Meluruskan Tafsir QS. al-Baqarah/2: 62 [Status Kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’in yang Beriman]
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Şābi’īn, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.(QS. al-Baqarah/2: 62)
Anda membaca ayat di atas mensyaratkan tiga syarat, yaitu: benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan Beramal Shaleh. Iman yang dimaksud adalah yang sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melaui nabi-nabi.
Selanjutnya, perlu pula dicatat bahwa ini bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, melainkan keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua objek dan aspeknya. Memang, akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu per satu. Rasul saw. dalam percakapan sehari-hari sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian. Misalanya sabda beliau,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah dia menghormati tamunya (HR. al-Bukhari, 6135, VIII/32)
atau pada saat yang lain beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah dia mengucapkan kata-kat yang baik atau diam. (HR. al-Bukhari, 6475, VIII/100)
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju pada penciptaan toleransi antarumat beragama berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, mereka semua akan memeroleh keselamatan,…tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula akan bersedih.
Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedangkan yang ini menurut itu -dan atas nama Tuhan yang disembah- adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu tidak saja takut, tetapi disiksa dengan pedih.
Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah swt., memang harus diakui. Akan tetapi, hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antarpemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama.
Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di Hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru kemudian diserahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga, dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa kata Islam pada firman-Nya:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ…
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam...(QS. Ali ‘Imran/3: 19)
bukan hanya berarti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., tetapi semua agama yang disampaikan oleh nabi-nabi sejak Adam as. sampai dengan Nabi Muhammad saw. Wallahu A’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab: 1001 Soal KeIslaman yang Patut anda Ketahui. Cet.I; Jakarta: Lentera Hati, 2008, h. 400-401.