Oleh: Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, MA., Ph.D.(Profil)
Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta/Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005
Jika dihitung sejak tahun 657 M, saat Perang Shiffin berkecamuk, yang kemudian menciptakan kotak-kotak polarisasi umat Islam sampai sekarang, berarti sudah berlangsung 1.359 tahun sejarah Muslim terpasung dalam kotak-kotak politik akibat ulah perseteruan elite Arab Muslim itu.
Suniisme, Syi’iisme, plus Kharijisme seolah telah menjadi sesembahan baru bagi dunia Islam dengan “memaksa” Tuhan berpihak kepada kotak-kotak itu. Alangkah cerobohnya sikap yang serupa ini, tetapi tetap saja tidak disadari. Umat Islam sedunia selama puluhan abad telah terseret oleh sengketa elite Arab itu.
Pertanyaannya adalah mengapa mereka tidak merasa ditipu oleh kotak-kotak yang tidak ada kaitannya dengan Alquran dan Nabi Muhammad SAW itu? Kesadaran sejarah umat Islam amatlah lemah, termasuk saya, padahal sudah mengalami kajian tingkat tinggi.
Sewaktu mengambil program S3 dalam pemikiran Islam di Universitas Chicago, 1979-1982, saya juga belum sadar bahwa kotak-kotak itu adalah sumber bencana yang bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan umat beriman yang demikian tegas dan gamblang diajarkan Alquran. Dalam perjalanan waktu dengan usia yang semakin menua, saya sampai kepada sebuah kesimpulan: jika umat Islam mau menata kehidupan kolektifnya secara benar berdasarkan agama, tidak ada jalan lain, kecuali kotak-kotak pemicu perbelahan itu harus ditinggalkan sekali dan untuk selama-lamanya.
Selama Alquran dan sunah nabi yang sahih selalu dijadikan pedoman utama, tidak ada yang harus dicemaskan jika kita semua siap mengucapkan selamat tinggal kepada kotak-kotak penuh darah dan dendam kesumat itu. Ketegangan hubungan antara Iran dan Arab Saudi sekarang ini tidak bisa dipisahkan dari kotak-kotak itu, sekalipun nasionalisme juga merupakan faktor penting.
Adalah nonsens jika kedua pihak berpegang kepada agama dalam makna yang benar. Agama dipakai hanyalah sebatas retorika politik untuk tujuan duniawi. Fenomena semacam ini telah berlaku berkali-kali sepanjang sejarah Muslim. Adapun sikap para aktivis yang membela pihak-pihak yang bersengketa dengan dalil-dalil agama, bagi saya, boleh jadi karena sekrup ubun-ubunnya lagi longgar, terlepas dari kawalan wahyu.
Penganut suniisme, penganut syi’iisme, penganut kharijisme, yang seluruhnya bercorak Arab itu dengan klaim kebenaran masing-masing semestinya mau bercermin dengan cerdas dan tulus kepada realitas umat yang terkapar berkali-kali dalam berbagai tikungan sejarah yang menyengsarakan. Saya sungguh gagal memahami mengapa berhala suniisme, syi’iisme, kharijisme masih saja dijadikan Tuhan oleh mayoritas umat Islam di muka bumi hingga sekarang ini.
Ada apa dengan otak kita, ada apa dengan hati kita? Atau Alquran mari kita buang sama sekali dan kita menjadi umat yang tunaidentitas? Coba simak baik-baik makna ayat ini, “Dan Rasul berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini menjadi sesuatu yang tidak dihiraukan’.” (QS al-Furqan[25]: 30).
Saya khawatir bahwa ayat ini tidak hanya dialamatkan kepada kafir Quraisy sebagaimana dipahami oleh hampir semua mufasir, tetapi juga kepada siapa saja yang tidak lagi menjadikan Alquran sebagai pedoman pertama dan utama dalam mengatur kehidupan kolektif mereka, seperti yang kita derita sekarang ini.
Ajaibnya, umat yang tercabik selama berabad-abad itu telah mengidap amnesia kolektif tentang bencana sejarah itu. Mungkin sudah ratusan ribu halaman buku yang ditulis oleh masing masing-masing pihak untuk membela keberadaan kotak-kotak yang menyesatkan itu dengan dalil-dalil agama yang terlepas dari benang merah Alquran.
Sekiranya kesadaran keagamaan saya sudah berada pada tingkat seperti sekarang ini puluhan tahun yang lalu, saya akan perdebatkan masalah penting ini dengan almarhum Fazlur Rahman (guru saya di Chicago); dengan almarhum H Agus Salim, pemikir Muslim Indonesia; dengan almarhum Hamka, mufasir yang banyak mengilhami cara berpikir saya.
Kotak-kotak pemicu sengketa ini tidak mungkin dilenyapkan jika analisis kesejarahan kita tidak dibentuk oleh Alquran dengan bantuan ‘aqlun shahih wa qalbun salim (otak yang sehat dan benar dan hati yang tulus dan bening).
Dua kekuatan intelektual dan spiritual dalam memahami kitab suci di atas sering benar binasa menghadapi konflik politik dan teologis melanda komunitas Muslim. Tragedi Baghdad pada 1258 saat pasukan Hulagu Khan memorakporandakan ibu kota Kerajaan Abbasiyah patut kita rekamkan kembali sebagai pelajaran moral bagi umat Islam sedunia, jika saja mereka punya hati untuk itu.
Panglima Mongol itu rupanya sudah tahu peta perbelahan Sunni-Syiah di Irak untuk dieksploitasi. Raja Abbasiyah terakhir, Musta’shim, dikenal sebagai penguasa Sunni yang selalu menghina kelompok Syi’i, mempermainkan iman mereka di muka publik. Sebagai raja peminum, Musta’shim lebih suka bergaul dengan pemusik dan para badut tinimbang dengan para penyair dan filsuf.
Karena menyadari raja Sunni ini mau diserang Hulagu, sebagian tokoh Syi’i malah memberi fasilitas kepada pasukan Mongol yang dengan sukarela membantu mereka dalam menguasai beberapa kota dalam perjalanan menuju Baghdad. Dalam situasi kritikal ini, Perdana Menteri a-Alkamzi, seorang penganut Syi’i, mengkhianati sang raja dengan memihak Hulagu. Hulagu berjanji tidak akan menghancurkan tempat-tempat suci kaum Syi’i di Najaf dan Karbala.
Apa yang kemudian berlaku? Serangan atas Baghdad terjadi pada Januari 1258. Saat pasukan Cina sebagai bagian dari tentara Hulagu menerobos dinding luar di bagian timur Baghdad, al-Musta’shim bersama pasukannya keluar sambil memberi tawaran untuk berunding, tetapi ditolak Hulagu.
Selama tujuh hari Baghdad dikepung dan kemudian membunuh sekitar 1 juta penduduknya, baik penganut Sunni maupun penganut Syi’i, karena Hulagu ternyata tidak bisa membedakan mereka. Pemihakan kelompok Syi’i kepada pasukan Mongol menjadi sia-sia. Semuanya binasa di Baghdad. Maka jadilah air Sungai Tigris berubah menjadi merah karena darah Muslim: Sunni dan Syi’i. (Lihat Tarek Fatah, Chasing A Mirage: The Tragic Illusion of An Islamic State. Mississauga, Ontario: John Wiley & Sons, 2008, hlm 232).
Dengan hancurnya Baghdad yang juga diberi nama Madinat al-Salam (Kota Perdamaian), maka Kerajaan Abbasiyah yang renta dalam usia sekitar 500 tahun kini terbenam ke dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Masihkah akan dilanjutkan juga perseteruan Sunni-Syi’i untuk tahun-tahun yang akan datang? Di abad modern, keberingasan pasukan Mongol itu dilanjutkan oleh Amerika dan sekutunya.
Sejarah Syi’i adalah sejarah tragedi demi tragedi. Karena selama berabad-abad dikuyo-kuyo penguasa Sunni, kaum Syi’i lalu mengembangkan doktrin taqiyah (penyamaran identitas) demi kelangsungan hidup di lingkungan kaum Sunni yang memusuhi mereka.
Salah satu tragedi pada periode lebih awal ialah terbunuhnya al-Hussain bin Ali pada 680 di Karbala (Irak) di tangan tentara Yazid bin Muawiyah. Baik golongan Sunni maupun golongan Syi’i sama-sama mengutuk pembunuhan keji atas diri cucu nabi ini.
Bagi kaum Syi’i, Karbala dipercaya sebagai tempat suci sampai hari ini. Pembunuhan al-Hussain ini jelas sebuah kebiadaban yang tidak dapat dimaafkan. Namun menjadikan tragedi yang memicu dendam sejarah ini sebagai pembenar untuk merumuskan doktrin teologi dan politik hanyalah akan membunuh rasionalitas dalam penulisan sejarah.
Perseteruan Sunni-Syi’i ini belum juga padam dalam bilangan abad. Jika kita boleh berandai di abad ke-21 ini, maka kejadian inilah yang bakal berlaku: sekiranya Arab Saudi diserang Israel, tidak mustahil Iran akan membantu negara Zionis itu. Begitu pula sebaliknya: jika Iran diserang Israel, maka Arab Saudi akan berpihak kepada Israel.
Saya sampai kepada kesimpulan ini: baik sunnisme maupun syi’isme, seperti telah disebut terdahulu, tidak ada kaitannya dengan Alquran dan misi kenabian, kecuali jika dipaksakan secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.
Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak Sunni dan kotak Syi’i itu karena semuanya itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi wafat.
Sumber:
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/01/11/o0slhf319-kotak-suni-kotak-syii-tinggalkan-kotak-i
http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/01/18/o15oq5319-kotak-sunni-kotak-syii-tinggalkan-kotak-ii