Panrita.id

Bagaimana Menyikapi Fatwa yang Kontroversial?

Oleh: Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), Ph. D. (Profil)

Penyandang 2 Gelar Magister dan 2 Gelar Ph.D. masing-masing di bidang Hukum Komersial dan Hukum Islam/Ketua Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Australia-New Zealand/Dosen Senior Monash Law School

 

Sebagian dari kita cenderung reaktif jikalau mendengar ada fatwa yang terkesan aneh dan kontroversial. Bahkan tanpa ilmu yang memadai mereka langsung mencerca dan mencemooh ulama yang mengeluarkan fatwa kontroversial. Mereka tidak bisa menerima perbedaan fatwa, apalagi fatwa yang terdengar aneh

Sebenarnya selama fatwa tersebut berdasarkan kaidah keilmuan maka tidak ada yang aneh. Kontroversi itu hal biasa. Pendapat jumhur atau mayoritas ulama belum tentu benar, dan pendapat yang berbeda belum tentu salah. Sepanjang sejarah pemikiran Islam, para ulama biasa berbeda pendapat. Pada satu kasus, ulama A berbeda dengan jumhur ulama. Pada kasus lain, justru ulama A yang membela pendapat jumhur. Inilah indahnya keragaman pendapat, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Mausu’ah al-fiqh al-Islami wa al-qadlaya al-mu’ashirah.

Perbedaan pendapat, jikalau dipahami dengan proporsional, akan membawa rahmat. Umat tinggal memilih satu pendapat yang lebih cocok, lebih sesuai dan lebih maslahat serta lebih mudah dijalankan, di antara sekian banyak pendapat. Rasulullah SAW pun jikalau dihadapkan pada dua perkara, beliau SAW akan memilih perkara yang lebih mudah. Karena semua pendapat mazhab itu memiliki dasar dan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, maka pertanyaannya bukan lagi pendapat mana yang benar, tapi pendapat mana yang lebih cocok kita terapkan untuk kondisi yang kita hadapi.

Kalau soal kontroversi, ulama mana yang tidak dianggap kontroversial? Semua ulama pada masanya pernah dianggap fatwanya aneh dan kontroversial. Misalnya,

Imam Syafi’i berbeda pandangan dengan mayoritas ulama ketika mengatakan anak hasil zina boleh dikawini oleh ‘bapak’nya. Ini pendapat yang bikin heboh.

Imam Malik berpandangan anjing itu suci, dan tidak najis. Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama.

Imam Dawud al-Zhahiri berpendapat kalau anda berbohong saat berpuasa, puasa anda batal. Menurut jumhur ulama, tidak batal. Yang haram dari babi hanya dagingnya (lahm), sedangkan Jumhur bilang semuanya haram termasuk lemak dan tulangnya.

Imam Abu Hanifah mengatakan saat anda tersenyum ketika sedang shalat, shalat anda batal, dan tidak batal menurut jumhur ulama. Kalau anda minum nabidz (selain dari perasan anggur) dan tidak mabuk itu hukumnya halal, tapi dinyatakan haram oleh jumhur ulama baik mabuk atau tidak.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal kalau anda makan daging unta, wudhu anda batal, tapi tidak batal menurut jumhur ulama.

Contoh-contoh di atas bisa terus berlanjut, dan semua ulama mazhab pernah berbeda dengan jumhur ulama. Dengan kata lain, pendapat mereka dalam kasus-kasus tertentu dianggap aneh dan kontroversial. Namun bukan berarti mereka pantas untuk kita cerca atau cemooh. Sesuai hadits Nabi, jikalau mereka salah dalam berijtihad, mereka mendapat pahala satu. Dan jikalau ijtihad mereka benar, maka mereka mendapat pahala dua. Apapun hasil ijtihad mereka, mereka tetap mendapat pahala. Dan kita yang tidak pernah berijtihad, dan hobinya cuma mencerca ulama, bukannya dapat pahala, jangan-jangan malah dapat dosa.

Tabik,

Sumber: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/164-bagaimana-menyikapi-fatwa-yang-kontroversial