Panrita.id

Ulama Harus Speak Out

Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an

 

Penyimpangan makna dan praktik jihad yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat muda tidak bisa dibiarkan. Para ulama, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pemegang otoritas keabsahan nilai-nilai kegamaan (Islam) harus berani bicara keluar (speak out) agar mayarakat umum tidak bingung. Di dalam NKRI sudah ada pembagian tugas antara pemerintah (umara’) dan ahli agama Islam (‘ulama’). Urusan sosial politik kenegaraan menjadi domain umara sedanglan urusan keagamaan, khususnya legalitas formal hukum agama Islam, menjadi domain MUI.

Diamnya kelompok mainstream, khususnya para ulama, dan lebih khusus lagi MUI terhadap tindakan pemyimpangan makna jihad yang sering dilakukan oleh kelompok radikalis bisa menimbulkan multitafsir.

Pertama, mereka setuju terhadap sebagian atau seluruh tuntutan kelompok minoritas-radikal itu. Ini bisa ditafsirkan bahwa ada konspirasi antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Kedua, mereka tidak berdaya dan tidak berani mengambil alih klaim jihad dari tuntutan kelompok radikal, karena boleh jadi institusi Islam mainstream dan tokoh-tokohnya menjadi sub-sistem dari sistem besar yang menyebabkan lahirnya mismanagement umat. Ini mengisyaratkan terjadinya inferiority complex kelompok mainstream.

Ketiga, karena representasi ulama tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Mereka -seperti kata Clifford Geertz- kebingungan karena masa depan itu datang lebih awal melampaui kecepatan mereka menyiapkan diri, sehingga terjadilah multiple shock di dalam diri mereka. Ini artinya, visi kelompok minoritas-radikal dalam mempersiapkan umat masa depan lebih baik.

Keempat, mereka menyadari posisinya seperti buah simalakama, lalu menganggap sikap diam sebagai jawaban terbaik sambil memikirkan solusi yang lebih konstruktif. Ini artinya, para ulama yang kemudian diikuti kelompok mainstream melakukan pembiaran sejarah, dimana umat berproses tanpa panduan yang jelas.

Kelima, representasi ulama dan kelompok mainstream muslim sudah cair dengan kepentingan pragmatisnya masing-masing. Yang penting, diri dan keluarga mereka aman, job/pekerjaan dapat dipertahankan, sambil tetap memelihara kesalehan individual mereka. Gambaran mereka tentang jihad tergantung siapa yang dihadapi. Ada kalanya mereka menggambarkan jihad secara rasional dan ada kalanya menggambarkannya secara emosional. Jika demikian adanya, maka sedang terjadi pemunafikan atau hipokritisasi di dalam tubuh mainstream muslim. Hipokritas masyarakat jauh lebih parah akibatnya daripada hipokritas individual.

Ulama Indonesia di mata dunia, bukan hanya dalam dunia Islam tetapi dunia internasional, sangat diperhatikan. Sebagai ilustrasi, fatwa-fatwa MUI dijadikan referensi penting bagi ulama-ulama di kawasan Asia Tenggara. Ini membuktikan bahwa selain kapasitas ulama Indonesia yang dianggap mumpuni, juga karena ia mewakili negara muslim terbesar.

Dalam pertemuan internasional, ulama-ulama dan ilmuan Islam dari Indonesia cukup disegani. Pendapat-pendapatnya sering dirujuk di dalam masalah-masalah tertentu. Sementara dunia internasional lain seperti Negara-negara Barat melihat Indonesia sebagai trendsetter perkembangan dunia Islam. Buktinya, Mr. Tony Blair ketika menjadi Perdana Menteri Inggris, menjalin kerjasama antara Indonesia dengan United Kingdom dan menandatangai piagam UK-Indonesia Islamic Advisory Group, yang bertujuan untuk memberi masukan antara kedua negara tentang pembinaan masyarakat muslim di kedua negara. PM Tony Blair jauh-jauh datang ke Indonesia, melampaui negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, karena menganggap ulama di Indonesia lebih tepat untuk masyarakat UK.

Sumber: nasaruddinumar.org