbahaya ini.
Di samping oase, Malala adalah juga seorang petarung sejati untuk kepentingan pendidikan anak usia sekolah yang banyak terlantar di berbagai belahan bumi. Bahkan fenomena pekerja anak-anak dengan upah murah bukanlah sesuatu yang asing, demi kelangsungan hidup keluarga miskin dan telantar. Oleh sebab itu ketika rezim Taliban meremehkan dunia pendidikan, terutama pendidikan bagi perempuan, semangat tempur Malala tidak bisa dibendung lagi, apalagi ayahnya seorang pendidik dan diplomat.
Suatu ketika Malala mengatakan: “…kita tahu bahwa kelompok teroris takut kepada kekuatan pendidikan.” (Lih. Mishal Husain, “Malala: The girl who was shot for going to school,” BBC News, 7 Oktober 2013).
Saat Malala sedang tergeletak di rumah sakit militer di Peshawer, ayahnya Ziauddin Yousafzai datang sambil berucap: “Saya tatap wajahnya, saya hanya menunduk, saya cium keningnya, hidungnya, dan pipinya…dan kemudian saya katakan, ‘Engkau adalah puteri kebanggaanku. Saya bangga denganmu.’’’ (Ibid.). Ketika ditanya tentang ketahanan mental puterinya, Ziauddin menjawab: “Karena saya tidak memotong sayapnya.” Ziauddin pernah bertugas sebagai atase pendidikan Pakistan di Birmingham, juga sebagai penasehat khusus PBB untuk pendidikan global.
Dalam pidatonya di PBB pada 12 Juli 2013 yang diawali dengan menyebutBismillahirrahmnirrahim, Malala sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi semua anak di seluruh negara, sesuatu yang dilecehkan oleh Taliban. Tetapi Malala tidak membenci Taliban: “Saya bahkan tidak benci kepada anggota Taliban yang menembak saya. Bahkan jika ada senjata di tangan saya dan dia berdiri di depan saya, saya tidak akan menembaknya. Ini adalah sifat belas-asih yang saya pelajari dari Muhammad—nabi penyebar rahmat, dari Jesus Kristus, dan dari Buda yang agung.”
Kemudian dalam pidatonya di PBB itu Malala melanjutkan: “Saya ingat ada seorang bocah di kelas kami yang ditanya oleh wartawan, ‘Mengapa Taliban menentang pendidikan?’ Dengan cara sederhana bocah itu menjawab dengan menunjuk kepada bukunya sambil berkata: ‘Seorang Talib [anggota Taliban] tidak tahu apa yang tertulis dalam buku ini.’” Pengikut Taliban itu “mengira bahwa Tuhan itu kecil, makhluk konservatif alit yang akan mengirim anak perempuan ke neraka semata-mata karena pergi ke sekolah. Para teroris sedang menyalahgunakan nama Islam dan masyarakat Pashtun [nama salah satu suku di Pakistan] untuk kepentingan dirinya sendiri,” imbuh Malala.
Dijelaskan lebih jauh bahwa: “Pakistan adalah negeri demokratik yang cinta damai. Rakyat Pashtun menginginkan pendidikan untuk anak-anaknya, perempuan dan laki-laki. Dan Islam adalah agama perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan. Islam mengatakan bahwa bukan hanya merupakan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan, tetapi itu semua merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya.”
Nurani Malala demikian tersiksa oleh kenyataan banyaknya belia yang terlantar, tidak dapat pergi ke sekolah oleh berbagai halangan. Kita kutip: “Di banyak bagian dunia, khususnya di Pakistan dan Afghanistan, terorisme, perang, dan konflik telah menghalangi anak-anak pergi ke sekolah. Kami benar-benar kelelahan akibat perang. Kaum perempuan dan anak-anak sedang menderita di berbagai bagian dunia dengan cara yang bermacam-macam. Di India, anak-anak tak berdosa dan miskin adalah korban akibat kerja usia anak. Banyak sekolah telah dirobohkan di Nigeria….Kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, rasisme, dan perampasan hak asasi merupakan masalah utama yang tengah dihadapi oleh laki-laki dan perempuan.”
Di bagian akhir pidatonya, Malala berseru: “Oleh sebab itu mari kita lancarkan perjuangan melawan buta huruf, kemiskinan, dan terorisme, dan mari kita tenteng buku dan pena kita. Mereka adalah senjata kita paling dahsyat. Seorang anak, seorang guru, sebuah pena, dan sebuah buku dapat mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan paling utama.”
Pidato Malala ini didengarkan dengan tekun dan antusiasme yang tinggi oleh para belia yang hadir di gedung PBB itu, termasuk juga hadir sekjennya kala itu: Ban Ki-moon. Berkali-kali tepuk tangan panjang mengiringi Malala selama menyampaikan pidato dalam yang usianya ketika itu baru 16 tahun. Mulai tahun 2013 itu namanya sudah mulai diusulkan sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel yang kemudian dimenangkannya bersama Kailash Satyarthi (60), pegiat dan pejuang hak pendidikan anak dari India.
Sebelum menurunkan bagian-bagian dari isi Pidato Nobel Malala, ada baiknya ditambahkan sedikit keterangan tentang Lembah Swat, bumi tempat kelahirannya di sebelah barat daya Pakistan. Kawasan pegunungan ini dulunya terkenal sebagai “Switzerland of Pakistan” karena cantiknya. Sejuk di musim panas, bersalju di kala musim dingin. Letaknya tidak terlalu jauh dari Islamabad. Lembah ini kemudian menjadi rusak saat Taliban menguasainya sebelum dibebaskan kembali oleh pasukan Pakistan. Ratusan sekolah ditutup oleh rezim pro kekerasan ini.
Pidato Nobel Malala disampaikan pada 10 Desember 2014, saat usianya 17 tahun enam bulan. Saya telah dengarkan pidato itu dari awal sampai ke ujung serta mengamati suasana di gedung tempat Hadiah Nobel itu diberikan. Antara teks tertulis dan bahasa lisan Malala ada beberapa kalimat yang berbeda, substansinya sama. Tetapi bahasa lisannya terasa lebih kaya dan lebih sedap diikuti dengan tekanan kalimat yang sarat makna dan penuh wibawa. Kita tidak bisa membayangkan betapa berbunganya perasaan ayah-bundanya menonton puterinya yang telah jadi bincangan luas publik dunia itu. Malala telah jadi sumber ilham bagi kaum muda.
Tatkala mengulangi nasehat ayahnya yang tidak pernah menggunting sayapnya untuk terbang tinggi, gemuruh suara hadirin demikian membahana sebagai tanda keterpukauan yang luar bisa dalam mengikuti suara bocah Muslimah ini. Ini kalimat asli Malala sebagai tanda terima kasih kepada ayahnya: “Thank you to my father for not clippimg my wings and for letting me fly“ (Terima kasih ayahku karena tidak menggunting sayapku dan membiarkanku terbang). Sang ibu juga hadir di sana dengan penuh rasa haru terlihat jelas di wajahnya. Sampai di ujung pidato, pada setiap tikungan kalimat yang menghentak, tepuk sorak hadirin tak pernah berhenti. Semuanya terlihat bahagia, terharu, dan terhenyak. Suara Islam damai bergema lantang di gedung itu. Saya tidak tahu apakah Taliban sempat mendengarkan pidato bocah yang hendak dibunuhnya ini.
Beberapa bagian Pidato Nobel Malala itu akan diturunkan di bawah ini, terutama bagi mereka yang belum sempat mengikutinya. Tuan dan puan yang ingin mendengarkan langsung pidato itu, silakan buka YouTube. Barangkali kesan kita akan sama. Sama-sama bangga di tengah-tengah prahara dunia Muslim yang melelahkan. Nama Malala mencuat di lingkungan keganasan teroris di tanah kelahirannya dengan mengusung teologi tunggal: “Di luar mereka tidak ada kebenaran!” Maka atas nama kebenaran tunggal inilah penembak Taliban hendak menghentikan jantung Malala berdenyut. Alangkah nistanya, alangkah kejamnya!
Masih di bagian awal pidatonya, Malala berkata: “Hadiah ini bukan semata buat saya. Ia untuk semua anak-anak yang terlupakan yang menginginkan pendidikan. Ia untuk anak-anak yang menderita yang rindu perdamaian. Ia untuk anak-anak yang bungkam yang ingin perubahan. Saya berdiri di sini untuk memperjuangkan hak-hak mereka, mengumandangkan suara mereka…bukanlah waktunya lagi untuk mengasihi mereka. Waktunya adalah untuk bertindak, maka ini adalah kali terakhir kita melihat seorang anak yang terenggut dari pendidikan.”
Lalu diceritakan pengalaman masa kecilnya di lembah yang cantik itu yang kemudian jadi neraka. “Saat saya berusia 10 tahun, Swat yang semula adalah tempat yang indah dan tempat turisme, tiba-tiba berubah jadi tempat terorisme. Lebih 400 sekolah dibinasakan. Anak-anak perempuan dilarang pergi sekolah. Perempuan didera. Orang tak berdosa dibunuh. Semua kami menderita. Dan mimpi-mimpi kami yang indah berubah jadi mimpi buruk. Pendidikan beralih dari sebuah hak menjadi sebuah kejahatan.” Pendek kata, baik pidatonya di PBB mau pun di Oslo tekanannya sama: jangan rampas pendidikan anak-anak. Pendidikan adalah segala-galanya!
Mengahapi situasi sulit dalam kepungan Taliban, ada dua pilihan yang terbuka bagi Malala: pertama, membisu dan menunggu saat dibunuh; kedua, bersuara terus terang dan kemudian dibunuh. “Saya pilih yang kedua. Saya putuskan untuk berkata terus terang.” Sewaktu kalimat ini diucapkan, ruang tempat Hadiah Nobel itu diberikan untuk sekian kalinya jadi riuh dengan tepuk tangan sebagai tanda kekaguman atas pilihan teramat berani dari bocah ini: mengadang maut. Drama itulah yang terjadi pada 9 Oktober 2012.
Masih terkait dengan pidato Malala di Oslo, dilanjutkan pada bagian akhir tentang fenomena terbelahnya komunitas Muslim Pakistan dalam menyikapi pandangan-pandangan radikal bocah ini. Demikian mutlaknya pendidikan bagi anak usia sekolah, Malala bahkan menghadirkan di Ibu Kota Norwegia mitranya itu dari Pakistan yang pernah jadi korban teror, dari Nigeria yang diancam Boko Haram, dari Suriah sebagai korban perang saudara. Semuanya ini dalam rangka kampanye untuk menghimpunan Dana Malala bagi kepentingan pendidikan anak usia sekolah. Dia ingin anak-anak perempuan mengikuti jejaknya untuk terbang tinggi dengan modal pendidikan yang berkualitas.
Pada kesempatan lain Malala bertutur: “Saya tidak ingin masa depan saya terkurung, dibatasi empat dinding, semata-mata memasak dan melahirkan.” Feminisme bocah ini terasa sangat kental, sebuah reaksi keras terhadap tebalnya konservatisme Muslim Pakistan. Suaranya tentang mutlaknya pendidikan bagi anak usia sekolah telah menjadi isu panas global.
Tidak tanggung-tanggung. Dalam pidatonya, Malala menyebut satu persatu nama mitranya di atas. Ada bocah bernama Mezon dari Suriah yang kini mengungsi di Lebanon yang bergerak dari tenda ke tenda dalam kerja membantu anak-anak, perempuan dan laki-laki, untuk belajar. Ada Amina dari Nigeria utara, di mana Boko Haram mengancam dan menculik anak-anak, ada Shazia dan Kainat Riaz dari Swat yang kena peluru Taliban bersama Malala. Ada lagi Kainat Somro juga dari Pakistan yang jadi korban kekerasan dan kekejaman, bahkan saudara laki-lakinya terbunuh, tetapi pantang baginya menyerah. Tatkala nama-nama mereka disebut satu persatu dari mimbar Nobel, mereka saling berbisik karena merasa tersanjung.
Lalu dengan nada tinggi Malala bertutur:
Saya adalah Shazia.
Saya adalah Kainat Riaz.
Saya adalah Kainat Somro.
Saya adalah Mezon.
Saya adalah Amina. Saya adalah bagian dari 66 juta anak-anak perempuan yang tidak bersekolah!
Disinggungnya pula dunia yang sudah berubah dengan cepat dengan segala kemajuannya, tetapi di sisi lain orang tidak juga mau belajar dari pengalaman perang dan konflik sejak PD (Perang Dunia) I 1914, seabad yang silam dengan korban jutaan. Sekarang banyak keluarga yang telah jadi pengungsi di Suriah, Gaza, dan Irak. Tidak sedikit pula anak perempuan yang dipaksa kawin usia bocah. Kemudian dikritiknya negara-negara yang dianggap “kuat,” demikian hebatnya mereka menciptakan perang tetapi begitu lemah membangun perdamaian. Begitu mudahnya memberikan senjata, tetapi alangkah sukarnya memberikan buku. Begitu gampangnya membuat tank, tetapi demikian sulitnya mendirikan sekolah.
Ungkapan-ungkapan kritikal ini telah memukau para undangan yang terdiri dari berbagai bagai bangsa itu. Di bagian akhir pidatonya, Malala berkata: “And let us build a better future right here, right now” (Dan mari kita bangun masa depan yang lebih baik di sini, sekarang juga).
Bilamana Malala disanjung di seluruh dunia, ironisnya masyarakat Muslim Pakistan justru terbelah. Ada yang melemparkan tuduhan bahwa Malala adalah agen CIA, agen Inggris, agen Amerika, sebuah tuduhan keji yang marak terdengar dalam masyarakat yang dipengaruhi Taliban. Tetapi di atas itu semua, inilah tabiat komunitas Muslim yang tidak mau berfikir jauh dan luas. Bahkan seorang komandan Taliban, Adnan Rasheed, mantan anggota angkatan uadara Pakistan, selang sehari setelah pidato di PBB, pada 13 Juli 2013 menulis surat dan peringatan keras kepada Malala agar tidak lagi mengeritik Taliban.
Di ujung surat berbahasa Inggris yang terdapat beberapa kesalahan itu kita terjemahkan berikut ini:
…saya nasihati anda agar kembali pulang, menyesuaikan diri dengan budaya Islam dan Pashtun, menggabungkan diri dengan madrasah perempuan mana pun dekat kota anda, kaji dan pelajari Kitab Allah, gunakan pena anda untuk Islam dan bagi kepentingan umat Muslim, dan bongkar persekongkolan segelintir elit yang ingin memperbudak seluruh kemanusiaan bagi agenda jahat mereka atas nama tatanan dunia baru.
Baik saja nasehat itu. Tetapi siapa yang bisa menjamin keamanan Malala jika kembali ke Pakistan? Bukankah dendam Taliban terhadapnya belum lagi pupus? Sekalipun Lembah Swat sejak Juli 2009 secara resmi tidak lagi dikuasai Taliban, situasi belum lagi aman sepenuhnya. Artinya tentara Pakistan sering tidak berdaya berhadapan dengan pasukan berjenggot ini.
Kebetulan sebelum seri lanjutan ini dikirim, Dr Ahmad Muttaqin Alim dari Pusat Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah menghadiahi saya autobiografi Malala yang ditulis bersama Christina Lamb,I am Malala (New York-Boston-London: Back Bay Books, 2013). Dengan tambahan sumber autobiografi Malala ini, terpaksa kisah dalam “Resonansi” ini sedikit surut ke belakang, karena ada bagian-bagian yang menarik untuk disertakan.
Autobiografi setebal 293 halaman ini patut benar dibaca oleh rakyat Indonesia sebagai sumber ilham dan agar tidak mudah ditipu oleh kelompok-kelompok radikal yang berkedok agama. Pengalaman pahit rakyat Pakistan di Lembah Swat bisa saja berlaku di mana pun bila negara tidak awas dan tidak tegas dalam membendung arus radikalisme yang memperdagangkan agama untuk tujuan yang nista.
Pada halaman 239-240 terbaca penjelasan juru bicara Taliban Pakistan Ehsanul Ehsan mengapa Malala harus dibunuh: “Malala telah dijadikan target karena peran modelnya dalam mengkhotbahkan sekularisme …. Dia masih muda tetapi dia sedang menganjurkan budaya Barat di wilayah Pashtun. Dia pro-Barat; dia bicara anti-Taliban; dia menyebut Presiden Obama sebagai idolanya.”
Tidak banyak jumlah bocah sepanjang sejarah begitu ditakuti karena perannya yang heroik dalam membela kebenaran yang diyakininya, seperti halnya Malala, sekalipun nyawa tantangannya. Pemerintah Pakistan sebenarnya cukup menghargai perjuangan Malala bagi tegaknya perdamaian dengan bukti diberikan kepadanya Pakistan National Peace Prize tahun 2011. Tetapi pemerintah harus bersikap ekstra hati-hati karena kekuatan Taliban belum lagi lumpuh sepenuhnya.
Mulla Fazullah, dua bulan sebelum tragedi Malala itu, pernah mengancam dengan kalimat ini: “Siapa saja yang berpihak kepada pemerintah untuk melawan kami akan tewas di tangan kami.” Taliban bahkan telah menggunakan dua laki-laki lokal Swat yang bertugas mengumpulkan informasi tentang Malala dan jalan yang dilaluinya ke sekolah dan mereka mampu melakukan serangan dekat pos tentara di Swat.”(Lih Malala, hlm 240).
Dengan demikian bocah ini memang sudah sejak lama diintai untuk dihabisi. Dan itulah yang berlaku pada 9 Oktober 2012 dengan menembaki Malala dan dua temannya yang lain di atas bus pulang dari sekolah milik ayahnya yang diberi nama Kushal School itu. Atas kehendak Allah, ketiga bocah yang ditembak ini, tidak seorang pun yang tewas. Semuanya selamat. Kini ketiganya telah jadi saksi hidup betapa terorisme tega membunuh bocah yang semula diperkirakan tidak bakal terjadi. Malala sendiri sebelumnya juga berpendapat bahwa Taliban tidak mungkin membunuh anak-anak. Jika ada yang harus dibunuh, maka ayahnya Ziauddin Yousafzailah yang harus menjadi sasaran utama, bukan dirinya. Ziauddin adalah sosok intelektual yang punya jaringan luas untuk melawan segala bentuk terorisme.
Jauh sebelumnya, seorang yang menyebut dirinya mufti bernama Ghulamullah melalui seorang perempuan telah mengancam Ziauddin yang dikategorikan sebagai pendiri sekolah haram. Kita kutip: “Ziauddin sedang menjalankan sebuah sekolah haram di bangunan Anda dan membawa malu pada tetangga. Anak-anak perempuan ini harus pakai cadar.” Mufti itu kemudian mengatakan kepada perempuan tersebut: “Ambil kembali bangunan itu darinya dan saya akan menyewanya untuk kepentingan madrasah saya. Jika Anda melakukan ini Anda akan terima bayaran sekarang dan juga akan mendapatkan pahala di akhirat kelak.” (Malala, hlm 84).
Tetapi rupanya perempuan itu menolak kehendak mufti itu. Ini komentar marah dari Ziauddin terhadap sikap mufti itu: “Seorang dokter yang setengah jadi merupakan bahaya bagi kehidupan seseorang, maka … seorang mulla yang tidak sepenuhnya terpelajar menjadi bahaya bagi iman.”(Malala, hlm 85). Tuan dan puan bisa membayangkan betapa konservatifnya sebagian kiai di Pakistan. Indonesia jauh lebih maju, padahal Negara Pakistan adalah wujud dari impian Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair yang diakui dunia dengan pemikirannya yang melampaui zaman.
Di Indonesia, apa yang dikenal dengan sebutan kutub modern dan kutub konservatif nyaris telah masuk ke museum sejarah berkat pendidikan keagamaan yang semakin terbuka bagi semua umat Islam. Ini sebuah keberuntungan yang sangat tinggi nilainya. Pakistan masih diracuni oleh orang semisal Mulla Fazullah dan Mufti Ghulamullah.
Pro-kontra terhadap Malala belum juga usai. Ada sinisme yang mengatakan bahwa Malala tak berhak menerima Hadiah Nobel itu, sebab toh banyak juga anak lain yang tertembak di Pakistan, baik oleh pasukan imperialis Barat atau oleh Taliban, mengapa dunia membisu? Masuk akal juga, tetapi yang mau berjibaku dengan mempertaruhkan nyawa, demi membela pendidikan buat anak usia sekolah, siapa yang bisa menandingi Malala? Mereka yang sinis ini semestinya jawab dahulu pertanyaan ini, baru berkomentar. Tetapi, sudahlah, bumi Muslim memang masih sarat dengan pertentangan dan saling curiga, sekalipun memeluk agama yang sama. Agama yang difahami secara salah bukan lagi mempersatukan, tetapi membuat porak-poranda.
Beberapa minggu sebelum upacara Nobel itu digelar, penulis bebas bernama Farman Nawaz telah memperkirakan nasib Malala di kampung halamannya. Dalam sebuah artikel di bawah judul “Noble [Nobel] Prize Winner’s Fate in Pakistan.” Daily Outlook (Afghanistan), 20 Okt. 2014. Ini kalimat awal Nawaz: “Hadiah Nobel yang dimenangkan Malala menunjukkan hahwa dunia percaya pada perjuangan kaum perempuan Pakistan dalam sebuah masyarakat ter-Talibankan (Talibanized society). Namun, saya khawatir bahwa Malala boleh jadi menemui nasib seperti ilmuwan Pakistan terkenal Dr Abdul Salam, yang bahkan pascamemenangkan hadiah itu tidak berdaya memenangkan hati rakyat Pakistan,” semata-mata karena dia pengikut Ahmadiyah.
Keluhan Nawaz ini diikuti kalimat selanjutnya: “Apa pun gagasan keagamaan Dr Abdul Salam, tetapi kita bahkan tidak menerimanya sebagai seorang Pakistan di sisi fakta bahwa dialah yang berperan dalam program atom Pakistan pada tingkat-tingkat awal. Setelah itu dia menghabiskan masa hidupnya di luar Pakistan. Betapapun juga dialah orang yang dapat menolong rakyat Pakistan membangun lembaga-lembaga tempat mahasiswa dapat belajar bagaimana caranya menjadi ilmuwan.” Membaca Nawaz ini, jari ini merasa lemah mengetik artikel ini, tetapi bagamanapun harus dilanjutkan. Begini benarkah sempit dan tandusnya hati sebagian Muslim? Antahlah yuang, kata orang Minang.
Masih ada lagi pendapat Nawaz, walau melelahkan perasaan pembacanya karena marah dalam kepiluan. Saya kutip yang bagian akhir saja tentang Malala berikut ini:
Perannya adalah seberkas cahaya harapan dalam kegelapan ekstremisme dan fundamentalisme. Dia telah ambil inisiatif yang dapat mendorong sebuah kesadaran tentang pendidikan dan hak-hak asasi manusia dalam masyarakat perkotaan. Missi Malala adalah untuk menciptakan sebuah lingkungan di mana kesadaran dan kemajuan dapat berkembang. Berupaya untuk menfitnah pengorbanan Malala pastilah berwatak fundamentalis. Inilah kekuatan-kekuatan serupa yang menghancurkan bangsa dengan membenarkan kaum teroris dan ekstremis. Media wajib membongkar semua kekuatan ini.
Nawaz jelas menjadi lawan kelompok penganut teologi kebenaran tunggal ini yang kini berkeliaran di beberapa bangsa Muslim. Seorang pembenci Malala bernama Abul Hasan bahkan menulis komentar ini: “A story of father who used his daughter to get money and defame Islam” (Sebuah cerita ayah yang menggunakan anak perempuannya untuk mendapatkan uang dan menistakan Islam). Hebat, kan? Banyak sekali komentar sadis semacam ini dari mereka yang umumnya pakai nama Muslim. Seorang komentator laki-laki di Indonesia bahkan pernah mengatakan bahwa pidato Malala di PBB banyak bohongnya, seakan-akan dia paham peta yang sebenarnya. Padahal, ocehan itu hanya asal bunyi.
Saya sarankan kepada para pembenci ini agar sempat membaca I Am Malala, autobiografi bocah ini. Di bab-bab awal kita diberi tahu betapa keluarga ini cukup lama bergumul dengan kemiskinan dan terbelit utang, demi pendidikan. Jika yang lahir seorang bayi perempuan, masyarakat setempat umumnya tidak bahagia. Malala merasakan benar betapa kejamnya tradisi semacam ini. Sekalipun sudah boyong ke Kota Mingora di Lembah Swat, masa kecil Malala jauh dari serbacukup, sedangkan tamu terus saja berdatangan ke tempat tinggalnya. Dalam tradisi Pashtun, tamu tidak boleh ditolak, sekalipun mengundang ketidaknyamanan.
Kontroversi tentang Malala ini demikian seru di Pakistan: sikap pro-kontra sia-sia yang menguras energi. Penilaian yang lebih bersifat teoretik diberikan oleh penulis perempuan Pakistan Afiya Sheherbano Zia pada 13 Oktober 2014 di bawah judul “Being Malala”:
Dalam pandangan dunia konservatif, juga di mata mereka yang disebut ‘kiri baru radikal’ yang hidup di jantung Emperiumnya sendiri, seorang Muslimah seharusnya pasif, jika sebaliknya dia hanya jadi semacam agen—agen asing, the “other.” Dan hanya yang pantas mendapat simpati, dukungan, dan penghargaan adalah yang jadi korban bukan yang bertahan hidup. Sebagaimana seorang wartawan yang sangat jeli mengamati begini: “Hadiah Nobel begitu keras dan buruk di kalangan mulla Pakistan, pertama seorang pengikut Ahmadiyah sekarang seorang bocah perempuan.” Sayang sekali, harga kedua jenis warga negara itu tetap saja dipertanyakan, bahkan oleh mereka yang bukan ulama konservatif (lih.https://www.opendemocracy.net/5050/afiya-shehrbano-zia/being-malala)
Dengan kata lain, khusus untuk perempuan, dunia Muslim yang selama ratusan tahun dikuasai kaum Adam, nyaris tidak ada tempat terhormat bagi kaum perempuan, sesuatu yang amat berlawanan dengan diktum Alquran dan ajaran kenabian. Bersyukurlah kita di Indonesia. Sekiranya ada warga negara Indonesia, perempuan atau pun laki-laki yang dapat hadiah Nobel, pasti akan diarak dan disanjung ke mana-mana sebagai simbol kebanggaan seluruh rakyat.
Apa kegiatan Malala sekarang? Sejauh sumber yang dapat ditelusuri sampai 17 Maret 2017 Malala baru saja merampungkan SMA-nya dan telah direrima di Universitas Oxford untuk belajar filsafat, politik dan ekonomi, di samping memenuhi undangan dari berbagai lembaga dunia. Berkat “jasa” peluru Taliban, Malala dan keluarganya sekarang telah jadi miliarder, hasil royalti autobiografinya yang laris manis. Dan harap dicatat pula bahwa pada 10 April 2017 oleh sekjen PBB yang baru Antonio Guterres Malala telah dilantik sebagai Utusan Perdamaian PBB yang termuda sepanjang sejarah badan dunia itu.
Seperti telah disebut sebelumnya Malala bersama Christina Lamb telah menulis otobiografinya I am Malala. Sampai bulan Agustus 2015, buku itu telah terjual sedikitnya 1.8 juta eks di seluruh dunia dengan keuntungan sekitar US$ 3 juta. Ayah-bundanya adalah juga pemegang saham pada perusahaan yang mereka dirikan, yaitu PT Salarzai.
Patut juga dicatat, melalui Yayasan Amal “Malala Fund,” bocah pejuang kemanusiaan ini telah membantu pendidikan untuk anak-anak puteri di kamp-kamp pengungsi di Yordan dan Lebanon, mendirikan lembaga informasi teknologi dan life skills (ketrampilan) untuk anak perempuan di kawasan kumuh Nairobi (Afrika), dan juga membantu pendidikan sekolah menengah di Pakistan. Menimbang semua kegiatan mulia di ranah pendidikan ini, saya gagal memahami ukuran apa yang digunakan oleh sebagian rakyat Pakistan yang memusuhi bocah ini. Sebagai seorang pengagum Benazir Bhutto, Malala sudah punya mimpi untuk terjun ke dunia politik dengan membidik kursi perdana menteri. Hanya waktulah yang bisa menjawab sampai di mana mimpi nanti ini akan berujung.
Info terakhir yang saya baca dari tulisan Christina Lamb dari Koran The Sunday Times (London): “My Year With Malala,” ternyata ibu bocah ini buta huruf dari keluarga miskin, konservatif, dan tidak bisa berbahasa Inggris, sangat kontras dengan ayahnya, seorang intelektual yang gaul. Sang ibu tidak suka menonjol, tetapi biasa beri makan orang miskin. Kerinduan mereka terhadap Lembah Swat tidak pernah pudar.
Sedikit ke belakang. Ketika Donald Trump dalam kampanyenya mengobarkan semangat anti-Muslim, pada 16 Desember 2016, Malala memberikan reaksi telak, disampaikan melalui Britain’s Channel 4: “The more you speak about Islam and against all Muslims, the more terrorists we create.” Diteruskan: “So it’s important that whatever politicians say, whatever the media say, they should be really, really careful about it. If your intention is stop terrorism, do not try to blame the whole population of Muslims for it because it cannot stop terrorism”(Semakin banyak anda mengumbar pernyataan tentang Islam dan anti-Muslim, semakin banyak teroris yang kita ciptakan…Maka menjadi demikian penting bahwa apa pun yang dikatakan politisi, apa pun yang diberitakan media, mereka wajib bersikap ekstra hati-hati tentang hal itu. Jika niat anda untuk menghentikan terorisme, jangan coba menyalahkan seluruh penduduk Muslim untuk kepentingan itu, karena cara semacam itu tidak mungkin menghentikan terorisme).
Inilah Malala, oase yang mengilhami mereka yang punya nalar tajam dan intuisi kemanusiaan universal!
Sumber:
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/03/06/omeeaa319-malala-oase-di-bumi-muslim-yang-tandus-i
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/03/13/omr8g3319-malala-oase-di-bumi-yang-tandus-ii
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/03/20/on49gs319-malala-oase-di-bumi-muslim-yang-tandus-iii
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/04/03/onu1xy319-malala-oase-di-bumi-muslim-yang-tandus-iv
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/04/10/oo78uw319-malala-oase-di-bumi-muslim-yang-tandus-v
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/04/18/ook91g319-malala-oase-di-bumi-muslim-yang-tandus-vi
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/04/24/oowrb4319-malala-oase-di-bumi-muslim-yang-tandus-viihabis