Oleh: Prof. Azyumardi Azra, MA., MA., M. Phill., Ph. D. CBE.(Profil)
Guru Besar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah 1998-2006
Gagasan tentang perlunya standardisasi khatib (agaknya termasuk juga ustaz, mubaligh, dai, dan penceramah Islam lain) marak dalam pekan terakhir (16 February 2017). Hal ini terkait dengan pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengisyaratkan perlunya standardisasi khatib tersebut.
Menurut Menag, wacana tentang ide atau gagasan tentang standardisasi khatib bukanlah baru; sebenarnya wacana itu adalah untuk merespons aspirasi yang berkembang di kalangan organisasi masyarakat (ormas) Islam dan tokoh-tokoh umat sendiri. “Mereka ingin pemerintah juga ikut hadir dalam menjamin kualitas mutu khutbah Jumat yang menjadi bagi tak terpisahkan dari shalat Jumat,” kata Menag (Republika, 1/2/2017).
Menag Lukman Hakim Saifuddin benar. Gagasan dan wacana tentang perlunya khatib memiliki standardisasi dan kualifikasi tertentu sudah ada sedikitnya sejak zaman Orde Baru. Bahkan juga ada suara-suara yang mengusulkan tentang perlunya khatib dan juru dakwah lain memiliki semacam lisensi atau “SIM” untuk berkhutbah atau “SIK” (surat izin khutbah).
Tetapi jelas, berbagai gagasan tersebut tidak berhasil. Ormas-ormas Islam beserta lembaga dakwah dan para khatib beserta juru dakwah lain menentang gagasan tersebut. Karena itulah, sampai sekarang khatib dan juru dakwah lain bebas dan mandiri menyampaikan khutbah dan ceramah agama tanpa harus ada standardisasi atau kualifikasi tertentu apalagi SIK.
Menangggapi wacana yang kembali muncul dalam pekan terakhir ini, di dalam masyarakat khususnya pimpinan dan ormas dan juru dakwah (khususnya khatib) berkembang beragam pandangan-yang pro dan kontra. Juga ada berkembang anggapan tentang indikasi usaha pemerintah-dalam hal ini Kemenag-untuk melakukan semacam “sertifikasi” khatib.
Dalam konteks terakhir ini, sekali lagi, sertifikasi dipahami kalangan pimpinan ormas Islam sebagai “lisensi” atau semacam “SIM khatib”. Tegasnya, khatib yang ingin memberi khutbah Jumat wajib mendapatkan lisensi atau “surat izin khutbah” (SIK) dari pihak berwenang semacam Kemenag-seperti disebut di atas.
Jika sertifikasi dalam bentuk semacam itu yang bakal dilakukan, kalangan ormas, lembaga dakwah, dan khatib banyak yang keberatan. Alasannya, sertifikasi semacam itu bukan hanya membatasi para khatib (dan juga juru dakwah lain), tetapi juga dapat menghilangkan kebebasan berdakwah. Padahal, Islam mengajarkan kewajiban berdakwah bagi setiap dan seluruh penganutnya.
Wajibnya khatib dan juru dakwah lain memiliki sertifikasi, sekali lagi, sebenarnya bukan hal baru. Kecuali Indonesia, hampir di seluruh negara di dunia Muslim khatib wajib memiliki lisensi (SIK). Sebagai contoh, lisensi khatib di Mesir diterbitkan Direktorat Jenderal Dakwah al-Azhar, di Malaysia dikeluarkan Jabatan Kebajikan Islam Malaysia (Jakim) atau lembaga kemuftian kerajaan negeri.
Untuk mendapatkan sertifikasi, khatib mesti memenuhi kualifikasi tertentu. Pertama-tama, mereka harus memahami bukan hanya ajaran Islam dalam berbagai aspeknya sesuai dengan pemahaman dan keislaman yang sudah disetujui ortodoksi dan otoritas agama resmi. Kekuasaan keagamaan ini lazimnya merupakan bagian integral kekuasaan negara.
Tak kurang pentingnya, khatib mesti menguasai tata tertib khutbah, pendekatan dan cara menyampaikan khutbah, dan bahasa yang digunakan. Mereka juga harus mengikuti dan sesuai dengan kebijakan kekuasaan politik yang ada; tidak boleh ada kalimat atau pernyataan berbeda-apalagi menentang-penguasa atau kebijakannya.
Bukan sampai di situ. Di Malaysia, misalnya, khatib tidak dibenarkan menyampaikan khutbahnya sendiri. Sebaliknya, khatib harus atau tinggal membaca teks khutbah yang sudah disiapkan Jakim atau lembaga kemuftian kerajaan negeri. Karena itulah khutbah di negeri jiran ini wajib mengandung pujian dan doa bagi penguasa-terutama raja atau sultan-dan sekaligus dukungan terhadap kebijakan politiknya.
Implikasi kenyataan ini terhadap khatib dan juru dakwah jelas; dan itu sangat pahit. Di Mesir, misalnya, setelah berkuasanya kembali militer di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah el-Sisi (berkuasa sejak Juni 2014), lisensi khutbah dan memberikan ceramah bagi pimpinan, anggota, dan simpatisan al-Ikhwan al-Muslimun dibatalkan al-Azhar. Alasannya, khatib-khatib Ikhwan ini menggunakan mimbar khutbah untuk provokasi politik melawan pemerintah militer.
Indonesia tak ragu lagi adalah medan dakwah yang bebas dan luas. Kebebasan itu sudah ada sejak zaman kesultanan, penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan pasca-kemerdekaan sampai sekarang. Para penguasa yang berbeda-beda sesuai masanya membiarkan khutbah dan ceramah agama tanpa banyak usaha mengendalikan dan membatasinya.
Mengapa demikian? Khususnya zaman Belanda, para khatib dan juru dakwah lain sengaja menghindari diri dari menyampaikan khutbah politik, misalnya, menyerukan dari mimbar khutbah perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda. Khutbah lebih banyak diarahkan para khatib untuk memperkuat keimanan dan keislaman dengan berbagai lembaga Islam yang ada.
Kebebasan berdakwah, khususnya melalui ceramah agama adalah salah satu tradisi dan sekaligus warisan (legacy) Islam Indonesia. Para da’i, termasuk khatib, ustaz atau mubaligh tidak memerlukan ‘Surat Izin Khutbah’ (SIK) dari pemerintah semacam Kementerian Agama; juga tidak dari Ormas Islam.
Karena itu seandainya ‘SIK’ itu akhirnya diwajibkan di suatu waktu kelak, itu jelas tidak sesuai dengan tradisi yang telah terbentuk selama berabad-abad. Bahkan dia dapat merusak legacy Islam Indonesia; dakwah yang mandiri dan bebas menjadi prasyarat dan faktor di balik pembentukan Islam wasathiyah beserta kelembagaan Islam yang begitu kaya.
Tetapi harus diakui, kebebasan berdakwah tidak selalu digunakan secara bertanggung jawab oleh sebagian khatib atau dai. Terdapat khatib yang melalui mimbar Jumat-an menyampaikan khutbah yang secara substansi, penguasaan materi, cara penyampaian dan bahasa tidak sesuai prinsip dakwah yang digariskan Alquran (misalnya an-Nahl 16:125; Ali Imran 3: 104, paradigma Islam Indonesia wasathiyah dan juga keislaman-keindonesiaan.
Sudah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan kampus semacam UIN atau lembaga penelitian lain yang menemukan khutbah atau ceramah agama seperti itu kian meluas. Gejala ini terjadi tidak hanya di masjid atau majelis taklim komunitas Muslim sendiri atau perusahaan swasta, tetapi juga dalam Jumat-an dan pengajian di masjid kantor pemerintah dan perusahaan milik negara (BUMN).
Cukup sering ditemukan, khatib yang menyampaikan substansi dan materi ‘keras’ atas dasar pemahaman literal dan sepotong-sepotong; tidak dalam perspektif Islam komprehensif dan utuh. Tak jarang pula substansinya mempertentangkan antara keislaman dengan keindonesiaan; menyatakan pemerintah misalnya adalah thagut (fir’aunik), dan umat Islam Indonesia yang mengikuti mereka juga menjadi pengikut thagut.
Khutbah bisa semakin ‘panas’ dengan gaya penyampaian berapi-api dan provokatif. Dalam keadaan seperti ini, penulis Resonansi ini pernah menyaksikan ada jamaah yang kelihatannya tidak tahan dan meninggalkan masjid. Toh, khatib tidak bisa diinterupsi dan dihentikan berkhutbah.
Gejala kedua yang juga menonjol adalah khatib atau dai lain yang dakwahnya juga disampaikan media elektronik. Banyak di antara mereka terlihat memahami Islam dan prinsip dakwah dengan baik. Tapi juga ada di antara mereka yang terlihat tidak memahami Islam secara baik. Merela muncul mendadak yang kemudian mendapatkan popularitas hampir secara instan.
Gejala ini bisa disaksikan khususnya di radio saluran TV yang terbuka dan bisa diakses secara luas dan mudah atau yang harus diakses melalui ‘TV kabel’ atau berlangganan atau lewat parabola. Media elektronik (radio, TV, dan juga video semacam YouTube) lebih bebas lagi. Muslimin Indonesia bisa mengakses tidak hanya saluran dalam negeri, tetapi juga mancanegara. Pendengar dan pemirsa dapat mengikuti dakwah lewat media ini 24 jam penuh tanpa pembatasan.
Bisa dipastikan, ceramah dan dialog agama virtual secara substantif dan metodologis juga tidak selalu sesuai dengan prinsip dakwah yang sudah digariskan al-Qur’an dan dirinci para ulama otoritatif. Pemirsa atau pendengar yang tidak kritis dengan mudah dapat terpengaruh substansi dan pendekatan yang disampaikan da’i tertentu.
Dalam semua konteks itulah dapat terlihat alasan kuat tentang perlunya ‘standardisasi’ khatib, ustadz, dan muballigh lain. Apa yang disebut sebagai ‘standardisasi’ itu semestinya merupakan peningkatan kualifikasi dan kompetensi para khatib dan pemberi ceramah agama lain.
Peningkatan kualifikasi dan kompetensi itu, pertama-tama menyangkut pemahaman tentang berbagai aspek ajaran Islam secara komprehensif. Ajaran Islam komprehensif selain bersumber dari Alquran dan Hadis, juga telah dirinci para ulama otoritatif.
Pemahaman Islam komprehensif yang bersifat teologis-doktrinal itu perlu diperkaya dengan pengetahuan tentang realitas historis yang mengitari kaum Muslimin. Bagaimanapun, pemahaman dan pengamalan Islam sedikit banyak terkait pula dengan realitas dan dinamika masyarakat Muslim itu sendiri.
Selain itu, perlu peningkatan kompetensi para khatib dan penceramah agama lain dalam kemampuan menjelaskan substansi yang mereka sampaikan dengan retorika dan bahasa yang baik dan pantas. Dengan begitu, substansi khutbah dapat lebih mudah dicerna jamaah.
Sebenarnya, usaha peningkatan kualifikasi dan kompetensi para khatib dan juru dakwah lainnya telah dilakukan berbagai ormas dan lembaga Islam sejak waktu lama. Program itu biasa disebut beragam sejak dari ‘kaderisasi da’i’, ‘kursus muballigh’ dan semacamnya.
Program ini bisa diperluas dengan kerja sama pemerintah (misalnya Ditjen Bimas Islam Kemenag), sehingga menjadi lebih sistematis dan berkelanjutan. Melalui kerja sama ini dapat muncul khatib dan juru dakwah yang alim, handal dan wasathiyah yang menampilkan Islam rahmatan lil-‘alamin.
Sumber:
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/02/08/ol1z48319-standardisasi-khatib-1
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/02/15/olf0z3319-standardisasi-khatib-2