Panrita.id

Mengkaji Hadis “Tidak Makan Kecuali Lapar”

Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)

Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Dengan nada penuh keyakinan, seorang penceramah pada bulan Ramadhan menerangkan hikmah-hikmah puasa. Disebutkan bahwa di antara hikmah-hikmah puasa itu adalah menjaga kesehatan badan. Ia juga menyebutkan sebuah kisah di mana ketika Nabi Saw didatangi sejumlah tamu, para tamu itu merasa kagum dengan kondisi kesehatan Saw dan para Sahabat. Para tamu itu menanyakan kepada Nabi Saw, resep apakah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para Sahabat sehingga kondisi kesehatan tubuh mereka sangat prima.

Nabi Saw kemudian menjawab :

نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ

Kami adalah orang-orang yang tidak makan sehingga kami lapar, dan apabila kami makan, kami tidak sampai kenyang.

Ketinggalan Kereta

Sebagai orang yang mulai mempelajari Hadis, kami merasa “ketinggalan kereta” dari para penceramah itu. Betapa tidak, sudah cukup banyak kitab-kitab Hadis yang kami baca, tetapi ternyata masih ada juga Hadis-hadis yang tidak pernah kami temukan dalam kitab­-kitab Hadis. Rasanya kami ketinggalan dari para penceramah itu dalam membaca kitab-kitab Hadis. Di antara Hadis yang tidak pernah kami baca dalam kitab-kitab Hadis adalah Hadis tentang tidak makan kecuali setelah lapar di atas itu tadi.

Sementara para penceramah itu dengan mantapnya mereka mengatakan hal itu sebagai Hadis Nabi saw. Kitab Hadis apakah ge­rangan yang mereka baca? Itulah yang tidak kami ketahui.

Dokter dari Sudan

Setelah kami tidak berhasil menemukan Hadis di atas dalam kitab­-kitab Hadis, karena barangkali memang tidak pernah ada dalam kitab­-kitab Hadis, alhamdulillah kami dapat menemukannya dalam kitab al-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah karya Imam al-Suyuti. Dan ternyata ungkapan di atas itu bukanlah sebuah Hadis Nabi Saw, melainkan ucapan seorang dokter ahli dari Sudan.

Ceritanya begini, Suatu saat, demikian al-Suyuti mengisahkan, ada empat orang dokter ahli berkumpul di hadapan Kisra (raja) Persia. Empat dokter ini masing-masing berasal dari Iraq, Romawi. India, dan Sudan. Di antara empat orang dokter itu, yang paling cerdas adalah dokter dari Sudan.

Kepada empat orang dokter itu, Kisra minta agar masing-masing memberikan resep atau teori pengobatan yang paling manjur, yang tidak membawa akibat sampingan sama sekali. Maka dokter dari Iraq mengatakan bahwa·obat yang tidak membawa akibat sampingan adalah minum air hangat tiga teguk setiap pagi ketika bangun tidur.

Dokter dari Romawi mengatakan bahwa obat yang tidak mengan­dung akibat sampingan adalah tiap hari menelan sedikit dari biji rasyad (sejenis sayuran). Sementara dokter dari India mengatakan bahwa obat yang tidak mempunyai akibat sampingan adalah tiga biji ihlilaj yang hitam (sejenis gandum yang tumbuh di India, Afganistan, dan Cina) dimakan setiap hari.

Ketika tiba giliran dokter dari Sudan untuk berbicara, ternyata dia diam saja. Raja (Kisra) lalu bertanya kepadanya, “Mengapa kamu diam saja?” Ia kemudian menjawab, ‘Wahai Tuanku, air yang hangat itu dapat menghilangkan lemak ginjal dan menurunkan lambung. Biji rasyad dapat membikin kering shafra (jaringan tubuh). Sedangkan ihlilaj dapat membikin kering sauda (jaringan tubuh lainnya)”. “Kalau begitu, menurut kamu, obat apa yang tidak mengandung akibat sampingan?”, tanya sang raja menyela.

“Wahai Tuanku”, demikian dokter Sudan itu menjawab. “Obat yang tidak mengandung akibat sampingan adalah Anda tidak makan kecuali sesudah lapar, dan apabila Anda makan. angkatlah tangan Anda sebelum Anda merasa kenyang. Apabila hal itu Anda lakukan, maka Anda tidak akan terkena penyakit kecuali penyakit mati”. Mendengar jawaban dokter Sudan itu, dokter-dokter yang lain tadi membenarkannya.[1]

Begitulah Imam Jalal al~Din al~Suyuti mengisahkan tanpa menyebutkan rujukannya. Dan kisah ini juga dinukil oleh Syeikh Nawawi Banten dalam kitabnya Madarij al~Shu ‘ud, juga tanpa menyebutkan rujukannya.[2]

Hadis Palsu

Begitulah. Ternyata ungkapan yang selama ini diklaim sebagai Hadis itu tidak lebih dari sekadar ucapan seorang dokter dari Sudan. Sekiranya hal itu benar Hadis Nabi Saw, tentulah Imam al~Suyuti (w. 911 H.) sudah menyebutkan bahwa ungkapan itu adalah sabda Nabi Saw. Karena Imam al~Suyuti adalah seorang Ahli Hadis unggulan yang mendapat gelar al~Hafidh, suatu kualifikasi keahlian Hadis di atas muhaddits. Bahkan beliau disebut~sebut sebagai al~Hafidz pamungkas,[3] meskipun sebutan ini perlu ditinjau ulang, karena Imam Abd al-Rahman al~Mubarakfuri (w. 1353 H.) dari Mubarakpur India juga disebut-sebut sebagai Ahli Hadis yang menduduki peringkat al-Hafidz.

Ternyata Imam al-Suyuti sedikitpun tidak menyebutkan bahwa ungkapan itu adalah Hadis. Begitu pula Syeikh Muhammad Nawawi Banten, beliau tidak menyebutkan bahwa ungkapan tersebut adalah Hadis. Dan hal ini sudah cukup menjadi indikator, bahwa ungkapan tersebut memang bukan Hadis Nabi, melainkan kata-kata hikmah dan seorang dokter Sudan.

Oleh karena itu, apabila ungkapan itu dinisbatkan (dikaitkan) kepada Nabi Muhammad Saw, maka hal itu berarti menisbatkan kepada Nabi Saw sesuatu yang tidak bersumber dan beliau. Atau hal itu berarti kita mengatakan Nabi Saw mengatakan suatu ungkapan, padahal beliau tidak pernah mengatakannya.

Apabila ungkapan itu kita sebut sebagai kata-kata mutiara, maka hal itu tidak akan berdampak apa-apa. Tetapi apabila ungkapan itu kita klaim sebagai Hadis Nabi, maka hal itu akan berdampak sangat serius, karena kita telah mendustakan Nabi Saw. Wa al-‘Iyadz bi Allah.

Referensi :
[1]al-Suyuti, al-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah, al-Maktabah al-Sya’biyah. Beirut. tth.. hal. 19.
[2]Muhammad Nawawi al-Bantani, Madarij al-Shu’ud. Toha Putra. Semarang. tth .. hal. 19.
[3]Abd al-Wahhab Abd al-Lathif (Editor) dalam. Jalal al-Din al-Suyuti. Tadrib al-Rawi Dar al­-Kutub al-Hadtisah, Kairo. 1385 H/ 1966 M. I/hal. sampul depan.

Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 96-99.